KEBIJAKAN
FISKAL DALAM EKONOMI ISLAM
A.
Pendahuluan
Dalam
fiskal ekonomi islam ada yang dikenal dengan kata uang. Peranan
Uang Dalam Perekonomian merupakan materi yang sangat berharga dan sangat
‘diagungkan’ di dunia. Perekonomian modern tidak dapat dipisahkan dengan
pentingnya uang. Uang ibarat darah dalam tubuh manusia, tanpa uang,
perekonomian tidak akan dapat berjalan sebagaimana mestinya. Secara sederhana
uang didefinisikan segala sesuatu yang dapat dipergunakan sebagai alat bantu
dalam pertukaran.
Selain
itu dalam perekonomian islam juga dikenal dengan kebijaksanaan fiskal,
kebijakan fiskal merupakan salah satu perangkat untuk mencapai tujuan syariah
yang di jelaskan oleh Imam Al-Ghazali, termasuk meningkatkan kesejahteraan
dengan tetap menjaga keimanan, kehidupan, intelektualitas, kekayaan, dan
kepemilikan. Jadi, bukan hanya untuk mencapai keberlangsungan (pembagian)
ekonomi untuk masyarakat yang paling besar jumlahnya, tapi juga membantu
meningkatkan spiritual dan menyebarkan pesan dan ajaran islam seluas mungkin.
Oleh sebab itu, dalam makalah ini akan dibahas lebih lanjut mengenai kebijakan
fiskal, dan apa-apa yang termasuk kedalam kebijakan fiskal tersebut.
B.
Kebijakan
Fiskal
Dalam ekonomi konvensional kebijakan fiskal dapat diartikan sebagai
langkah pemerintah untuk membuat perubahan-perubahan dalam sistem pajak atau
dalam pembelanjaan.[1]
Kebijakan fiskal menurut Mannan adalah, “langkah pemerintah untuk membuat
perubahan-perubahan dalam sistem perpajakan atau dalam pembelanjaan, yang bertujuan
untuk mengatasi masalah-masalah ekonomi yang dihadapi negara. Degan demikian kebijakan fiskal
adalah kebijaksanaan yang dilakukan pemerintah di bidang keuangan, meliputi
penerimaan negara dan pengeluaran negara.[2]
Munculnya pemikiran tentang kebijakan fiskal dilatarbelakangi oleh
adanya kesadaran terhadap pengaruh pengeluaran dan penerimaan pemerintah. Akan
tetapi, karena kesadaran akan pengaruh-pengaruh penerimaan dan pengeluaran
pemerintah tersebut, timbullah gagasan untuk-dengan sengaja-mengubah-ubah
pengeluaran dan penerimaan pemerintah guna memperbaiki kestabilan ekonomi. Jadi
angaran belanja negara terdiri dari penerimaan dan pengeluaran. Adapun
cara-cara yang dapat ditempuh pemerintah untuk mendapatkan uang bisa
digolongkan sebagai berikut: pajak, restribusi, keuntungan dari
perusahaan-perusahaan negara, sumbangan masyarakat, pencetakan uang kertas,
pinjaman dll. Sedangkan pengeluaran yang dilakukan pemerintahan dapat dibedakan
menjadi dua macam yakni: pengeluaran konsumsi pemerintah dan pengeluaran
pemerintah.[3]
Secara umum tujuan yang ingin dicapai oleh kebijakan fiskal adalah
kestabilan ekonomi yang lebih mantap. Mengenai pendapatan negara, Allah telah
menggariskan secara tegas dalam al-Quran beberapa sumber yang boleh dipungut
oleh Ulil Amri, misalnya: zakat, Jizyah, fay’i, ghanimah, kharaj, dan waqaf.
Yang mana ada beberapa prinsip yang harus ditaati oleh ulil amri dalam
melaksanakan pemungutan pendapatan negara, yaitu sebagai berikut:
დ Nash
yang memerintahkannya
დ Harus
ada pemisahan muslim dan non-muslim
დ Hanya
golongan kaya yang menanggung beban
დ Adanya
tuntutan kemaslahatan umum
Terkait dengan adanya prinsip pendapatan negara diatas, maka
prinsip pengeluaran negara juga memiliki beberapa prinsip yang harus ditaati
oleh seorang Ulil Amri, yakni sebagai berikut:
¶
Tujuan penggunaan pengeluaran
kekayaan negara telah ditetapkan langsung oleh Allah
¶
Apabila ada kewajiban tambahan, maka
harus digunakan untuk tujuan semula kenapa ia dipungutt
¶
Adanya pemisahan antara pengeluaran
yang wajib di adakan di saat ada atau tidaknya harta dan pengeluaran yang wajib
diadakan hanya di saat adanya harta.
¶
Pengeluaran harus hemat.[4]
Para ulama terdahulu telah memberikan kaidah-kaidah umum yang
didasarkan dari al-Quran dan Hadis dalam memandu kebijakan belanja pemerintah.
