METODE-METODE TAFSIR
Oleh: Mairita Fitri
A.
Pendahuluan
Al-Quran
adalah sumber ajaran Islam. Laksana samudera yang keajaiban dan keunikannya
tidak pernah sirna di telan masa, sehingga lahirlah bermacam-macam tafisr
dengan metode yang beraneka ragam. Para ulama telah menulis dan mempersembahkan
karya-karya mereka dibidang tafsir ini, dan menjelaskan metode-metode yang
digunakan oleh masing-masing tokoh penafsir, metode-metode yang dimaksud adalah
metode tahliliy, ijmali, muqaran, dan maudhu’i.
Banyak
cara pendekatan dan corak tafsir yang mengandalkan nalar, sehingga akan sangat
luas pembahasan apabila kita bermaksud menelusurinya satu demi satu. Untuk itu,
agaknya akan lebih mudah dan efesien, pembahasan didalam makalah hanya
mengambil empat metode tafsir saja yaitu tahliliy, ijmaliy, muqaran,
dan maudhu’i. Pentingnya metode tafsir tahlili, ijmali, muqaran dan
maudhu’i dalam menafsirkan ayat-ayat Al-Quran adalah untuk membantu dan
memudahkan bagi orang yang ingin mempelajari dan memahami ayat Al-Quran itu
sendiri. dan mengingat empat metode tersebut telah menjadi pilihan banyak mufassir
(ulama tafsir) dalam karyanya. Oleh karena itu dalam makalah ini penulis akan membahas
lebih jelas mengenai metode tahliliy, ijmaliy, muqaran, dan
maudhu’i.
B.
Pengertian Metode Tafsir
Kata metode
berasal dari bahasa yunani “methodos” yang berarti “cara atau jalan”.
Dalam bahasa Inggris kata ini ditulis “method” dan bahasa Arab
menerjemahkannya dengan “thariqat” dan “manaj”. Dan dalam
pemakaian bahasa indonesia kata tersebut mengandung arti: “cara yang teratur
dan berpikir baik-baik untuk mencapai maksud (dalam ilmu pengetahuan dan
sebagainya); cara kerja yang bersistem untuk memudahkan pelaksanaan suatu
kegiatan guna mencapai tujuan yang ditentukan”.[1]
Kata tafsir
berasal dari bahasa Arab, yaitu fassaara, yufassiru, tafsiran yang
berarti penjelasan, pemahaman, dan perincian. Selain itu, tafsir dapat
pula berarti al idlah wa altabiyin, yaitu penjelasan dan keterangan.
Menurut Imam al-Zarqhoni mengatakan bahwa tafsir adalah ilmu yang membahas
kandungan al-Quran baik dari segi pemahaman makna atau arti sesuai yang
dikehendaki Allah Swt menurut kadar kesanggupan manusia. Selanjutnya Abu Hayan,
sebagaimana dikutip al-Sayuthi, mengatakan bahwa tafsir adalah ilmu yang
didalamnya terdapat pembahasan mengenai cara mengucapkan lafal-lafal al-Quran
disertai makna serta hukum-hukum yang terkandung didalamnya.[2]
Sedangkan metodologi tafsir adalah sebuah ilmu yang mengajarkan kepada orang
yang mempelajarinya untuk menggunakan metode tersebut dalam memahami ayat-ayat
al-Quran.[3]
C.
Al-Tafsir al-Tahliliy (Analisis)
Kata tahlili
berasal dari bahasa arab halalla-yuhalillu-tahlilan yang berarti
mengurai atau menganalisa.[4]
Tafsir rahlili ialah menafsirkan al-Qur’an berbasarkan susunan ayat dan surah
yang terdapat dalam mushaf. Seorang mufassir, dengan menggunakan metode ini
menganalisis setiap kosa kata atu lafal dari aspek bahasa dan makna. Analisis
dari aspek bahasa meliputi keindahan susunan kalimat ijasz, badi’, ma’ani,
bayan, haqiqat, majaz, kinayah, isti’arah. Dan dari aspek makna meliputi sasaran
yang dituju oleh ayat, hukum, aqidah, moral, perintah, larangan, relevansi ayat
sebelum dan sesudahnya, hikmah dan lain sebagainya.[5]
Selanjutnya metode Tahlily merupakan metode tafsir al-Quran yang dalam
menafsirkan ayat-ayat al-Quran dilakukan dengan cara urut dan tertib ayat dan
surah sesuai dengan urutan yang terdapat dalam mushaf, yakni dimulai dari surat
al-Fatihah, al-Baqarah, Al Imran dan seterusnya hingga surat an-Nas.[6]
Dari pengertian diatas, dapat disimpulkan bahwa metode tafsir tahlily merupakan
penafsiran ayat al-Quran dengan cara berurutan sesuai urutan surah yang ada
pada al-Quran, dengan cara menganalisis dari semua aspek, baik dari segi kosa
kata, lafal dari aspek bahasa, serta makna.
Dibandingkan
dengan metode tafsir lainnya, metode tahlily adalah metode paling lama. Tafsir
ini berasal sejak masa para sahabat Nabi Saw. Pada mulanya terdiri dari
tafsiran atas beberapa ayat saja, yang kadang-kadang mencakup penjelasan
mengenai kosakatanya saja. Dalam penjalanan waktu, para ulama tafsir merasakan
kebutuhan adanya tafsir yang mencakup seluruh isi al-Quran. Oleh karena itu
akhir abad ke-3 dan pada awal abad ke-4 H (10 M), ahli tafsir ibnu majah,
al-Thabari mengkaji seluruh isi al-Quran dan membuat model-model paling maju
dari tafsir tahlily ini.
Adapun
kelebihan dari metode tafsir tahlily ini adalah:
a.
Ruang
lingkupnya luas
b.
Dapat
memuat berbagai macam ide
Sedangkan
kelelmahan dari metode tafsir yahlily ini adalah:
a)
Menjadikan
petunjuk al-Quran parsial (bagian-bagian).
b)
Melahirkan
penafsiran yang subjektif.
c)
Kajiannya
tidak mendalam.[7]
Berbagai aspek
yang dianggap perlu oleh seorang mufasir tahlily di uraikan, yang
tahapan kerjanya yaitu dimulai dari:
1.
Bermula
dari kosakata yang terdapat pada setiap ayat yang akan ditafsirkan sebagaimana
urutan dalam al-Quran, mulai dari surah al-Fatihah hingga surah an-Nass.
2.
Menjelaskan
asbab an-Nuzul ayat ini dengan
menggunakan keterangan yang diberikan oleh hadist (bir Riwayah).
3.
Menjelaskan
munasabah atau hubungan ayat yang ditafsirkan dengan ayat sebelumnya atau
sesudahnya.
4.
Menjelaskan
makna yang terkandung pada setiap potongan ayat dengan menggunakan keterangan
yang ada pada ayat lain, atau dengan menggunakan hadis Rasulullah Saw atau
dengan mengguanakan penalaran rasional atau berbagai disiplin ilmu sebagai
sebuah pendekatan.
5.
Menarik
kesimpulan dari ayat tersebut yang berkenaan dengan hukum mengenai suatu
masalah, atau lainnya sesuai dengan kandungan ayat tersebut.
Di antara buku
tafsir yang menggunakan metode tahlili adalah:
-
Al-Quthubi
-
Ibnu
Katsir
-
Tafsir
Ibnu Jarir
D.
Al-Tafsir al-Ijmaliy (Global)
Secara harfiah,
kata ijmali berasal dari kata ajmala yang berarti menyebutkan sesuatu secara
tidak terperinci. Kata Ijamali secara bahasa artinya ringkasan, ikhtisarm
global, dan penjumlahan. Tafsir ijmali adalah penafsiran al-Quran yang
dialakukan dengan cara mengemukakan isi kandungan al-Quran melalui pembahasan
yang bersifat umum (global), tampa uraian apalagi pembahasan yang panjang dan
luas, juga tidak dilakukan secara rinci. Dengan metode ini, mufasir berupaya
menjelaskan makna-makna al-Quran dengan uraian singkat dan yang mudah. Sehingga
dipahami oleh semua orang, mulai dari orang yang berpengatahuan sekedarnya sampai
orang berpengetahuan luas.
Dengan metode
ini, mufassir berupaya pula menafsirkan kosa kata al-Quran dengan kosa kata
yang berada didalam al-Quran sendiri, sehingga para pembaca melihat uraian
tafsirnya tidak jauh dari konteks al-Quran, tidak keluar dari muatan makna yang
terkandung dalam al-Quran. Secara garis besar metode tafsir inti tidak berbeda
dengan metode medel pendekatan analisis. Letak perbedaannya yang menonjol pada
aspek wawasannya. Kalau metode analisis operasional penafsirannya tampak hingga
mendetail, sedangkan metode global tidak. Uraian penjelasannya lebih ringkas,
sederhana dan tidak berbelit-belit. Ciri-ciri yang nampak pada metode ijmali
adalah mufassirya langsung menafsirkan al-Quran dari awal sampai akhir tanpa
perbandingan dan penetapan judul.[8]
Adapun
kelebihan dari metode ijmali ini antara lain:
a.
Praktis
dan mudah difahami
b.
Bebas
dari penafsiran israiliyat
c.
akrab
dengan bahasa al-Qur’an
Kekuarangan-kekurangan
dari metode ijmali ini antara lain:
-
menjadikan
petunjuk al-Quran bersifat parsial (terbagi tapi tidak mendalam).
-
Tidak
ada ruang untuk mengemukakan analisis yang memedai.
Adapun sistematika dalam penulisan tafsir
model ini mengikuti susunan ayat-ayat al-Quran. Selain itu mufassir juga
mengkaji dan menyajikan dan menyajikan sebab turunnya ayat melalui penelitian
dengan menggunakan hadis-hadis yang terkait. Tafsir ijamali biasanya,
menjelaskan makna ayat secara berurutan, ayat demi ayat dan surah demi surah
sesuai dengan urutan mushaf usmani. Adapun kitab-kitab tafsir dengan metode ijmalii
adalah:
1.
Tafsir
al-Jalalain, karya jalal
al-Din al-Sayuthi dan jalal al-Din al-Mahalli.
2.
Shofwah
al-Bayan lima’ani al-Quran, karya
Sheikh Husnain Muhamma Mukhlaut.
3.
Tafsir
al-Quran Azhim, karya Ustadz
Muhammad Farid Majdy.
E.
Al-Tafsir al-Muqaran (Perbandingan/Komparasi)
Secara harfiah,
muqaran berarti membandingkan. Secara istilah, tafsir muqaran berarti
suatu metode atau teknik menafsirkan al-Quran dengan cara membandingkan
pendapat seorang mufassir dengan mufassir lainnya mengenai tafsir sejulah
ayat. Tafsir muqaran yaitu membandingkan
suatu ayat dengan ayat lainnya, atau perbandingan antaua ayat dengan hadis.
Yang diperbandingkan itu adalah ayat dengan ayat atau ayat dengan hadis.
Nasharuddin baidah berpendapat bahwa tafsir muqaran adalah menafsirkan
sekelompok ayat al-Quran atau suatu surat tertentu denan cara membandingkan
antara ayat dengan ayat dengan ayat atau surah dengan hadis, atau antara
pendapat ulama dengan ulama tafsir dengan menonjolkan aspek-aspek perbedaan
tertentu dari objek yang membandingkan.[9]
Ada beberapa
tahap yang dilalui dalam menggunakan metode tafsir muqaran yang membandingkan tafsir para ulama
tersebut, yaitu:
a.
Menentukan
sejumlah ayat yang akan ditafsirkan.
b.
Mengumpulkan
dan mengemukakan pendapat para ulama tafsir mengenai pengertian ayat tersebut.
c.
Melakukan
analisis perbandingan terhadap pendapat-pendapat para mufassir dengan
menjelaskan corak penafsirannya. Apakah bercorak bi al-ma’tsur, bi ra’yu dan
lain sebagainya.
d.
Menentukan
sikap dengan menerima penafsiran yang dinilai benar dan menolak penafsiran yang
tidak dapat diterimanyaa. Hal ini tentu saja dengan mengemukakan sejumlah
argumen kenapa ia mendukung suatu tafsir dan menolak yang lainnya.
Tafsir muqaran
memiliki kelebihan yaitu, bersifar objektif, kritis dan berwawasan luas.
Sedangkan kelemahannya antara lain terletak pada kenyataannya bahwa metode
tafsir muqaran tidak bisa di gunakan untuk menafsirkan semua ayat al-Quran
seperti halnya pada tafsir ijmali dan tahlili.[10]
Sedangkan pendapat lain juga mengelompokkan kelebihan dan kekurangan dari
metode ini, adapun kelebihannya antara lain:
-
Memberikan
wawasan penafsiran yang relative lebih luasi bagi para pembaca dari
metode-metode lain.
-
Membuka
pintu untuk bersikap toleran atas pendapat-pendapat yang berbeda mengenai suatu
permasalahan.
-
Mendorong
seorang penafsir untuk mengkaji penafsiran-penafsiran ulama lain mengenai suatu
ayat ataupun dalam suatu permasalahan.
Sedangkan kekurangannya antara lain:
¶
Penafsiran
dengan metode ini tidak cocok untuk pemula.
¶
Penafsirannya
kurang dapat memecahkan permasalahan yang ada ataupun sedang dihadapi.
¶
Cenderung
hanya melihat penafsiran-penafsiran ulama terdahulu sehingga tidak
mengahasilkan penafsiran-penafsiran baru.
Objek kajian
tafsir ini dikelompokan menjadi tiga:
1.
Perbandingan
ayat al-Quran dengan ayat lain
Mufassir
membandingkan ayat al-Quran dengan ayat lain, yaitu ayat-ayat yang memiliki
persamaan dengan redaksi dalam dua atau lebih masalah atau kasus yang diduga
sama. Objek kajian tafsir ini hanya terletak pada persoalan redaksi ayat-ayat
al-Quran bukan dalam bidang makna.
2.
Perbandingan
ayat al-Quran dengan Hadis
Dalam melakukan
perbandingan ayat al-Quran dengan hadis yang terkesan berbeda atau bertentangan
ini, langkah pertama yang harus ditempuh adalah menentukan nilai hadis yang
akan diperbandingkan dengan ayat al-Quran. Hadis itu haruslah shahih. Hadits
dhaif tidak dibandingkan karena disamping nilai otentitasnya rendah, dia justru
semakin tertolak karena pertentangannya dengan ayat al-Quran. Setelah itu
mufassir melakukan analisis terhadap latar belakang terjadinya perbedaan atau
pertentangan antara keduanya.
3.
Perbandingan
penafsiran mufassir dengan mufassir lain
Dalam
menafsirkan ayat-ayat al-Quran tertentu ditemukan adanya perbedaan diantara
hasil ijtihad, latar belakang sejarah, wawasan, dan sudut pandang
masing-masing. Sedangkan dalam hal perbedaan penafsiran mufasir yang satu
dengan yang lain, mufassir berusaha mencari, mengali, menemukan, dan mencari
titik temu diantara perbedaan-perbedaan itu apabila mungkin, dan mentarjih
salah satu pendapat setelah membahas kualitas argumentasi masing-masing.
F.
Al-Tafsir al-Maudlu’iy (Tematik)
Tafsir maudhu’i
yaitu menafsirkan al-Quran dengan langkah-langkah tertentu yang dimulai dengan menentukan
topik sampai memberikan kesimpulan atau jawaban akhir bagi permasalahan yang
dibahas.[11]
Arti dari kata maudhu’i adalah topik atau materi suatu pembicaraan atau
pembahasan secara tematik. Jadi tafsir al-Maudhu’i adalah tafsir yang membahas masalah-masalah
al-Quran yang memiliki kesatuuann makna atau tujuan dengan cara menghimpun
ayat-ayatnya yang bisa juga disebut dengan metode tauhidi (kesatuan) untuk
kemudian melakukan penalaran (analisis) terhadap isi kandungannya serta
menghubung-hubungkannya antara satu dengan yang lain.[12]
Langkah-langkah
metode tafsir maudhu’i adalah sebagai berikut:
1.
Meenetapkan
maslah yang akan dibahas (topik)
2.
Menghimpun
ayat yang berkaitan dengan mmasalah tersebut.
3.
Mengurutkan
tertib, sebab turunnya ayat berdasarkan masa turunnya.[13]
4.
Mempelajari
penafsiran al-Quran yang telah dihimpun.
5.
Kemudian
mufassir mengarahkan pembahasan kepada metode tafsir ijmali dalam memaparkan
berbagai pemikiran.
6.
Membahas
unsur-unsur dan makna-makna serta mengkaitkannya sedemikian rupa berdasarkan
metode ilmiah yang sistematis.
7.
Memaparkan
kesimpulan tentang hakikat jawaban al-Quran terhadap topik permasalahan yang
dibahas.[14]
Sebagian
kitab-kitab tafsir yang memakai metode maudhu’i antara lain sebagai berikut:
დ
Karya
Syeikh Mahmud Syaltut.
დ
Karya
Ustadz Abbas Mahmud al-‘Aqqad.
დ
Karya
Ustadz al-A’la al-Maududy.
დ
Karya
Ustadz Muhammad Abu Zahrah.
დ
Karya
Dr. Ahmad Kamal Mahdy.[15]
Adapun
kelebihan/keistimewaan dari metode tafsir maudhu’i antara lain:
-
Menghindari
problem atau kelemahan metode lain.
-
Menafsirkan
ayat dengan ayat atau dengan hadis, satu cara terbaik dalam menafsirkan
al-Quran.
-
Kesimpulan
yang mudah dipahami.
-
Metode
ini memungkinkan seorang untuk menolak anggapan adanya ayat-ayat yang
bertentangan dalam al-Quran.
-
Menjawab
tantangan zaman
-
Praktis
dan sistematis
-
Dinamis
-
Membuat
pemahan menjadi utuh.[16]
Selain
kelebihan diatas, metode tafsir maudhu’i mempunyai kekurangan yakni:
a)
Memenggal
ayat al-quran.
b)
Membatasi
pemahaman ayat.
G.
Kesipulan
Metode
penafsiran al-Quran itu adalah suatu cara atau langkah yang mudah untuk
melakukan penalaran, hasil usaha manusia dan ijtihadnya untuk mempelajari
nilai-nilai yang terkandung didalam al-Quran. Adapun macam-macam tafsir
al-Quran berdasarkan metodenya adalah:
1.
Metode
tahlili (analisis).
2.
Metode
ijmali (global).
3.
Metode
muqaran (perbandingan/komparasi).
4.
Metode
maudhu’i (tematik).
DAFTAR PUSTAKA
Agil Said Husin
Al-Munawal, Al-Quran Membangun Tradisi Kesalehah Hakiki, Ciputat: PT.
Ciputat Press, 2005.
Al-Farawi Abd.
Al-Hary, Metode Tafsir Al-Maudhu’i, Jakarta: Raja Grafindo Persada,
1996.
Amin Muhammad
Suma, Studi Ilmu-Ilmu Al-Quran, Jakarta: Pustaka Pirdaus, 2001
Anwar Rosihan, Pengantar
Ulumul Quran, Bandung: Pustaka Setia, 2009.
Baidan Nasaruddin,
Metode Penafsiran Al-Quran, Yogjakarta: Pustaka Pelajar, 2002.
Darbi Ahmad, Ulum
Al-Quran, Pekan Baru: Suska Press, 2011.
Nata Abuddin, Metodologi
Studi Islam, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2011.
Shihab Quraish,
Membumikan Al-Quran, Bandung: Mizan, 1994.
Suma Amin, Pengantar
Tafsir Ahkam, Jakarta: Rajagrafindo Persada, 2002.
Syadali Ahmad
Dan Rofi’i Ahmad, Ulum Quran II, Bandung: Pustaka Setia, 997.
Yusuf Kadar, Studi
Al-Quran, Jakarta: Amzah, 2010.
[1]Nasaruddin Baidan,
Metode Penafsiran Al-Quran, (Yogjakarta: Pustaka Pelajar, 2002), h. 54.
[2]Abuddin Nata, Metodologi
Studi Islam, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2011), h. 209-211.
[3]Amin Suma, Pengantar
Tafsir Ahkam, (Jakarta: Rajagrafindo Persada, 2002), h. 171.
[4]Ahmad Darbi, Ulum
Al-Quran, (Pekan Baru: Suska Press, 2011), h. 41.
[5]Kadar Yusuf, Studi
Al-Quran, (Jakarta: Amzah, 2010), h. 143-144.
[6]Ahmad Syadali
Dan Ahmad Rofi’i, Ulum Quran II, (Bandung: Pustaka Setia, 997), h. 67.
[7]Muhammad Amin
Suma, Studi Ilmu-Ilmu Al-Quran, (Jakarta: Pustaka Pirdaus, 2001), h.
112-113.
[8]Nasaruddin Baidah,
Op Cit., h. 73.
[10]Muhammad Amin
Suma, Op Cit., h. 127.
[11]Amin Suma,
Op Cit., h. 171.
[12]Muhammad Amin
Suma, Op Cit., h. 127-128.
[13]Abd. Al-Hary Al-Farawi,
Metode Tafsir Al-Maudhu’i, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1996), h. 14.
[14]Rosihan Anwar, Pengantar
Ulumul Quran, (Bandung: Pustaka Setia, 2009), h. 161.
[15]Said Agil Husin
Al-Munawal, Al-Quran Membangun Tradisi Kesalehah Hakiki, (Ciputat: PT. Ciputat
Press, 2005), h. 75-76.
[16]Quraish Shihab,
Membumikan Al-Quran, (Bandung: Mizan, 1994), h. 117.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar