Kabupaten
Kampar memiliki 21 kecamatan, sebagai hasil pemekaran dari 12 kecamatan
sebelumnya. Kedua puluh satu kecamatan tersebut (beserta ibu kota kecamatan)
adalah:
- Bangkinang (ibu kota: Bangkinang).
- Bangkinang Barat (ibu kota: Kuok).
- Bangkinang Seberang (ibu kota: Muara Uwai).
- Gunung Sahilan (ibu kota: Kebun Durian).
- Kampar (ibu kota: Air Tiris).
- Kampar Kiri (ibu kota: Lipat Kain).
- Kampar Kiri Hilir (ibu kota: Sei.Pagar).
- Kampar Kiri Hulu (ibu kota: Gema).
- Kampar Timur (ibu kota: Kampar).
- Kampar Utara (ibu kota: Desa Sawah).
- Perhentian Raja (ibu kota: Pantai Raja).
- Rumbio Jaya (ibu kota: Teratak).
- Salo (ibu kota: Salo).
- Tambang (ibu kota: Sei.Pinang).
- Tapung (ibu kota: Petapahan).
- Siak Hulu (ibu kota: Pangkalanbaru).
- Tapung Hilir (ibu kota: Pantai Cermin).
- Tapung Hulu (ibu kota: Sinama Nenek).
- XIII Koto Kampar (ibu kota: Batu Besurat).
- Kampar Kiri Tengah (ibu kota: Simalinyang).
- Koto Kampar Hulu (ibukota: Tanjung)
Persukuan Masyarakat Kampar
Secara
sejarah, etnis, adat istiadat, dan budaya mereka sangat dekat dengan masyarakat
Minangkabau. Selanjutnya terdapat juga
sedikit etnis Melayu
yang pada umumnya bermukim di sekitar perbatasan Timur yang berbatasan dengan Siak dan
Pelalawan.
Diikuti oleh etnis Jawa
yang sebagian telah menetap di Kampar sejak masa penjajahan dan masa
kemerdekaan melalui program transmigrasi
yang tersebar di sentra-sentra pemukiman transmigrasi. Didapati pula penduduk
beretnis Batak
dalam jumlah yang cukup besar bekerja sebagai buruh di sektor-sektor perkebunan
dan jasa lainnya.
PENINGGALAN SEJARAH
ISLAM DI
KABUPATEN KAMPAR
Jejak sejarah mencatat bahwa wilayah Rantau
Kampar Kiri, sudah dikenal dalam catatan sejarah semenjak abad mula sejarah
Nusantara (abad 1-5 M ), di dalam tambo adat Kampar dikatakan “Undang-Undang di
Kampar Kiri”. Wilayah Rantau Kampar Kiri sangat identik dengan wilayah Kerajaan Gunung Sahilan. Hal ini disebabkan
karena Kerajaan Gunung Sahilan adalah kerajaan yang paling lama hampir 400
tahun menguasai dan memerintah di wilayah hukum adat Rantau Kampar Kiri.
Kerajaan Gunung Sahilan merupakan puncak
dari sistem sosial (perasaan kesebangsaan/raison d’entre) dari masyarakat adat
Rantau Kampar Kiri, sehingga melahirkan suatu kelembagaan politik yang bernama
Kerajaan Gunung Sahilan.
Jika dilihat secara geografis wilayah bekas
Kerajaan Gunung Sahilan itu terletak di Kabupaten Kampar Provinsi Riau. Secara
topografis maka wilayah bekas Kerajaan Gunung Sahilan adalah hampir sama dengan
wilayah Rantau Kampar Kiri saat ini.
Wilayah Kampar Kiri yang dulunya secara
pemerintahan bernama Kecamatan Kampar Kiri akhirnya mengalami pemekaran wilayah
pemerintahan sehingga menjadi lima wilayah kecamatan di dalam daerah otonom
Kabupaten Kampar yaitu; Kecamatan Kampar Kiri, Kampar Kiri Hulu, Kampar Kiri
Hilir, Kampar Kiri Tengah dan Kecamatan Gunung Sahilan.
Luas wilayah bekas Kerajaan Gunung Sahilan
sama dengan luas Kecamatan Kampar Kiri asal yaitu seluas 347.578 Ha. Di dalam
pembahagian wilayah berdasarkan hukum adat Kerajaan Gunung Sahilan wilayah
Kerajaan ini adalah “Dari Pangkalan yang duo laras, Pangkalan Serai di laras
kiri dan Pangkalan Kapas di laras kanan dihulu Sungai Subayang dan Sungai
Batang Bio sampai ke Muara Langgai”.
Secara adat maka wilayah Kerajaan Gunung
Sahilan dibagi menjadi tiga Rantau yaitu, pertama Rantau Daulat dari Muara Langgai
sampai ke Muara Singingi dengan kampung-kampungnya, Mentulik, Sungai Pagar,
Jawi-Jawi, Gunung Sahilan, Subarak, Koto Tuo Lipat Kain. Kedua, Rantau Indo
Ajo, mulai dari Muara Singingi sampai ke Muara Sawa disebut Indo Ajo dengan
nama negerinya adalah Lubuk Cimpur yang disebut dengan kapalo kotonya Gunung
Sahilan.
Ketiga, Rantau Andiko dari Muara Sawa
sampai Kepangkalan yang dua laras dengan negeri-negeri Kuntu, Padang sawah,
Domo, Pulau Pencong, Pasir Amo (Gema), Tanjung Belit, Batu Sanggan, Miring, Gajah
Bertalut, Aur Kuning, Terusan, Pangkalan Serai, Ludai, Koto Lamo dan Pangkalan
Kapas. Dan pada awalnya di Rantau Kampar Kiri terdapat enam negeri asal yakni
Negeri Gunung Ibu atau Gunung Sahilan, Negeri Bungo Setangkai atau Lipat Kain,
Negeri Kuntu, Negeri Domo, Negeri Batu Sanggan dan Negeri Ludai.
Kerajaan Gunung Sahilan secara garis
besarnya dibagi ke dalam dua wilayah besar yaitu Rantau Daulat dan Rantau
Andiko. Rantau daulat adalah daerah pusat kerajaan. Rantau daulat berpusat di
Kenegarian Gunung Sahilan. Sedangkan Rantau Andiko adalah daerah kekuasaan
Khalifah yang berempat di mudik.
Sebelum berdirinya Kerajaan Gunung Sahilan
di Rantau Kampar Kiri pernah dikuasai oleh beberapa kerajaan antara lain:
Kerajaan Dinasti Fatimiyah yang mendirikan Kerajaan Islam Kuntu Kampar,
pendudukan Kerajaan Singosari, dan kekuasaan Dinasti Aru Barumun dari Tanah
Aceh.
Berdirinya Kerajaan Gunung Sahilan tidak
dapat dipisahkan dari Kerajaan Pagaruyung yang didirikan oleh Adityawarman.
Kerajaan Gunung Sahilan pada masa awal berdirinya diperkirakan pada abad ke
16-17 Masehi merupakan kerajaan bawahan kerajaan Pagaruyung dan raja-raja yang
memerintah di Kerajaan Gunung Sahilan adalah keturunan raja Pagaruyung atau
Raja Muda Kerajaan Pagaruyung.
Kerajaan Gunung Sahilan berdiri sendiri
sebagai Kerajaan Berdaulat setelah runtuhnya Kerajaan Pagaruyung pada awal abad
ke 18 Masehi akibat perang paderi. Sistem adat-istiadat Kerajaan Gunung Sahilan
adalah sistem adat Kerajaan Pagaruyung yang sudah dipengaruhi oleh ajaran
Islam. Secara ilmiah historis Kerajaan Gunung Sahilan mengakui kekuasaan
Kerajaan Hindia Belanda pada tahun 1905 dan kerajaan Gunung Sahilan berakhir
setelah bergabung dengan NKRI.
Kontribusi kerajaan dan rakyat Kerajaan
Gunung Sahilan bagi kemerdekaan cukup besar, terutama dukungan kerajaan
terhadap kemerdekaan dan kontribusi rakyat dalam mempertahankan kemerdekaan
pada masa agresi militer Belanda I dan II dimana wilayah eks Kerajaan Gunung
Sahilan adalah basis pertahanan Militer Republik dengan nama Resort Riau Selatan
yang tidak pernah mampu ditembus oleh Agresi Militer Belanda I dan Agresi
Militer Belanda II.
Di Kerajaan Gunung Sahilan pemerintahan
tertinggi ditangan Raja yang menguasai adat (pemerintahan) dan ibadat
(keagamaan). Gelar raja Kerajaan Gunung Sahilan adalah “Tengku Yang Dipertuan
Besar” dan untuk Raja Ibadat “Tengku Yang Dipertuan Sati”.
Kedudukan Raja dalam Kerajaan Gunung
Sahilan adalah sebagai Lambang Negara Kerajaan, sementara pemerintahan dalam
artian eksekutif dikendalikan oleh lembaga ini disebut Kerapatan Khalifah nan
berempat dimudik berlima dengan Dt. Besar Khalifah Van Kampar kiri. Kedudukan
para khalifah ini dalam Kerajaan Gunung Sahilan adalah sebagai Majelis Menteri
(Kementerian) dimana fungsinya dibagi menurut bagian-bagian tertentu.
Kerajaan Gunung Sahilan diperkirakan
berdiri sekitar abad ke 16-17, dan berakhir pada tahun 1946. Kerajaan Gunung
Sahilan berdiri selama lebih kurang 300 tahun. Selama itu Kerajaan Gunung
Sahilan diperintah oleh Sembilan orang Raja atau Sultan dan satu orang Putra
Mahkota yang akan dinobatkan menjadi Sultan apabila raja yang terakhir wafat.
Menurut daftar silsilah raja-raja kerajaan
Gunung Sahilan yang dibuat oleh Drs. H. Darmansyah, 25 September 1992, bahwa
kerajaan Gunung Sahilan telah diperintah oleh 10 orang raja dan satu orang
putra mahkota yang akan dinobatkan apabila raja yang terakhir wafat. Akan
tetapi putra mahkota yang dilantik pada tahun 1939 tidak jadi dinobatkan
menjadi sultan Gunung Sahilan berhubung Kerajaan Gunung Sahilan sudah
berintegrasi dengan Republik Indonesia pada tahun 1946.
Urutan silsilah raja-raja Gunung Sahilan
itu adalah sebagai berikut :
1) Raja Mangiang, adalah raja pertama di
kerajaan Gunung sahilan, merupakan keturunan raja Gamayung Panitahan Sungai
Tarap, kuburannya di dekat Masjid Sahilan.
2) Raja bersusu empat, kuburannya berdekatan
dengan Raja Mangiang.
3) Sultan dipertuan Sakti Sultan Bujang,
kuburannya di Kapalo Koto Gunung Sahilan.
4) Sultan yang dipertuan Muda, kuburannya di
Kapalo Koto Gunung sahilan.
5) Sultan yang dipertuan Hitam, kuburannya di
Kapalo Koto Gunung Sahilan.
6) Sultan Yang Dipertuan Besar, kuburannya di
kota suci Mekah.
7) Sultan Abdul Jalil yang dipertuan Besar
Sultan Daulat, kuburannya di Kapalo Koto Gunung Sahilan.
8) Sultan Abdurrahman Yang Dipertuan Muda, kuburannya
di Jeddah.
9) Sultan Abdullah Sayyah gelar Yang Dipertuan
Besar Tengku Sulung, kuburannya di RSUD Pekanbaru, 18 Maret 1951.
10) Sultan Abdullah Hassan Tengku Yang
Dipertuan Sakti, kuburannya di Lipat Kain pada 8 Desember 1957.
11) Tengku Ghazali (putra mahkota dinobatkan
pada tahun 1941), kuburannya di RSUD Pekanbaru pada tanggal, 26 Juni 1975.
Raja terakhir Kerajaan Gunung Sahilan
adalah Tengku Ghazali yang tak lain adalah ayahandanya Tengku Nizar yang pada
waktu Pilkada Kampar tahun 2011 ikut menjadi calon Bupati Kampar. Sedangkan
salah seorang putri Tengku Ghazali bernama Putri Indra, lahir di Gunung Sahilan
pada tanggal, 17 Maret 1929. Putri Indra adalah ibundanya Drs H Azwan, M.Si
yang saat ini memangku jabatan sebagai Sekda Kabupaten Kampar.
Jejak sejarah Kerajaan Gunung Sahilan ini
telah dibukukan Pemda Kampar, tepatnya oleh Dinas Pariwista dan Kebudayaan
Kabupaten Kampar pada tahun 2007 yang lalu. Akhirnya semoga sejarah juga
bercerita tentang hubungan-hubungan peristiwa, peristiwa yang satu terjadi akibat
peristiwa yang lainnya, peristiwa yang lain itu akan menimbulkan peristiwa yang
berikutnya.[1]
2. Mesjid Jami’
Airtiris
Masjid ini dibangun pada tahun 1901 M atas
prakarsa seorang ulama bernama Engku Mudo Songkal, sebagai panitia
pembangunannya adalah yang disebut dengan “Ninik Mamak Nan Dua Belas” yaitu
para ninik-mamak dari berbagai suku yang ada dalam seluruh kampung. Tahun 1904
masjid ini selesai dibangun dan diresmikan oleh seluruh masyarakat Air Tiris
dengan menyembelih 10 ekor kerbau.
Saat dilihat dari arsitekturnya, pastinya
langsung terlihat bahwa Masjid Jami’ Air Tiris ini memang sudah berdiri sejak
lama. Bahkan kini usianya sudah sekitar 102 tahun. Sebenarnya masjid ini mulai
berdiri sejak tahun 1901 Masehi atas prakarsa dari seorang ulama yang bernama
Engku Mudo Songkal. Sedangkan panitianya terdiri dari para ninik-mamak dari
berbagai macam suku yang ada di kampung itu. Dalam sejarahnya panitia ini
disebut dengan istilah Ninik Mamak Nan Dua Belas. Proses pembangunan masjid ini
memang terbilang cukup lama. Butuh waktu sekitar 3 tahun untuk menyelesaikan
pembangunannya. Setelah mengalami proses yang cukup panjang, akhirnya pada
tahun 1904 masjid ini selesai dibangun dan diresmikan dengan menyembelih 10
ekor kerbau.
Satu hal yang menarik dari Masjid Jami’ Air
Tiris ini adalah adanya batu besar yang berbentuk mirip dengan kepala kerbau.
Batu ini terletak di dalam bak air akan tetapi yang membuatnya menarik adalah
kabar yang mengatakan bahwa batu ini sering berpindah dengan sendirinya tanpa
ada satu orang pun yang memindahkannya.
Lokasi Masjid ini terletak di desa Tanjung
Berulak, Pasar Usang, Kecamatan Kampar, Kabupaten Kampar, Riau, Indonesia.
Berjarak Lebih kurang 13 km dari Bangkinang, Ibukota Kabupaten Kampar dan 52 km
dari Pekanbaru, Riau, Indonesia.
Di luar masjid terdapat bak air yang di
dalamnya terendam batu besar yang mirip kepala kerbau. Konon, batu tersebut
selalu berpindah tempat tanpa ada yang memindahkannya. Masjid ini selalu
dikunjungi wisatawan nusantara dan mancanegara, terutama dari Singapura dan
Malaysia. Terutama dikunjungi pada bulan puasa dan setelah hari raya idul fitri
yakni hari ke 7 yang di kenal hari raya puasa enam.
Arsitektur masjid ini menunjukkan adanya
perpaduan gaya arsitektur Melayu dan Cina, dengan atap berbentuk limas.
Keunikan masjid ini adalah, bahwa seluruh bagian bangunan terbuat dari kayu,
tanpa menggunakan besi sedikitpun, termasuk paku. Pada dinding bangunan,
terdapat ornamen ukiran yang mirip dengan ukiran yang terdapat di dalam masjid
di Pahang, Malaysia.[2]
MESJID JAMI’ AIRTIRIS
3. Candi Muara Takus
Candi Muara Takus terletak di Desa Muara Takus, Kecamatan Tigabelas Koto Kampar, Kabupaten Kampar, Provinsi Riau. Jaraknya dari Pekanbaru, Ibukota Provinsi Riau, sekitar 128 km. Perjalanan menuju Desa Muara Takus hanya dapat dilakukan melalui jalan darat, yaitu dari Pekanbaru ke arah Bukittinggi sampai di Muara Mahat. Dari Muara Mahat melalui jalan kecil menuju ke Desa Muara Takus.[3]
Ada dua pendapat mengenai nama Muara Takus. Yang pertama mengatakan bahwa nama tersebut diambil dari nama sebuah anak sungai kecil bernama Takus yang bermuara ke Sungai Kampar Kanan. Pendapat lain mengatakan bahwa Muara Takus terdiri dari dua kata, yaitu “Muara” dan “Takus”. Kata “Muara” memunyai pengertian yang sudah jelas, yaitu suatu tempat sebuah sungai mengakhiri alirannya ke laut atau ke sungai yang lebih besar, sedangkan kata “Takus” berasal dari bahasa Cina, Ta berarti besar, Ku berarti tua, dan Se berarti candi atau kuil. Jadi arti keseluruhan kata Muara Takus adalah candi tua yang besar yang terletak di muara sungai.
Candi Muara Takus merupakan candi Buddha, terlihat dari adanya stupa, yang merupakan lambang Buddha Gautama. Ada pendapat yang mengatakan bahwa candi ini merupakan campuran dari bentuk candi Buddha dan Siwa. Pendapat tersebut didasarkan pada bentuk bentuk Candi Mahligai, salah satu bangunan di kompleks Candi Muara takus, yang menyerupai bentuk lingga (kelamin laki-laki) dan yoni (kelamin perempuan). Arsitektur candi ini juga memunyai kemiripan dengan arsitektur candi-candi di Myanmar. Candi Muara Takus merupakan sebuah kompleks yang terdiri atas beberapa bangunan.
Bangunan yang utama adalah yang disebut Candi Tuo. Candi
ini berukuran 32,80 m x 21,80 m dan merupakan candi bangunan terbesar di antara
bangunan yang ada. Letaknya di sebelah utara Candi Bungsu. Pada sisi sebelah
timur dan barat terdapat tangga, yang menurut perkiraan aslinya dihiasi stupa,
sedangkan pada bagian bawah dihiasi patung singa dalam posisi duduk. Bangunan
ini memunyai sisi 36 buah dan terdiri dari bagian kaki I, kaki II, tubuh dan
puncak. Bagian puncaknya telah rusak dan batu-batunya telah banyak yang hilang.
Candi Tuo dibangun dari campuran batu bata yang dicetak dan batu pasir (tuff).
Pemugaran Candi Tuo dilaksanakan secara bertahap akibat keterbatasan anggaran
yang tersedia. Pada 1990, selesai dikerjakan bagian kaki I di sisi timur.
Selama tahun anggaran 1992/1993 pemugaran dilanjutkan dengan bagian sisi
sebelah barat (kaki I dan II). Volume bangunan keseluruhan mencapai 2.235 m3, terdiri
dari : kaki: 2.028 m3, tubuh: 150 m3, dan puncak: 57 m3. Tinggi bangunan
mencapai 8,50 m.
Bangunan kedua dinamakan Candi Mahligai. Bangunan ini berbentuk bujur sangkar dengan ukuran 10,44 m x 10,60 m. Tingginya sampai ke puncak 14,30 m berdiri diatas pondamen segi delapan (astakoma) dan bersisikan sebanyak 28 buah. Pada alasnya terdapat teratai berganda dan di tengahnya menjulang sebuah menara yang bentuknya mirip phallus (yoni).
Pada 1860, seorang arkeolog Belanda bernama Cornel de Groot
berkunjung ke Muara Takus. Pada waktu itu di setiap sisi ia masih menemukan
patung singa dalam posisi duduk. Saat ini patung-patung tersebut sudah tidak
ada bekasnya. Di sebelah timur, terdapat teras bujur sangkar dengan ukuran 5,10
x 5,10 m dengan tangga di bagian depannya. Volume bangunan Candi Mahligai
423,20 m3yang terdiri dari volume bagian kaki 275,3 m3, tubuh 66,6 m3 dan
puncak 81,3 m3. Candi Mahligai mulai dipugar pada 1978 dan selesai pada 1983.
Bangunan ketiga disebut Candi Palangka, yang terletak 3,85 m sebelah timur
Candi Mahligai. Bangunan ini terdiri dari batu bata merah yang tidak dicetak.
Candi Palangka merupakan candi yang terkecil, relung-relung penyusunan batu
tidak sama dengan dinding Candi Mahligai. Dulu sebelum dipugar bagian kakinya
terbenam sekitar satu meter. Candi Palangka mulai dipugar pada 1987 dan selesai
pada 1989. Pemugaran dilaksanakan hanya pada bagian kaki dan tubuh candi,
karena bagian puncaknya yang masih ditemukan pada 1860 sudah tidak ada lagi. Di
bagian sebelah utara terdapat tangga yang telah rusak, sehingga tidak dapat
diketahui bentuk aslinya. Kaki candi berbentuk segi delapan dengan sudut
banyak, berukuran panjang 6,60 m, lebar 5,85 m, serta tingginya 1,45 m dari
permukaan tanah dengan volume 52,9 m3.
Bangunan keempat dinamakan Candi Bungsu. Candi Bungsu terletak di sebelah barat Candi Mahligai. Bangunannya terbuat dari dua jenis batu, yaitu batu pasir (tuff) terdapat pada bagian depan, sedangkan batu bata terdapat pada bagian belakang. Pemugaran candi ini dimulai pada 1988 dan selesai dikerjakan pada 1990. Melalu pemugaran tersebut candi ini dikembalikan ke bentuk aslinya, yaitu empat persegi panjang dengan ukuran 7,50 m x 16,28 m. Bagian puncak tidak dapat dipugar, karena tidak diketahui bentuk sebenarnya. Tinggi setelah dipugar 6,20 m dari permukaan tanah, dan volumenya 365,8 m3.
Menurut gambar yang dibuat oleh J.W. Yzerman bersama-sama dengan TH. A.F. Delprat dan Opziter (Sinder) H.L. Leijdie Melvile, di atas bangunan yang terbuat dari bata merah terdapat 8 buah stupa kecil yang mengelilingi sebuah stupa besar. Di atas bangunan yang terbuat dari batu pasir (tuff) terdapat sebuah tupa besar. Di bagian sebelah timur terdapat sebuah tangga yang terbuat dari batu pasir.
Selain bangunan-bangunan di atas, di sebelah utara, atau tepat di depan gerbang Candi Tuo terdapat onggokan tanah yang mempunyai dua lobang. Tempat ini diperkirakan tempat pembakaran jenazah. Lobang yang satu untuk memasukkan jenazah dan yang satunya lagi untuk mengeluarkan abunya. Tempat pembakaran jenazah ini, termasuk dalam pemeliharaan karena berada dalam kompleks percandian. Di dalam onggokan tanah tersebut terdapat batu-batu kerikil yang berasal dari Sungai Kampar. Di di luar kompleks Candi Muara Takus, yaitu di beberapa tempat di sekitar Desa Muarata Takus, juga diketemukan beberapa bangunan yang diduga masih erat kaitannya dengan candi ini.
Konon ada anggapan teknologi pembuatan candi dengan bahan bata selangkah lebih maju dibanding candi dari batuan andesit. Perekat bata berasal dari telur ayam sebagai ganti semen. Hal ini berbeda dengan candi-candi batu andesit yang menggunakan teknik tatah. Bangunan candi ini terbuat dari campuran batu pasir, batu sungai dan batu bata. Menurut sebuah sumber, batu bata untuk bangunan candi ini dibuat di desa Pongkai, sebuah desa yang terletak di sebelah hilir komplek candi. Bekas galian tanah untuk membuat batu bata sampai saat ini menjadi tempat yang dikeramatkan warga. Untuk membawa batu bata ke tempat candi, dilakukan secara beranting dari tangan ke tangan.
Candi ini ditemukan oleh Yzerman pada tahun 1893, ketika ia berkelana di hutan-hutan Sumatera. Ia tertegun ketika melihat sebuah gundukan tembok yang berlapis-lapis. Pada tahun 1935, seorang arkeolog berkebangsaan Belanda, Dr. F.M. Schnitger datang dan meneliti candi ini. Saat itu, ia sempat heran melihat kedatangan segerombolan gajah ke candi tersebut pada malam bulan purnama, seperti hendak berziarah. Ada yang menghubungkan kejadian ini dengan aspek mistik. Tapi sebenarnya, ini tak lebih dari kenyataan bahwa posisi candi Muara Takus memang berada di daerah lintasan dan permainan gajah.
Banyak versi tentang masa pendirian Candi Muara Takus. Penelitian Arkeolog Jerman FM Schnitger PhD pada 1935 – 1936 menyimpulkan, situs purbakala ini dibangun abad XI atau XII. Hal itu didasari penelitian terhadap struktur batu bahan utama candi. Pendapat itu disetujui Dr Bennet, setelah meneliti puing-puing keramik di sekitar candi pada tahun 1973.
Pada zaman kejayaan Sriwijaya, Budha berkembang pesat di Jambi, Riau dan sebagian Sumatera Utara. Makanya dapat dijumpai juga sejumlah candi-candi Budha dan sejumlah prasasti penting di ketiga daerah tersebut. Salah satu prasasti ditemukan di Pulau Karimun, di hulu Sungai Kampar yang menghadap Selat Malaka. Prasasti itu berupa sebuah tulisan kuno yang ditulis sekitar abad ketujuh. Prasasti dengan nama Telapak Kaki Budha itu, sebagai bukti perkembangan agama Budha di sana.[4]
4. Makam Syekh Burhanuddin
Makam Syeh Burhanudin berlokasi di Kecamatan Kampar Kiri, Kabupaten Kampar. tepatnya didesa kuntu simpang empat lipat kain. Jalan menuju makam ini bisa dari dua arah, yaitu dari kota pekan baru atau dari sumatra barat. Jika dari arah Pekanbaru perjalanan kearah kampar kiri sekitar 1 jam kemudian sampai di Simpang Empat Lipat Kain dan menuju Desa Kuntu dengan mengikuti petunjuk disimpang tersebut. Sedangkan kl dari sumatra barat yaitu kearah teluk kuantan yang diteruskan kekampar kiri. Syeikh Burhanuddin kampar ini adalah murid Syeikh Abdullah Arif, ini berbeda dengan Syeikh Burhanuddin Ulakkan murid Syeikh Abdur Rauf bin Ali al-Fansuri.
Almarhum Syekh Burhanuddin adalah salah seorang penyebar Agama Islam yang juga merupakan tuan guru dari tarekat naqsybandi. Syekh Burhanuddin lahir di Mekkah pada tahun 1111 M atau 530 H dan Wafat di Kuntu pada 1191 M atau 610 H. Beliau menyiarkan agama Islam di Batu Hampar, Sumatra Barat pada 1141 - 1151 M, pada 1151 - 1156 ia tinggal di Kumpulan Bonjol, Sumatra Barat kemudian berpindah lagi ke Pariaman pada rentang waktu 1156 – 1171.
Kemudian Syekh Burhanuddin menetap dan menyiarkan Islam di Kuntu, Riau, selama 20 tahun hingga meninggal pada tahun 1191 dan dimakamkan di tepian sungai Sebayang, Desa Kuntu. Makam tuan guru Tarekat Naqsabandiah ini ditandai dengan batang kayu sungkai yang kini telah menjadi batu fosil. Beberapa barang peninggalannya dipegang oleh keturunannnya baik buku kotbah, kitab, stempel, pedang maupun baju kebesarannya
Banyak hal-hal menarik yang dianggap keramat oleh masyarakat, baik pengikutnya maupun masyarakat luas, yang kemudian menjadikan imam ini menjadi mulia. Salah satunya adalah dua batu nisan yang menandai makamnya. Menurut H Junaidi, pimpinan Ponpes Burhanuddin Kuntu, batu nisan tersebut asalnya adalah pohon sungkai yang menjadi batu. Sejak ditanam hingga sekarang tak ada yang bisa mencabutnya. Bahkan, seekor gajah mencabutnya dengan belalai. Selain tak tercabut, ternyata gajah itu langsung mati. “Dulu tebing Sungai Subayang atau Sungai Kampar Kiri ini sering runtuh, namun setelah Syekh Burhanuddin bermakam di sana, tebing tersebut tak pernah runtuh lagi, bahkan aliran sungai itu beralih ke tempat lain,”[5]
MAKAM SYEKH BURHANUDDIN
5. Balimau Kasai Dan Penyambutan Bulan Suci Ramadhan
1)
Kebudayaan Ritual Balimau Kasai – masyarakat Kampar
Balimau Kasai adalah sebuah
upacara tradisional yang istimewa bagi masyarakat Kampar di Provinsi Riau untuk
menyambut bulan suci Ramadan. Acara ini biasanya dilaksanakan sehari menjelang
masuknya bulan puasa. Upacara tradisional ini selain sebagai ungkapan rasa
syukur dan kegembiraan memasuki bulan puasa, juga merupakan simbol penyucian
dan pembersihan diri. Balimau sendiri bermakna mandi dengan menggunakan air
yang dicampur jeruk yang oleh masyarakat setempat disebut limau. Jeruk yang
biasa digunakan adalah jeruk purut, jeruk nipis, dan jeruk kapas.
Sedangkan kasai adalah
wangi- wangian yang dipakai saat berkeramas. Bagi masyarakat Kampar, pengharum
rambut ini (kasai) dipercayai dapat mengusir segala macam rasa dengki yang ada
dalam kepala, sebelum memasuki bulan puasa.
Sebenarnya upacara
bersih diri atau mandi menjelang masuk bulan ramadhan tidak hanya dimiliki
masyarakat Kampar saja. Kalau di Kampar upacara ini sering dikenal dengan nama
Balimau Kasai, maka di Kota Pelalawan lebih dikenal dengan nama Balimau Kasai
Potang Mamogang. Di Sumatera Barat juga dikenal istilah yang hampir mirip,
yakni Mandi Balimau. Khusus untuk Kota Pelalawan, tambahan kata potang mamogong
mempunyai arti menjelang petang karena menunjuk waktu pelaksanaan acara
tersebut.
Tradisi Balimau Kasai
di Kampar, konon telah berlangsung berabad- abad lamanya sejak daerah ini masih
di bawah kekuasaan kerajaan. Upacara untuk menyambut kedatangan bulan Ramadan
ini dipercayai bermula dari kebiasaan Raja Pelalawan. Namun ada juga anggapan
lain yang mengatakan bahwa upacara tradisional ini berasal dari Sumatera Barat.
Bagi masyarakat Kampar sendiri upacara Balimau Kasai dianggap sebagai tradisi
campuran Hindu- Islam yang telah ada sejak Kerajaan Muara Takus berkuasa.
Keistimewaan Balimau
Kasai merupakan acara adat yang mengandung nilai sakral yang khas. Wisatawan
yang mengikuti acara ini bisa menyaksikan masyarakat Kampar dan sekitarnya
berbondong-bondong menuju pinggir sungai (Sungai Kampar) untuk melakukan ritual mandi bersama. Sebelum masyarakat menceburkan diri
ke sungai, ritual mandi ini dimulai dengan makan bersama yang oleh masyarakat
sering disebut makan majamba.
2)
Filosofi Dari Upacara Ritual Balimau Kasai
Balaimau bakasai ini berasal dari tradisi penduduk
sungai gangga yang ada di india mereka menganut agama hindu yang memeiliki
tradisi pnyucian diri di sungai, agar dosa-dosa merka hilang bersama
mengalirnya air sungai tersebut dan kemudian agama itu berkembang di indonesia
hingga sampai ke pelosok negeri yang ada di nusantara dan sungai di kampar ini
sebagai bukti bahwa adanya agama hindu sampai di kampar ini sebagai bukti bahwa
adanya agama hindu sampai di kampar adalah dengan adanya gugusan candi di muara
takus (XIII Koto Kampar).
Dan setelah masuk di daerah pelalawan berkembangnya
Budaya dan Tradisi dan budaya itupun masih berkembang hingga sekarang ini
semoga apa yang telah di wariskan oleh nenek moyang kita dahulu dapat lebih
berkembang lagi hingga ke sanak cucu kita nanti.
Balimau Kasai bagi masyarakat Riau mempunyai makna
yang mendalam yakni bersuci sehari sebelum Ramadhan. Biasanya dilakukan ketika
petang sebelum Ramadhan berlangsung. Tua-muda turun ke sungai dan mandi
bersama.Balimau artinya membasuh diri dengan ramuan rebusan limau purut atau
limau nipis. Sedangkan kasai yang bermakna lulur dalam bahasa Melayu adalah
bahan alami seperti beras, kunyit, daun pandan dan bunga bungaan yang membuat
wangi tubuh.
Tradisi ini, berlangsung sejak turun menurun di
kalangan Melayu Riau. Tradisi dilakukan hampir di seluruh kabupaten/kota yang
ada, dengan nama berbeda satu sama lain. Contohnya saja Balimau Kasai
lebih dikenal oleh masyarakat Kabupaten pelalawan . Di Pekanbaru, tradisi ini
dinamakan Petang Megang sedangkan di Indragiri Hulu cukup dengan nama Balimau
saja.
Balimau Kasai artinya mensucikan diri baik lahir dan
batin, sebelum datangnya Ramadhan,"menurut masyarakat. Kebanyakan
orang kegiatan Balimau Kasai ini merupakan ritual wajib yang harus
dilakukan. Selain mandi di sungai dengan limau yang dianggap sebagai penyucian
fisik, ajang ini juga dijadikan sarana untuk memperkuat rasa persaudaraan
sesama muslim dengan saling mengunjungi dan meminta maaf.Namun sanagat
disayangkan pada saat ini, tradisi ini semakin menyalahi, dulu ada
batasan antara lelaki dan perempuan. Sekarang semua bercampur baur. Tidak lagi
menunjukkan mensucikan diri yang sebenarnya,
3) Nilai Filosofis Dari Mandi Balimau
Mandi Balimau kasai tersebut bukanlah termasuk sunnah
rosulullah, melainkan hanya sebagai tradisi semata yang memiliki nilai
filosofis yang tinggi bagi masyarakat pelalawan dan sekitarnya, Selain momen
membersihkan diri secara zahir, mandi Balimau Kasai juga merupakan momentum
untuk menjalin silaturrahmi dan acara saling maaf memaafkan dalam rangka
menyambut tamu agung yaitu Syahru Ramadan Syahrus Siyam, jadi bukanlah sebuah
keyakian yang memiliki dalil naqli secara qat’i. tapi ini lebih kepada
sebuah adat yang bersendikan syara’ (Syariat Islam) syara’ bersandikan
Kitabullah yang secara filosifisnya tidak bertentangan dengan ajaran Islam.
Tidak dapat kita pungkiri bahwa kemajuan zaman hari
ini secara langsung maupun tidak memberikan dampak negative terhadap kehidupan
kita dalam kerangka adat istiadat, banyak terjadi distorsi sejarah, salah
interpretasi terhadap nilai-nilai adat yang telah menjadi bagian yang tidak
terpisahkan dalam kehidupan kita, termasuk mandi Balimau Kasai.Bisa kita lihat
dari tahun ketahun kegiatan mandi Balimau Kasai telah dinodai dengan tindakan
yang yang berseberangan dengan syariat islam diantaranya berhura-hura,
berboncengan laki-laki dan perempuan yang bukah muhrim, mandi massal yang
bercampur antara laki-laki dan perempuan, mabuk-mabukan sampai kepada musik
yang menjauhkan masyarakat dari mengingat Allah Swt.
Padahal dulunya, tradisi ini merupakan hal yang
tergolong urgen dan sakral. Sebelum memasuki bulan puasa atau sebelum magrib,
anak kemenakan dan menantu atau juga yang tua serta murid akan mendatangi orang
tua, mertua, mamak (paman), kepala adat, atau guru ngaji mereka datang dalam
rangka meminta maaf menjelang masuk bulan suci.[6]
Dulu ada beberapa rangkaian acara yang dilakukan oleh
masyarakat Kampar dalam penyambutan ramadhan, namun acara ini sudah hilang dan
yang tertinggal hanyalah balimau kasai-nya saja yang terasa dominan. Adapun acara
yang sudah banyak ditinggalkan antara lain:
1. Membuat lemang saat sore balimau. Tepat pada tanggal 30 sya’ban atau sehari
menjelang 1 ramadhan. Lemang sendiri adalah jenis makanan khas Kampar yang
menggunakan buluh sebagai wadah utamanya.
2. Manjalang adalah acara untuk menghormati yang dituakan, lazimnya adalah
acara anak mengunjungi ibunya ataupun kemenakan mengunjungi mamaknya. Tujuan
utamanya adalah satu, merajut silaturrahim dan memohon maaf jika ada khilaf dan
salah.
3. Mandi balimau kasai, yang dipusatkan oleh pemda Kampar di desa Batu Belah
kenegrian Air Tiris.
BALIMAU KASAI
Islamic Center Bangkinang (ICB)
berlokasi di jalan prof. M.Yamin SH, jalan ini merupakan jalan raya yang
menghubungkan dua provinsi, yaitu provinsi Riau dan provinsi Sumatera Barat.
Dengan bergoreskan seni arsitektur timur tengah dan memakan luas area sekitar
1,5 hektar, bangunan megah ini menghabiskan dana setidaknya 2 kali lipat APBD
Kabupaten Kampar.
Sebuah maha karya yang menjadi
icon/ikon kota Bangkinang ini, dibangun atas inisiatif Bupati terdahulu, H.
Jefri Nur dan seluruh masyarakat Bangkinang tanpa terkecuali. Dengan menyulap
tempat berkumpulnya para remaja kota Bangkinang, menjadi sebuah tempat ibadah
yang sarat makna dan hikmah, tempat berkumpulnya para ulama.
Islamic Center Bangkinang (ICB)
ini dibangun bukan saja untuk menjadi pusatnya agama Islam, namun juga sebagai
taman kota. Jika Anda menyempatkan jalan-jalan di areal ICB, akan terlihat
diasana kecerian masyarakat Bangkinang bersama keluarga, terutama di sore hari.[7]
PROFIL KABUPATEN KAMPAR
Nama Resmi
|
:
|
Kabupaten Kampar
|
Ibukota
|
:
|
Bangkinang
|
Provinsi
|
:
|
Riau
|
Batas Wilayah
|
:
|
Utara:
Kota Pekanbaru dan Kabupaten Rokan Ilir
Selatan: Kabupaten Kauantan Singingi Barat: Kabupaten Rokan Hulu dan Provinsi Sumatera barat Timur: Kabupaten Palalawan dan Kabupaten Siak |
SEJARAH SINGKAT KABUPATEN KAMPAR
Berdasarkan
surat keputusan Gubernur Militer Sumatera Tengah Nomor : 10/GM/STE/49 tanggal 9
Nopember 1949, Kabupaten Kampar merupakan salah satu Daerah Tingkat II di
Propinsi Riau terdiri dari Kawedanaan Palalawan, Pasir Pangarayan, Bangkinang
dan Pekanbaru Luar Kota dengan ibu kota Pekanbaru. Kemudian berdasarkan
Undang-undang No. 12 tahun 1956 ibu kota Kabupaten Kampar dipindahkan ke Bangkinang
dan baru terlaksana tanggal 6 Juni 1967.
Semenjak
terbentuk Kabupaten Kampar pada tahun 1949 sampai tahun 2006 sudah 21 kali masa
jabatan Bupati Kepala Daerah. Sampai Jabatan Bupati yang keenam (H. Soebrantas
S.) ibu kota Kabupaten Kampar dipindahkan ke Bangkinang berdasarkan UU No. 12
tahun 1956.
Adapun
faktor-faktor yang mendukung pemindahan ibu kota Kabupaten Kampar ke
Bangkinang antara lain :
1.
Pekanbaru sudah menjadi ibu kota Propinsi Riau.
2.
Pekanbaru selain menjadi ibu kota propinsi juga
sudah menjadi Kotamadya.
3.
Mengingat luasnya daerah Kabupaten Kampar sudah
sewajarnya ibu kota dipindahkan ke Bangkinang guna meningkatkan efisiensi
pengurusan pemerintahan dan meningkatkan pelayanan kepada masyarakat.
4.
Prospek masa depan Kabupaten Kampar tidak mungkin
lagi dibina dengan baik dari Pekanbaru.
Bangkinang
terletak di tengah-tengah daerah Kabupaten Kampar, yang dapat dengan mudah
untuk melaksanakan pembinaan ke seluruh wilayah kecamatan dan sebaliknya.
LOGO KABUPATEN KAMPAR
Lambang
Kampar terbagi atas 9 bagian, yaitu:
1. Empat
petak dalam
perisai
2. Tiga
garis putih di tengah
3.
Bintang lima dengan dua tangkai padi
4. Rusa
5.
Menara sumur
6. Dua
buah gerobak lori
7. Empat
puncak benteng
8. Pohon
karet
9. Peta
kabupaten Kampar
Adapun
arti lambang tersebut adalah:
- BENTENG DAN PERISAI adalah melambangkan kekuatan dan kekebalan rakyat dalam berjuang dan membangun
- BATU BERSUSUN adalah melambangkan persatuan Nasional yang kuat, kokoh, serta menimbulkan inspirasi membangun
- TUJUH BELAS BUAH BATU BERSUSUN adalah menunjukan tanggal tujuh belas hari proklamasi
- DELAPAN BUAH BATU BATA adalah menunjukan bulan delapan (bulan Agustus)
- EMPAT DAN LIMA buah dibawah menunjukan tahun 45 (1945)
- SATU PINTU GERBANG adalah melambangkan pintu kemakmuran
- BINTANG BERSUDUT LIMA adalah melambangkan Pancasila
- POHON KARET adalah melambangkan sumber dari kemakmuran rakyat
- TUJUH BELAS BUTIR PADI dalam setangkai dan LIMA CABANG POHON KARET adalah melambangkan bahwa negara Republik Indonesia diproklamirkan tanggal 17 Agustus 1945 berdasarkan Pancasila
- EMPAT BUAH PUNCAK BENTENG adalah melambangkan adat istiadat yang menjiwai prikehidupan rakyat
- RUSA adalah melambangkan sifat-sifat ketangkasan, kecakapan, kelincahan dan keuletan
- PETA KABUPATEN KAMPAR menyatakan daerah kabupaten kampar
- MENARA MINYAK DAN TANGKI adalah melambangkan kekayaan alamnya dengan gas bumi
- SATU LORENS dengan DUA GEROBAK LORI adalah melambangkan kekayaan alamnya dengan bahan-bahan logam[8]
- DATUK WAN ABDUL RAHMAN (1 JANUARI 1950 S.D APRIL 1954)
- ALI LUIS (APRIL 1954 S.D MARET 1958)
- ABD. MUIN DATUK RANGKAYO MAHARAJO (MARET 1956 S.D SEPTEMBER 1958)
- DATUK WAN ABDUL RAHMAN (3 SEPTEMBER 1958 S.D OKTOBER 1959)
- DATUK HARUNSYAH (2 JANUARI 1960 S.D 11 FEBRUARI 1965)
- TENGKU MUHAMMAD ( 11 NOVEMBER 1965 S.D 17 MEI 1967)
- R. SOEBRANTAS SISWANTO (18 MEI 1967 S.D 18 SEPTEMBER 1978)
- ABDUL MAKAH HAMID , SH (7 SEPTEMBER 1978 S.D 14 FEBRUARI 1979)
- SARTONO HAD I SUMARTO (14 FEBRUARI 1979 S.D 14 FEBRUARI 1984)
- SYARIFUDDIN ( 28 MEI 1984 S.D 3 OKTOBER 1985)
- H. IMAM MUNANDAR (PEJABAT BUPATI 1985 S.D 1986)
- H. SALEH DJASIT,SH ( 28 MEI 1986 S.D 3 APRIL 1996)
- H. M. AZALY DJOHAN, SH (PEJABAT BUPATI 3 APRIL 1996 S.D 4 NOVEMBER 1996)
- DRS. H. BENG SABLI (4 NOVEMBER 1996 S.D 5 APRIL 2001)
- DRS. H. SYAWIR HAMID (PEJABAT BUPATI 5 APRIL 2001 S.D 23 NOVEMBER 2001)
- H. JEFRY NOER DAN WAKILNYA H. A ZAKIR, SH MM (23 NOPEMBER 2001 S.D 25 MARET 2004)
- RUSLI ZAINAL PLT. BUPATI KAMPAR ( 25 MARET 2004 S.D 23 SEPTEMBER 2005)
- JEFRY NOER DAN WAKILNYA H. A. ZAKIR ( 23 SEPTEMBER 2005 S.D 23 NOPEMBER 2006)
- DRS. MARJOHAN YUSUF. PLT BUPATI KAMPAR (23 NOPEMBER S.D 11 DESEMBER 2006)
- H. BURHANUDDIN HUSIN DAN WAKILNYA TEGUH SAHONO (11 DESEMBER 2006 S.D 11 DESEMBER 2011)
- JEFRY NOER DAN WAKILNYA IBRAHIM ALI (11 DESEMBER 2011 S.D SEKARANG)[9]