Diantara kaidah tersebut antara lain:
1.
Kebijakan atau belanja pemerintah
harus senantiasa mengikuti kaidah maslahah.
2.
Menghindari musyaqqah kesulitan
dan mudarat harus didahulukan ketimbang melakukan pembenahan.
3.
Mudarat individu dapat dijadikan
alasan demi menghindari mudarat dalam skala umum.
4.
Pengorbanan individu dapat dilakukan
dan kepentingan individu dapat dikorbankan demi menghindari kerugian dan
pengorbanan dalam skala umum.
5.
Kaidah al-giurmu bil gunni yaitu
kaidah yang menyatakan bahwa yang mendapatkan manfaat harus siap menanggung
beban (yang ingin untung harus siap menanggung kerugian).
6.
Kaidah ma la yatimmu al waajibu
illa bihi fahua wajib yaitu kaidah yang menyatakan bahwa sesuatu hal yang
wajib ditegakkan dan tampa ditunjang oleh faktor penunjang lainnya tidak dapat
di bangun, maka menegakkan faktor penunjang tersebut menjadi wajib hukumnya.
Kaidah-kaidah tersebut dapat membantu dalam mewujudkan efektifitas
dan efisiensi pembelanjaan pemerintah dalam Islam, sehingga tujuan-tujuan dari
pembelanjaan pemerintah dapat tercapai. Diantara tujuan pembelanjaan dalam
pemerintahan islam:
a)
Pengeluaran demi memenuhi kebutuhan
hajat masyarakat.
b)
Pengeluaran sebagai alat
redistribusi kekayaan.
c)
Pengeluaran yang mengarah pada
semakin bertambahnya permintaan efektif.
d)
Pengeluaran yang berkaitan dengan
investasi dan produksi.
e)
Pengeluaran yang bertujuan menekan
tingkat inflasi dengan kebijakan intervensi pasar.
Kebijakan belanja umum pemerintahan dalam sistem ekonomi Islam
dapat dibagi menjadi tiga bagian yaitu:
-
Belanja kebutuhan operasional
pemerintah yang rutin.
-
Belanja umum yang dapat dilakukan
pemerintah apabila sumber dananya tersedia.
-
Belanja umum yang berkaitan dengan proyek yang
disepakati olelh masyarakat berikut sistem pendanaannya.
Apapun kaidah syar’iyah yang berkaitan dengan belanja kebutuhan
operasional pemerintah yang rutin adalah mengacu pada kaidah-kaidah yang telah
disebutkan diatas, secara rinci pembelanjaan Negara harus didasarkan pada:
1)
Kebijakan belanja rutin harus sesuai
dengan azas maslahat umum, tidak boleh dikaitkan dengan kemaslahatan seseorang
atau kelompok mensyarakat tertentu, apalagi kemaslahatan pejabat pemerintahan.
2)
Kaidah atau prinsip efisiensi dalam
belanja rutin yaitu mendapatkan sebanyak mungkin manfaat dengan biaya yang semurah-murahnya.
3)
Tidak berpihak kepada kelompok kaya
dalam pembelanjaan, walaupun dibolehkan berpihak pada kelompok miskin.
4)
Prinsip komitmen dengan aturan
syariah, dimulai dari yang wajib, sunnah, mubah atau dharurah, hajjiyat dan
kamaliyah.
Kebijakan fiskal dalam Islam tidak lepas dari kendali politik
ekonomi yang bertujuan, bagaimana yang dikemukakan Abdurrahman al-Maliki, yaitu
menjamin pemenuhan kebutuhan-kebutuhan primer per individu secara menyeluruh,
dan membantu tiap-tiap individu diantara mereka dalam memenuhi
kebutuhan-kebutuhan sekunder dan tersier sesuai kadar kemampuannya.[5]
C.
ZISWA Sebagai
Komponen Kebijakan Fiskal Islami
Dalam Islam kita kenal adanya zakat, infak, sedekah, wakaf dan
lain-lain (ZISWA). Zakat merupakan kewajiban untuk mengeluarkan sebagian
pendapatan atau hatra seseorang yang telah memenuhi syarat syariah Islam guna
diberikan kepada berbagai unsur masyarakat yang telah ditetapkan dalam syariah
Islam. Sementara infak, sedekah, wakaf merupakan pengeluaran “sukarela” yang
juga sangay dianjurkan dalam Islam. Dengan demikian ZISWA merupakan unsur-unsur
yang terkandung dalam kebijakan fiskal. Unsur-unsur tersebut ada yang bersifat
wajib seperti zakat dan ada pula yang bersifat sukarela seperti infak, dan
wakaf.[6]
1.
Zakat
Zakat merupakan komponen utama dalam sistem keuangan publik
sekaligus kebijakan fiskal yang utama dalam sistem ekonomi Islam. Zakat
merupakan kegiatan yang bersifat wajib bagi seluruh umat islam. Walaupun
demikian masih komponen lainnya yang dapat dijadikan sebagai unsur lain dalam
sumber penerimaan negara. Tujuan dari
kegiatan zakat-berdasarkan sudut pandang sistem ekonomi pasar- adalah
menciptakan distribusi pendapatan menjadi lebih merata. Selain untuk tujuan
distribusi, maka analisis kebijakan fiskal dalam sistem ekonomi pasar dilakukan
untuk melihat bagaimana dampak dari zakat terhadap kegiatan alokasi sumber daya
ekonomi dan stabilisasi kegiatan ekonomi.
Zakat sendiri bukanlah satu kegiatan yang semata-mata untuk tujuan
duniawi, seperti distribusi pendapatan, stabilitas ekonomi, dan lainnya, tetapi
juga mempunyai implikasi untuk kehidupan di akhirat. Sebagaimana dijelaskan
dalam Q.S. at-Taubah ayat: 103 berikut ini:
õè{ ô`ÏB öNÏlÎ;ºuqøBr& Zps%y|¹ öNèdãÎdgsÜè? NÍkÏj.tè?ur $pkÍ5 Èe@|¹ur öNÎgøn=tæ ( ¨bÎ) y7s?4qn=|¹ Ö`s3y öNçl°; 3 ª!$#ur ììÏJy íOÎ=tæ ÇÊÉÌÈ
Artiny: Ambillah zakat dari sebagian harta mereka,
dengan zakat itu kamu membersihkan dan mensucikan mereka dan mendoalah untuk
mereka. Sesungguhnya doa kamu itu (menjadi) ketenteraman jiwa bagi mereka. dan
Allah Maha mendengar lagi Maha Mengetahui.
Sementara
itu dampak untuk pengeluaran-pengeluaran lainnya seperti sedekah dan lain-lain,
perhatikan QS. Al-Baqarah ayat: 261
ã@sW¨B tûïÏ%©!$# tbqà)ÏÿZã óOßgs9ºuqøBr& Îû È@Î6y «!$# È@sVyJx. >p¬6ym ôMtFu;/Rr& yìö7y @Î/$uZy Îû Èe@ä. 7's#ç7/Yß èps($ÏiB 7p¬6ym 3 ª!$#ur ß#Ïè»Òã `yJÏ9 âä!$t±o 3 ª!$#ur ììźur íOÎ=tæ ÇËÏÊÈ
Artinya: Perumpamaan
(nafkah yang dikeluarkan oleh) orang-orang yang menafkahkan hartanya di jalan
Allah[166] adalah serupa dengan sebutir benih yang menumbuhkan tujuh bulir,
pada tiap-tiap bulir seratus biji. Allah melipat gandakan (ganjaran) bagi siapa
yang dia kehendaki. dan Allah Maha luas (karunia-Nya) lagi Maha Mengetahui.
Dalam al-Quran diperkirakan terdapat 30 ayat yang berkaitan dengan
perintah untuk mengeluarkan zakat. Perintah berzakat sering muncul berdampingan
sesudah perintah mendirikan shalat. Hal ini menunjukkan berapa pentingnya
kegiatan berzakat dalam Islam. Zakat sesungguhnya merupakan instrumen Islami
sangat luar biasa potensinya. Potensi zakat ini jika digarap dengan baik, akan
menjadi sumber pendanaan yang sangat besar, sehingga dapat menjadi kekuatan
pendorong pemberdayaan ekonomi umat dan memerataan pendapatan. Ujung dari semua
itu akan bermuara pada meningkatnya perekonomian bangsa.[7]
2.
Wakaf
Wakaf merupakan satu instrumen ekonomi Islam yang belum
diberdayakan secara optimal di Indonesia. Padahal di sejumlah Negara lain,
seperti di Mesir dan Bangladesh, wakaf telah dikembangkan sedemikian rupa,
sehingga menjadi sumber pendanaan yang tiada habis-habisnya bagi pengembangan
ekonomi umat. Wakaf memang tidak jelas disebutkan dalam al-Quran, tetapi ada
beberapa ayat yang dapat dijadikan dasar hukum wakaf. Salah satunya firman
Allah berikut ini:
`s9 (#qä9$oYs? §É9ø9$# 4Ó®Lym (#qà)ÏÿZè? $£JÏB cq6ÏtéB 4 $tBur (#qà)ÏÿZè? `ÏB &äóÓx« ¨bÎ*sù ©!$# ¾ÏmÎ/ ÒOÎ=tæ ÇÒËÈ
Artunya: Kamu sekali-kali tidak sampai kepada kebajikan (yang
sempurna), sebelum kamu menafkahkan sehahagian harta yang kamu cintai. dan apa
saja yang kamu nafkahkan Maka Sesungguhnya Allah mengetahuinya. (QS. Ali Imran:
92)
Begitu
pula dalam suatu hadis, Rasulullah bersabda:
Artinya: “Apabila seorang manusia meninggal, terputuslah amal
perbuatannya, kecuali dari 3 hal yaitu: shadaqah jariyah (sedekah yang pahalanya
tetap mengalir), ilmu pengetahuan yang bermanfaat dan doa anak yang saleh.”
Dalam hukum Islam, wakaf berarti menyerahkan suatu hak milik yang
telah lama (zatnya) kepada seseorang atau nadzir (penjaga wakaf) baik berupa
perorangan maupun lembaga, dengan ketentuan bahwa hasilnya digunakaan sesuai
dengan syariat Islam. Harta yang telah diwakafkan keluar dari hak milik yang
mewakafkan (wakif), dan bukan pula hak milik lembaga pengelola wakaf tapi
menjadi hak milik Allah yang harus dimanfaatkan untuk kesejahteraan masyarakat.
Diantara intrumenn ZISWA, untuk kasus di Indonesia wakaflah yang
paling terbelakang kemajuannya. Padahal sesungguhnya, wakaf telah dikenal dan
dilaksanakan umat Islam sejak agama Islam masuk ke Indonesia. Wakaf juga telah
memberikan kontribusi yang sangat berarti bagi perkembangan Islam di Indonesia,
seperti lahan yang dipergunakan untuk sekolah-sekolah, mesjid dan lain
sebagainya pada umumnya berasal dari tanah wakaf. Dari sekian banyaknya tanah
wakaf tersebut, maka apabila dikelola secara produktif, tentu akan sangat
bermanfaat bagi perekonomian umat. Seperti yang bisa dilihat di Negara Muslim
lainnya seperti: Saudi Arabia, Mesir, Turki, Yordania, lembaga wakaf yang
berkembang sangat maju, dan memberi manfaat yang besar pada umat dinegara itu.[8]
D.
Pajak Sebagai
Istrumen dalam Kebijakan Fiskal
Pajak secara etimologi, terdapat dalam bahasa arab disebut dengan
istilah dharibah, yang berasal dari kata yang artinya
mewajibkan, menetapkan, memukul, menerangkan atau membebankan, dan lain-lain.
Dharaba adalah bentuk kata kerja (fi’il), sedangkan bentuk kata
bendanya (ism) adalah dharibah, yang dapat berarti beban. Dharibah adalah isim
mufrad (kata benda tunggal) dengan bentuk jamaknya adalah dharaib. Ia
disebut beban, karena merupakan kewajiban tambahan atas harta setelah zakat,
sehingga dalam pelaksanaannya akan dirasakan sebagai sebuah beban (pikulan yang
berat).
Dengan demikian, pengertian pajak (dharibah) tetaplah “beban
tambahan” yang dipikulkan kepada kaum muslim, untuk kepentingan mereka sendiri
yaitu kaum muslim, yang tidak terpenuhi oleh negara dari sumber-sumber yang
utama, seperti Ghanimah, Shadaqah (zakat dan ‘ushr), Fay’i’ (jizyah, kharaj dan
‘ushr), dan sumber pendapatan sekunder lainnya.
Ada beberapa ketentuan tentang pajak (dharibah) menurut syariat
islam, yang sekaligus membedakannya dengan pajak dalam sistem kapitalis (non
islam), yaitu:
1.
Pajak (dharibah) bersifat temporer,
tidak bersifat kontinu; hanya boleh dipungut ketika di baitul mal tidak ada
harta atau kurang.
2.
Pajak (dharibah) hanya boleh
dipungut untuk pembiayaan yang merupakan kewajiban bagi kaum muslim dan sebatas
jumlah yang diperlukan untuk pembiayaan wajib tersebut.
3.
Pajak (dharibah) hanya diambil dari
kaum muslim dan tidak dipungut dari non muslim
4.
Pajak (dharibah) hanya dipungut dari
kaum muslim yang kaya, tidak dipugut dari selainnya.
5.
Pajak (dharibah) hanya dipungut
sesuai dengan jumlah pembiayaan yang diperlukan, tidak boleh lebih.
6.
Pajak (dharibah) dapat dihapus bila
sudah tidak diperlukan.[9]
Sedangkan fungsi pajak biasanya dibagi menjadi dua yaitu fungsi
budgetair dan fungsi mengatur.
a.
Fungsi Budgetair, yaitu memasukkan
uang sebanyak-banyaknya ke dalam kas negara. Diantara para sarjana ada yang
berpendapat bahwa pajak haruslah ditujukan semata-mata untuk menutup biaya yang
harus dikeluarkan pemerintah dalam menunaikan tugasnya.
b.
Fungsi mengatur (regulerend).
Menurut fungsi ini, pajak di samping berfungsi untuk mengisi kas negara, juga
berfungsi untuk mengatur, sebagai usaha pemerintah untuk turut campur dalam
segala bidang guna menyelenggarakan tujuan-tujuan lain yang ingin dicapai oleh
pemerintah yang letaknya di luar bidang keuangan dan fungsi mengatur banyak
ditujukan kepada sektor swasta.[10]
E.
Kebijakan Fiskal
Masa Rasulullah dan Masa Sahabat
1.
Kebijakan Fiskal
pada Masa Rasulullah
Segala kegiatan yang dilakukan oleh Rasulullah dalam awal masa
pemerintahan dilakukan berdasarkan keikhlasan sebagai bagian dari kegiatan
dakwah yang ada. Umumnya para sahabat tidak meminta balasan material dari
segala kegiatan mereka dalam dakwah tersebut. Dengan adanya perang Badar pada
abad ke-2 Hijriah, negara mulai mempunyai pendapatan dari seperlima rampasan
perang yang disebut khums. Sesuai
dengan firman Allah SWT dalam QS. Al-Anfal ayat: 41:
(#þqßJn=÷æ$#ur $yJ¯Rr& NçGôJÏYxî `ÏiB &äóÓx« ¨br'sù ¬! ¼çm|¡çHè~ ÉAqß§=Ï9ur Ï%Î!ur 4n1öà)ø9$# 4yJ»tGuø9$#ur ÈûüÅ3»|¡yJø9$#ur ÇÆö/$#ur È@Î6¡¡9$# bÎ) óOçGYä. NçGYtB#uä «!$$Î/ !$tBur $uZø9tRr& 4n?tã $tRÏö6tã tPöqt Èb$s%öàÿø9$# tPöqt s)tGø9$# Èb$yèôJyfø9$# 3 ª!$#ur 4n?tã Èe@à2 &äóÓx« íÏs% ÇÍÊÈ
Artinya:
Ketahuilah, Sesungguhnya apa saja yang dapat kamu peroleh sebagai rampasan
perang[11],
Maka Sesungguhnya seperlima untuk Allah, rasul, kerabat rasul, anak-anak yatim,
orang-orang miskin dan ibnussabil[12],
jika kamu beriman kepada Allah dan kepada apa[13]
yang kami turunkan kepada hamba kami (Muhammad) di hari Furqaan[14],
yaitu di hari bertemunya dua pasukan. dan Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu.
Selain dari khums, akibat peperangan tersebut diperoleh pula
pendapatan dari tebusan tawanan perang bagi yang ditebus (rata-rata 4.000
Dirham untuk setiap tawanan), tetapi bagi yang tidak ditebus diwajibkan
mengajar membaca masing-masing 10 orang muslim. Kemudian sebagai akibat
pengkhianatan Bani Nadhir terhadap nabi setelah perang Uhud, Rasulullah
mendapatkan tanah wakaf yang pertama dalam sejarah Islam.
Pada masa Rasulullah juga sudah terdapat jizyah yaitu pajak
yang dibayar oleh orang nonmuslim khususnya ahli kitab, untuk jaminan
perlindungan jiwa, properti, ibadah, bebas dari nilai-nilai, dan tidak wajib
militer. Besarnya Jizyah satu Dinar pertahun unuk orang dewasa yan
gmampu membayarnya. Tujuan utamanya adalah kebersamaan dalamm menanggung beban
negara yang bertugas memberikan perlindungan, keamanan dan tempat tinggal bagi
mereka dan juga sebagai dorongan kepada kaum kafir untuk masuk Islam. Jizyah
merupakan hak Allah yang diberikan kepada kaum Muslimin dari orang-orang
kafir sebagai tanda tunduknya mereka kepada Islam. Jizyah akan berhenti
dipungut oleh negara jika orang kafir tersebut telah masuk Islam. Namun jizyah
juga tidak wajib jika orang kafir yang bersangkutan tidak mempunyai kemampuan
membayarnya karena kefakiran atau kemiskinan.
Adapun sumber lain berasal dari kharaj (pajak tanah) yang
dipungut kepada nonmuslim ketika Khibar ditaklukan, jumlah kharaj dari
tanah ini tetap yaitu setengan dari hasil produksi. Jadi, pengertian kharaj adalah
kebijakan fiskal yang diwajibkan atas tanah pertanian di negara-negara Islam
yang baru berdiri. Sedangkan Ushr adalah bea impor yang dikenakan kepada
semua pedagang, dibayat hanya sekali dalam setahun dan hanya berlaku bagi
barang yang nilainya lebih dari 200 Dirham. Jadi Ushr ini diwajibkan
pada komoditas perdagangan yang diekspor maupun diimpor dalam sebuah Negara
Islam. Zakat atau Ushr adalah pendapatan yang paling utama bagi
negara pada masa Rasulullah hidup. Penetapan tingkat pembayaran zakat baru
dilakukan pada abad ke-2 Hijriah oleh Rasulullah, sekaligus menjelaskan pula
harta yang wajib dizakati, diantaranya yaitu emas dan perak, perniagaan,
peternakan, tanaman dan barang-barang temuan atau harta karun atau rikas.
Sedangkan ketentuan mengeluarkan dana zakat tercantum dalam surah
at-Taubah ayat : 60 yakni:
$yJ¯RÎ) àM»s%y¢Á9$# Ïä!#ts)àÿù=Ï9 ÈûüÅ3»|¡yJø9$#ur tû,Î#ÏJ»yèø9$#ur $pkön=tæ Ïpxÿ©9xsßJø9$#ur öNåkæ5qè=è% Îûur É>$s%Ìh9$# tûüÏBÌ»tóø9$#ur Îûur È@Î6y «!$# Èûøó$#ur È@Î6¡¡9$# ( ZpÒÌsù ÆÏiB «!$# 3 ª!$#ur íOÎ=tæ ÒOÅ6ym ÇÏÉÈ
Artinya: Sesungguhnya zakat-zakat itu, hanyalah untuk orang-orang
fakir, orang-orang miskin, pengurus-pengurus zakat, para mu'allaf yang dibujuk
hatinya, untuk (memerdekakan) budak, orang-orang yang berhutang, untuk jalan
Allah dan untuk mereka yuang sedang dalam perjalanan, sebagai suatu ketetapan
yang diwajibkan Allah, dan Allah Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana.
Selain itu masih ada lagi yang disebut dengan amwal fadhla, yaitu
harta benda kaum muslimin yang meninggal tanpa ahli waris, atau berasal dari
barang-barang seorang muslim yang meninggalkan negerinya. Instrumen lain adalah
nawaib, pajak yang jumlahnya cukup besar yang dibebankan kepada kaum
muslimin yang kaya dalam rangka menutupi pengeluaran negara selama masa darurat
dan ini pernah terjadi pada masa perang Tabuk.
Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa sumber penerimaan pada
masa Rasulullah dapat digolongkan menjadi tiga golongan bedar, yakni dari kaum
muslim, dari nonmuslim, dan dari sumber lain. Untuk mengelola sumber penerimaan
negara dan sumber pengeluaran negara maka Rasulullah menyerahkan kepada
Baitulmal dengan menganut asas anggaran berimbang artinya semua penerimaan
habis digunakan untuk pengeluaran negara.[15]
2.
Kebijakan Fiskal
pada Masa Sahabat
a)
Khalifah Abu Bakar Ash-Shidiq (51 SH-13
H/573-634 M)
Langkah-langkah
yang dilakukan Abu Bakar dalam menyempurnakan ekonomi islam antara lain:
-
Perhatian terhadap keakuratan
perhitungan zakat
-
Pengembangan pembangunan baitulmal
dan menanggung jawab baitulmal (Abu Ubaidah)
-
Menerapkan konsep balance budget
policy pada baitulmal.
-
Melakukan penegakan hukum terhadap
pihak yang tidak mau membayar zakat dan pajak
-
Secara individu Abu Bakar adalah
seorang praktisi akad-perdagangan.
b)
Khalifah Umar Bin Khatab (40 SH-23 H/
584-644 M)
Konstribusi
yang diberikan Umar untuk mengembangkan ekonomi Islam antara lain:
დ Reorganisasi
baitulmal, dengan mendirikan Diwan Islam yang pertama yang disebut dengann
al-Divan.
დ Pemerintah
bergtanggung jawab terhadap pemenuhan kebutuhan makanan dan pakaian kepada
warga negara.
დ Diversifikasi
terhadap objek zakat, dan tarif zakat.
დ Pengembangan
Ushr (pajak), dan pertanian.
დ Undang-undang
perubahan pemilikan tanah
დ Pengelompokan
pendapatan negara daam 4 bagian.
c)
Khalifah Usman Bin Affan (47 Sh-35
H/ 577-656 M)
Pada awal pemerintahan Usman mencoba melanjutkan dan mengembangkan
kebijaksanaan yang dijalankan khalifah Umar. Pada enam tahun kepemimpinannya
hal-hal yang dilakukan:
§
Pembangunan pengairan
§
Pembentukan organisasi kepolisian
untuk menjaga keamanan perdagangan
§
Pembangunan gedung pengadilan, guna
menegakkan hukum.
d)
Khalifah Ali Bin Abi Talib (23 SH-40
H/ 600-661 M)
Beberapa perubahan kebijaksanaan yang dilakukan pada masa khalifah
Ali antara lain:
¶
Pendistribusian seluruh pendapatan
yang ada pada baitulmal berbeda dengan Umar yang menyisihkan untuk cadangan.
¶
Pengeluaran angkatan laut
dihilangkan
¶
Adanya kebijakan pengetatan
anggaran.[16]
F.
Formulasi
Kebijakan Fiskal Islam di Era Modern
Setelah menurut sejarah kebijakan fiskal di masa awal islam dan
didahului dengan objektif kebijaksanaan fiskal itu sendiri, maka selanjutnya
kita akan berupaya untuk mereformulasi kebijaksanaan fiskal islami.
Kebijaksanaan fiskal tidak hanya menaruh perhatian pada pendapatan dan
pembelanjaan negara, tetapi juga pada pilihan berbagai instrumen kebijakan
perpajakan dan pola pembelanjaan negara. Cara yang berbeda dalam menaikkan dan
membelanjakan anggaran memiliki dampak ekonomi yang berbeda.
Al-qur’an dan As-sunnah memiliki panduan-panduan pokok dalam
kebijaksanaan fiskal yaitu:
1.
Islam tidak menyukai pembelanjaan
yang tidak terkendali dalam negara. Israf atau berlebih-lebihan dilarang secara
keras baik dalam Al-quran maupun Sunnah. Larangan ini berlakubaik untuk
individu maupun negara.
2.
Kebijaksanaan fiskal harus mampu
memenuhi sasaran dasar sebuah tatanan sosioekonomi islami. Artinya kebijakan
fiskal islami harus memiliki orientasi ideologis, yaitu terpenuhi kesejahteraan
material dan spiritual.[17]
Islam telah menentukkan sektor-sektor penerimaan pemerintah,
melalui zakat, ghanimah, fai, jizyah, kharaj, shadaqah, dan lain-lain.
Khaf (1999) berpendapat sedikitnya ada tiga prosedur yang harus dilakukan
pemerintah Islam modern dalam kebijakan pendapatan fiskalnya dengan asumsi
bahwa pemerintah tersebut sepakat dengan adanya kebijakan pungutan pajak
(terlepas dari ikhtilaf ulama mengenai pajak). Adapun prosedur tersebut antara
lain:
1.
Kaidah syari’iyah yang berkaitan
dengan kebijakan pungutan zakat
Ajaran
Islam dengan rinci telah menentukan, syarat, kategori harta yang harus
dikeluarkan zakatnya, lengkap dengan besaran (tarifnya). Maka dengan ketentuan
yang jelas tersebut tidak ada hal bagi pemerintah untuk mengubah tarif yang
telah ditentukan.
2.
Kaidah-kaidah syar’iyah yang
berkaitan dengan hasil pendapatan yang berasal dari aset pemerintah
Menurut
kaidah syar’iah pendapatan dari aset pemerintahan dapat dibagi dalam dua
kategori: (a) pendapatan dari aset pemerintah yang umum, yaitu berupa investasi
aset pemeerintah yang dikelola baik oleh pemerintah sendiri
atau
masyarakat. (b) pendapatan dari aset yang masyarakat ikut maslaha dan keadilan.
3.
Kaidah syar’iyah yang berkaitan
dengan kebijakan pajak
Prinsip
ajaran Islam tidak memberikan arahan dibolehkannya pemerintah mengambil
sebagian harta milik orang kaya secara paksa.[18]
Pada pemerintahan islam modern, terjadi perubahan, yaitu mulai memakai
anggaran defisit, dan meninggalkan kebijaksanaan anggaran berimbang, yang
dianggap tidak berorientasi kepada pertumbuhan. Mungkin tidak semua ulama
setuju dengan kebbijakan ini. Berikut dikemukakan 3 ekonomi islam, yang
sama-sama setuju dengan konsep anggaran defisit.
Menurut Mannan, sebuah negara islam modern harus menerima konsep
anggaran modern (sistem anggaran defisit) dengan perbedaan pokok dalam hal
penanganan defisit (kekurangan) anggaran itu.
Pemilihan konsep anggaran defisit ini tentunya akan memerlukan
tambahan dengan cara meminjam. Untuk itu terdapat tiga sumber pinjaman
tradisional bagi kebanyakan negeri islam, yaitu: bank sentral, bank umum, dan
masyarakat. Namun, utang harus dibuat tanpa adanya tekanan dari pihak pemberi
utang (kreditorr), yang akan dapat mengakibatkan hilangnya kebebasan,
kehormatan, dan kedaulatan negara muslim. Kemudian, yang tak kalah pentingnya
adalah utang itu harus tanpa bunga (riba), yang akan memberatkan pihak yang
berutang (debitur).
Menurut Umer Chapra juga setuju dengan anggaran pembelanjaan
defisit, namun dengan solusi yang berbeda dengan Mannan. Chapra berpendapat
bahwa negara-negara muslim harus menutup defisit dengan pajak, yaitu
mereformasi sistem perpajakan dan program pengeluaran negara, bukan dengan jalan
pintas melalui ekspansi moneter dan meminjam.
Chapra lebih setuju dengan meningkatkan pajak, karena pinjaman akan
membawa kepada riba. Karena pinjaman akan membawa kepada riba. Dan pinjaman itu
juga meniadakan keharusan berkorban, namun hanya menangguhkan beban sementara
waktu. Dan akan membebani generasi yang akan datang dengan beban berat yang
tidak semestinya mereka pikul.
Untuk meutupi kekurangan (defisit) anggaran negara modern, para
khalifah (kemungkinan) akan menempuh beberapa alternatif solusi, yaitu:
a.
Meminjam dari negara-negara asing
maupun lembaga keuangan internasional.
b.
Penguasaan (pemagaran oleh negara)
atas sebagian harta milik umum baik berupa minyak bumi, gas alam maupun barang
tambang,
c.
Menetapkan pajak (dharibah) kepada
umat.
Bahwa sistem anggaran modern adalah anggaran yang berorientasi pada
pertumbuhan, yang konsekuensinya negara-negara muslim harus menganut prinsip
anggaran defisit. Untuk menutup defisit itu ada tiga jalan, pertama,
dengan pinjaman yang dilakukan secara islami, kedua, penguasaan sebagian
milik umum, dan ketiga dengan menetapkan pajak.[19]
G.
Kesimpulan
Kebijakan fiskal telah dikenal dalam ekonomi Islam sejak zaman
Rasulullah saw. Kebijakan fiskal adalah kebijakan yang meliputi kegiatan
penerimaan dan pengeluaran negara yang digunakan pemerintah untuk menjaga
stabilitas ekonomi serta mendorong pertumbuhan ekonomi. Tujuan yang ingin
dicapai oleh kebijakan fiskal adalah kestabilan ekonomi yang lebih mantap.
Mengenai pendapatan negara, Allah telah menggariskan secara tegas dalam
al-Quran beberapa sumber yang boleh dipungut oleh Ulil Amri, misalnya: zakat,
Jizyah, fay’i, ghanimah, kharaj, dan waqaf. Yang mana ada beberapa prinsip yang
harus ditaati oleh ulil amri dalam melaksanakan pemungutan pendapatan negara,
yaitu sebagai berikut:
დ Nash
yang memerintahkannya
დ Harus
ada pemisahan muslim dan non-muslim
დ Hanya
golongan kaya yang menanggung beban
დ Adanya
tuntutan kemaslahatan umum
DAFTAR PUSTAKA
Gusfahmi,
Pajak, Menurut Syariah, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2007.
Nasution.
Mustafa Edwin, Pengenalan Ekslusif: Ekonomi Islam, Jakarta: Kencana
Prenada Media Group, 2010.
Nuruddin
Mhd. Ali, Zakat Sebagai Instrumen Dalam Kebijakan Fiskal, Jakarta: PT.
Raja Grafindo Persada, 2006.
[1]Mustafa Edwin
Nasution, Pengenalan Ekslusif: Ekonomi Islam, (Jakarta: Kencana Prenada
Media Group, 2010), Cet-3, h. 203.
[2]Gusfahmi, Pajak,
Menurut Syariah, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2007), h. 143.
[3]Nuruddin Mhd. Ali,
Zakat Sebagai Instrumen Dalam Kebijakan Fiskal, (Jakarta: PT. Raja
Grafindo Persada, 2006), h. 89-90.
[4]Gusfahmi, Op
Cit., h. 146-150.
[5]Mustafa Edwin
Nasution, Op Cit., h. 223-225.
[10]Nuruddin Mhd,
Ali, Op Cit., h. 100-101.
[11]Yang Dimaksud
Dengan Rampasan Perang (Ghanimah) Adalah Harta Yang Diperoleh Dari Orang-Orang
Kafir Dengan Melalui Pertempuran, Sedang Yang Diperoleh Tidak Dengan
Pertempuran Dinama Fa'i. Pembagian Dalam Ayat Ini Berhubungan Dengan Ghanimah
Saja.
[12]Maksudnya:
Seperlima Dari Ghanimah Itu Dibagikan Kepada: A. Allah Dan Rasulnya. B. Kerabat
Rasul (Banu Hasyim Dan Muthalib). C. Anak Yatim. D. Fakir Miskin. E. Ibnussabil.
Sedang Empat-Perlima Dari Ghanimah Itu Dibagikan Kepada Yang Ikut Bertempur.
[13]Yang Dimaksud Dengan
Apa Ialah: Ayat-Ayat Al-Quran, Malaikat Dan Pertolongan.
[14]Furqaan
Ialah: Pemisah Antara Yang Hak Dan Yang Batil. Yang Dimaksud Dengan Hari Al
Furqaan Ialah Hari Jelasnya Kemenangan Orang Islam Dan Kekalahan Orang Kafir,
Yaitu Hari Bertemunya Dua Pasukan Di Peprangan Badar, Pada Hari Jum'at 17 Ramadhan
Tahun Ke 2 Hijriah. Sebagian Mufassirin Berpendapat Bahwa Ayat Ini Mengisyaratkan
Kepada Hari Permulaan Turunnya Al Quranul Kariem Pada Malam 17 Ramadhan.
[15]Mustafa Edwin
Nasution, Op Cit., h. 227-232.
[18] ibid.
[19]Gusfahmi, Ibid.,
h. 162-164.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar