Sabtu, 28 Maret 2015

KEBIJAKAN FISKAL DALAM ISLAM / Mairita / makalah



KEBIJAKAN FISKAL DALAM EKONOMI ISLAM


A.     Pendahuluan
Dalam fiskal ekonomi islam ada yang dikenal dengan kata uang. Peranan Uang Dalam Perekonomian merupakan materi yang sangat berharga dan sangat ‘diagungkan’ di dunia. Perekonomian modern tidak dapat dipisahkan dengan pentingnya uang. Uang ibarat darah dalam tubuh manusia, tanpa uang, perekonomian tidak akan dapat berjalan sebagaimana mestinya. Secara sederhana uang didefinisikan segala sesuatu yang dapat dipergunakan sebagai alat bantu dalam pertukaran.
Selain itu dalam perekonomian islam juga dikenal dengan kebijaksanaan fiskal, kebijakan fiskal merupakan salah satu perangkat untuk mencapai tujuan syariah yang di jelaskan oleh Imam Al-Ghazali, termasuk meningkatkan kesejahteraan dengan tetap menjaga keimanan, kehidupan, intelektualitas, kekayaan, dan kepemilikan. Jadi, bukan hanya untuk mencapai keberlangsungan (pembagian) ekonomi untuk masyarakat yang paling besar jumlahnya, tapi juga membantu meningkatkan spiritual dan menyebarkan pesan dan ajaran islam seluas mungkin. Oleh sebab itu, dalam makalah ini akan dibahas lebih lanjut mengenai kebijakan fiskal, dan apa-apa yang termasuk kedalam kebijakan fiskal tersebut.






B.     Kebijakan Fiskal
Dalam ekonomi konvensional kebijakan fiskal dapat diartikan sebagai langkah pemerintah untuk membuat perubahan-perubahan dalam sistem pajak atau dalam pembelanjaan.[1] Kebijakan fiskal menurut Mannan adalah, “langkah pemerintah untuk membuat perubahan-perubahan dalam sistem perpajakan atau dalam pembelanjaan, yang bertujuan untuk mengatasi masalah-masalah ekonomi yang dihadapi  negara. Degan demikian kebijakan fiskal adalah kebijaksanaan yang dilakukan pemerintah di bidang keuangan, meliputi penerimaan negara dan pengeluaran negara.[2]
Munculnya pemikiran tentang kebijakan fiskal dilatarbelakangi oleh adanya kesadaran terhadap pengaruh pengeluaran dan penerimaan pemerintah. Akan tetapi, karena kesadaran akan pengaruh-pengaruh penerimaan dan pengeluaran pemerintah tersebut, timbullah gagasan untuk-dengan sengaja-mengubah-ubah pengeluaran dan penerimaan pemerintah guna memperbaiki kestabilan ekonomi. Jadi angaran belanja negara terdiri dari penerimaan dan pengeluaran. Adapun cara-cara yang dapat ditempuh pemerintah untuk mendapatkan uang bisa digolongkan sebagai berikut: pajak, restribusi, keuntungan dari perusahaan-perusahaan negara, sumbangan masyarakat, pencetakan uang kertas, pinjaman dll. Sedangkan pengeluaran yang dilakukan pemerintahan dapat dibedakan menjadi dua macam yakni: pengeluaran konsumsi pemerintah dan pengeluaran pemerintah.[3]
Secara umum tujuan yang ingin dicapai oleh kebijakan fiskal adalah kestabilan ekonomi yang lebih mantap. Mengenai pendapatan negara, Allah telah menggariskan secara tegas dalam al-Quran beberapa sumber yang boleh dipungut oleh Ulil Amri, misalnya: zakat, Jizyah, fay’i, ghanimah, kharaj, dan waqaf. Yang mana ada beberapa prinsip yang harus ditaati oleh ulil amri dalam melaksanakan pemungutan pendapatan negara, yaitu sebagai berikut:
      Nash yang memerintahkannya
      Harus ada pemisahan muslim dan non-muslim
      Hanya golongan kaya yang menanggung beban
      Adanya tuntutan kemaslahatan umum
Terkait dengan adanya prinsip pendapatan negara diatas, maka prinsip pengeluaran negara juga memiliki beberapa prinsip yang harus ditaati oleh seorang Ulil Amri, yakni sebagai berikut:
         Tujuan penggunaan pengeluaran kekayaan negara telah ditetapkan langsung oleh Allah
         Apabila ada kewajiban tambahan, maka harus digunakan untuk tujuan semula kenapa ia dipungutt
         Adanya pemisahan antara pengeluaran yang wajib di adakan di saat ada atau tidaknya harta dan pengeluaran yang wajib diadakan hanya di saat adanya harta.
         Pengeluaran harus hemat.[4]
Para ulama terdahulu telah memberikan kaidah-kaidah umum yang didasarkan dari al-Quran dan Hadis dalam memandu kebijakan belanja pemerintah. Diantara kaidah tersebut antara lain:
1.      Kebijakan atau belanja pemerintah harus senantiasa mengikuti kaidah maslahah.
2.      Menghindari musyaqqah kesulitan dan mudarat harus didahulukan ketimbang melakukan pembenahan.
3.      Mudarat individu dapat dijadikan alasan demi menghindari mudarat dalam skala umum.
4.      Pengorbanan individu dapat dilakukan dan kepentingan individu dapat dikorbankan demi menghindari kerugian dan pengorbanan dalam skala umum.
5.      Kaidah al-giurmu bil gunni yaitu kaidah yang menyatakan bahwa yang mendapatkan manfaat harus siap menanggung beban (yang ingin untung harus siap menanggung kerugian).
6.      Kaidah ma la yatimmu al waajibu illa bihi fahua wajib yaitu kaidah yang menyatakan bahwa sesuatu hal yang wajib ditegakkan dan tampa ditunjang oleh faktor penunjang lainnya tidak dapat di bangun, maka menegakkan faktor penunjang tersebut menjadi wajib hukumnya.
Kaidah-kaidah tersebut dapat membantu dalam mewujudkan efektifitas dan efisiensi pembelanjaan pemerintah dalam Islam, sehingga tujuan-tujuan dari pembelanjaan pemerintah dapat tercapai. Diantara tujuan pembelanjaan dalam pemerintahan islam:
a)      Pengeluaran demi memenuhi kebutuhan hajat masyarakat.
b)      Pengeluaran sebagai alat redistribusi kekayaan.
c)      Pengeluaran yang mengarah pada semakin bertambahnya permintaan efektif.
d)      Pengeluaran yang berkaitan dengan investasi dan produksi.
e)      Pengeluaran yang bertujuan menekan tingkat inflasi dengan kebijakan intervensi pasar.
Kebijakan belanja umum pemerintahan dalam sistem ekonomi Islam dapat dibagi menjadi tiga bagian yaitu:
-       Belanja kebutuhan operasional pemerintah yang rutin.
-       Belanja umum yang dapat dilakukan pemerintah apabila sumber dananya tersedia.
-       Belanja  umum yang berkaitan dengan proyek yang disepakati olelh masyarakat berikut sistem pendanaannya.
Apapun kaidah syar’iyah yang berkaitan dengan belanja kebutuhan operasional pemerintah yang rutin adalah mengacu pada kaidah-kaidah yang telah disebutkan diatas, secara rinci pembelanjaan Negara harus didasarkan pada:
1)      Kebijakan belanja rutin harus sesuai dengan azas maslahat umum, tidak boleh dikaitkan dengan kemaslahatan seseorang atau kelompok mensyarakat tertentu, apalagi kemaslahatan pejabat pemerintahan.
2)      Kaidah atau prinsip efisiensi dalam belanja rutin yaitu mendapatkan sebanyak mungkin manfaat dengan biaya yang semurah-murahnya.
3)      Tidak berpihak kepada kelompok kaya dalam pembelanjaan, walaupun dibolehkan berpihak pada kelompok miskin.
4)      Prinsip komitmen dengan aturan syariah, dimulai dari yang wajib, sunnah, mubah atau dharurah, hajjiyat dan kamaliyah.
Kebijakan fiskal dalam Islam tidak lepas dari kendali politik ekonomi yang bertujuan, bagaimana yang dikemukakan Abdurrahman al-Maliki, yaitu menjamin pemenuhan kebutuhan-kebutuhan primer per individu secara menyeluruh, dan membantu tiap-tiap individu diantara mereka dalam memenuhi kebutuhan-kebutuhan sekunder dan tersier sesuai kadar kemampuannya.[5]

C.     ZISWA Sebagai Komponen Kebijakan Fiskal Islami
Dalam Islam kita kenal adanya zakat, infak, sedekah, wakaf dan lain-lain (ZISWA). Zakat merupakan kewajiban untuk mengeluarkan sebagian pendapatan atau hatra seseorang yang telah memenuhi syarat syariah Islam guna diberikan kepada berbagai unsur masyarakat yang telah ditetapkan dalam syariah Islam. Sementara infak, sedekah, wakaf merupakan pengeluaran “sukarela” yang juga sangay dianjurkan dalam Islam. Dengan demikian ZISWA merupakan unsur-unsur yang terkandung dalam kebijakan fiskal. Unsur-unsur tersebut ada yang bersifat wajib seperti zakat dan ada pula yang bersifat sukarela seperti infak, dan wakaf.[6]
1.      Zakat
Zakat merupakan komponen utama dalam sistem keuangan publik sekaligus kebijakan fiskal yang utama dalam sistem ekonomi Islam. Zakat merupakan kegiatan yang bersifat wajib bagi seluruh umat islam. Walaupun demikian masih komponen lainnya yang dapat dijadikan sebagai unsur lain dalam sumber penerimaan negara.  Tujuan dari kegiatan zakat-berdasarkan sudut pandang sistem ekonomi pasar- adalah menciptakan distribusi pendapatan menjadi lebih merata. Selain untuk tujuan distribusi, maka analisis kebijakan fiskal dalam sistem ekonomi pasar dilakukan untuk melihat bagaimana dampak dari zakat terhadap kegiatan alokasi sumber daya ekonomi dan stabilisasi kegiatan ekonomi.
Zakat sendiri bukanlah satu kegiatan yang semata-mata untuk tujuan duniawi, seperti distribusi pendapatan, stabilitas ekonomi, dan lainnya, tetapi juga mempunyai implikasi untuk kehidupan di akhirat. Sebagaimana dijelaskan dalam Q.S. at-Taubah ayat: 103 berikut ini:
õè{ ô`ÏB öNÏlÎ;ºuqøBr& Zps%y|¹ öNèdãÎdgsÜè? NÍkŽÏj.tè?ur $pkÍ5 Èe@|¹ur öNÎgøn=tæ ( ¨bÎ) y7s?4qn=|¹ Ö`s3y öNçl°; 3 ª!$#ur ììÏJy íOŠÎ=tæ ÇÊÉÌÈ
Artiny:   Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan dan mensucikan mereka dan mendoalah untuk mereka. Sesungguhnya doa kamu itu (menjadi) ketenteraman jiwa bagi mereka. dan Allah Maha mendengar lagi Maha Mengetahui.
Sementara itu dampak untuk pengeluaran-pengeluaran lainnya seperti sedekah dan lain-lain, perhatikan QS. Al-Baqarah ayat: 261
ã@sW¨B tûïÏ%©!$# tbqà)ÏÿZムóOßgs9ºuqøBr& Îû È@Î6y «!$# È@sVyJx. >p¬6ym ôMtFu;/Rr& yìö7y Ÿ@Î/$uZy Îû Èe@ä. 7's#ç7/Yß èps($ÏiB 7p¬6ym 3 ª!$#ur ß#Ï軟Òム`yJÏ9 âä!$t±o 3 ª!$#ur ììźur íOŠÎ=tæ ÇËÏÊÈ
Artinya:   Perumpamaan (nafkah yang dikeluarkan oleh) orang-orang yang menafkahkan hartanya di jalan Allah[166] adalah serupa dengan sebutir benih yang menumbuhkan tujuh bulir, pada tiap-tiap bulir seratus biji. Allah melipat gandakan (ganjaran) bagi siapa yang dia kehendaki. dan Allah Maha luas (karunia-Nya) lagi Maha Mengetahui.
Dalam al-Quran diperkirakan terdapat 30 ayat yang berkaitan dengan perintah untuk mengeluarkan zakat. Perintah berzakat sering muncul berdampingan sesudah perintah mendirikan shalat. Hal ini menunjukkan berapa pentingnya kegiatan berzakat dalam Islam. Zakat sesungguhnya merupakan instrumen Islami sangat luar biasa potensinya. Potensi zakat ini jika digarap dengan baik, akan menjadi sumber pendanaan yang sangat besar, sehingga dapat menjadi kekuatan pendorong pemberdayaan ekonomi umat dan memerataan pendapatan. Ujung dari semua itu akan bermuara pada meningkatnya perekonomian bangsa.[7]
2.      Wakaf
Wakaf merupakan satu instrumen ekonomi Islam yang belum diberdayakan secara optimal di Indonesia. Padahal di sejumlah Negara lain, seperti di Mesir dan Bangladesh, wakaf telah dikembangkan sedemikian rupa, sehingga menjadi sumber pendanaan yang tiada habis-habisnya bagi pengembangan ekonomi umat. Wakaf memang tidak jelas disebutkan dalam al-Quran, tetapi ada beberapa ayat yang dapat dijadikan dasar hukum wakaf. Salah satunya firman Allah berikut ini:
`s9 (#qä9$oYs? §ŽÉ9ø9$# 4Ó®Lym (#qà)ÏÿZè? $£JÏB šcq6ÏtéB 4 $tBur (#qà)ÏÿZè? `ÏB &äóÓx« ¨bÎ*sù ©!$# ¾ÏmÎ/ ÒOŠÎ=tæ ÇÒËÈ
Artunya: Kamu sekali-kali tidak sampai kepada kebajikan (yang sempurna), sebelum kamu menafkahkan sehahagian harta yang kamu cintai. dan apa saja yang kamu nafkahkan Maka Sesungguhnya Allah mengetahuinya. (QS. Ali Imran: 92)
Begitu pula dalam suatu hadis, Rasulullah bersabda:
Artinya: “Apabila seorang manusia meninggal, terputuslah amal perbuatannya, kecuali dari 3 hal yaitu: shadaqah jariyah (sedekah yang pahalanya tetap mengalir), ilmu pengetahuan yang bermanfaat dan doa anak yang saleh.”
Dalam hukum Islam, wakaf berarti menyerahkan suatu hak milik yang telah lama (zatnya) kepada seseorang atau nadzir (penjaga wakaf) baik berupa perorangan maupun lembaga, dengan ketentuan bahwa hasilnya digunakaan sesuai dengan syariat Islam. Harta yang telah diwakafkan keluar dari hak milik yang mewakafkan (wakif), dan bukan pula hak milik lembaga pengelola wakaf tapi menjadi hak milik Allah yang harus dimanfaatkan untuk kesejahteraan masyarakat.
Diantara intrumenn ZISWA, untuk kasus di Indonesia wakaflah yang paling terbelakang kemajuannya. Padahal sesungguhnya, wakaf telah dikenal dan dilaksanakan umat Islam sejak agama Islam masuk ke Indonesia. Wakaf juga telah memberikan kontribusi yang sangat berarti bagi perkembangan Islam di Indonesia, seperti lahan yang dipergunakan untuk sekolah-sekolah, mesjid dan lain sebagainya pada umumnya berasal dari tanah wakaf. Dari sekian banyaknya tanah wakaf tersebut, maka apabila dikelola secara produktif, tentu akan sangat bermanfaat bagi perekonomian umat. Seperti yang bisa dilihat di Negara Muslim lainnya seperti: Saudi Arabia, Mesir, Turki, Yordania, lembaga wakaf yang berkembang sangat maju, dan memberi manfaat yang besar pada umat dinegara itu.[8]

D.     Pajak Sebagai Istrumen dalam Kebijakan Fiskal
Pajak secara etimologi, terdapat dalam bahasa arab disebut dengan istilah dharibah, yang berasal dari kata                                  yang artinya mewajibkan, menetapkan, memukul, menerangkan atau membebankan, dan lain-lain.
Dharaba adalah bentuk kata kerja (fi’il), sedangkan bentuk kata bendanya (ism) adalah dharibah, yang dapat berarti beban. Dharibah adalah isim mufrad (kata benda tunggal) dengan bentuk jamaknya adalah dharaib. Ia disebut beban, karena merupakan kewajiban tambahan atas harta setelah zakat, sehingga dalam pelaksanaannya akan dirasakan sebagai sebuah beban (pikulan yang berat).
Dengan demikian, pengertian pajak (dharibah) tetaplah “beban tambahan” yang dipikulkan kepada kaum muslim, untuk kepentingan mereka sendiri yaitu kaum muslim, yang tidak terpenuhi oleh negara dari sumber-sumber yang utama, seperti Ghanimah, Shadaqah (zakat dan ‘ushr), Fay’i’ (jizyah, kharaj dan ‘ushr), dan sumber pendapatan sekunder lainnya.
Ada beberapa ketentuan tentang pajak (dharibah) menurut syariat islam, yang sekaligus membedakannya dengan pajak dalam sistem kapitalis (non islam), yaitu:
1.      Pajak (dharibah) bersifat temporer, tidak bersifat kontinu; hanya boleh dipungut ketika di baitul mal tidak ada harta atau kurang.
2.      Pajak (dharibah) hanya boleh dipungut untuk pembiayaan yang merupakan kewajiban bagi kaum muslim dan sebatas jumlah yang diperlukan untuk pembiayaan wajib tersebut.
3.      Pajak (dharibah) hanya diambil dari kaum muslim dan tidak dipungut dari non muslim
4.      Pajak (dharibah) hanya dipungut dari kaum muslim yang kaya, tidak dipugut dari selainnya.
5.      Pajak (dharibah) hanya dipungut sesuai dengan jumlah pembiayaan yang diperlukan, tidak boleh lebih.
6.      Pajak (dharibah) dapat dihapus bila sudah tidak diperlukan.[9]
Sedangkan fungsi pajak biasanya dibagi menjadi dua yaitu fungsi budgetair dan fungsi mengatur.
a.       Fungsi Budgetair, yaitu memasukkan uang sebanyak-banyaknya ke dalam kas negara. Diantara para sarjana ada yang berpendapat bahwa pajak haruslah ditujukan semata-mata untuk menutup biaya yang harus dikeluarkan pemerintah dalam menunaikan tugasnya.
b.      Fungsi mengatur (regulerend). Menurut fungsi ini, pajak di samping berfungsi untuk mengisi kas negara, juga berfungsi untuk mengatur, sebagai usaha pemerintah untuk turut campur dalam segala bidang guna menyelenggarakan tujuan-tujuan lain yang ingin dicapai oleh pemerintah yang letaknya di luar bidang keuangan dan fungsi mengatur banyak ditujukan kepada sektor swasta.[10]

E.     Kebijakan Fiskal Masa Rasulullah dan Masa Sahabat
1.         Kebijakan Fiskal pada Masa Rasulullah
Segala kegiatan yang dilakukan oleh Rasulullah dalam awal masa pemerintahan dilakukan berdasarkan keikhlasan sebagai bagian dari kegiatan dakwah yang ada. Umumnya para sahabat tidak meminta balasan material dari segala kegiatan mereka dalam dakwah tersebut. Dengan adanya perang Badar pada abad ke-2 Hijriah, negara mulai mempunyai pendapatan dari seperlima rampasan perang yang disebut khums.  Sesuai dengan firman Allah SWT dalam QS. Al-Anfal ayat: 41:
(#þqßJn=÷æ$#ur $yJ¯Rr& NçGôJÏYxî `ÏiB &äóÓx« ¨br'sù ¬! ¼çm|¡çHè~ ÉAqß§=Ï9ur Ï%Î!ur 4n1öà)ø9$# 4yJ»tGuŠø9$#ur ÈûüÅ3»|¡yJø9$#ur ÇÆö/$#ur È@Î6¡¡9$# bÎ) óOçGYä. NçGYtB#uä «!$$Î/ !$tBur $uZø9tRr& 4n?tã $tRÏö6tã tPöqtƒ Èb$s%öàÿø9$# tPöqtƒ s)tGø9$# Èb$yèôJyfø9$# 3 ª!$#ur 4n?tã Èe@à2 &äóÓx« 퍃Ïs% ÇÍÊÈ
Artinya: Ketahuilah, Sesungguhnya apa saja yang dapat kamu peroleh sebagai rampasan perang[11], Maka Sesungguhnya seperlima untuk Allah, rasul, kerabat rasul, anak-anak yatim, orang-orang miskin dan ibnussabil[12], jika kamu beriman kepada Allah dan kepada apa[13] yang kami turunkan kepada hamba kami (Muhammad) di hari Furqaan[14], yaitu di hari bertemunya dua pasukan. dan Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu.
Selain dari khums, akibat peperangan tersebut diperoleh pula pendapatan dari tebusan tawanan perang bagi yang ditebus (rata-rata 4.000 Dirham untuk setiap tawanan), tetapi bagi yang tidak ditebus diwajibkan mengajar membaca masing-masing 10 orang muslim. Kemudian sebagai akibat pengkhianatan Bani Nadhir terhadap nabi setelah perang Uhud, Rasulullah mendapatkan tanah wakaf yang pertama dalam sejarah Islam.
Pada masa Rasulullah juga sudah terdapat jizyah yaitu pajak yang dibayar oleh orang nonmuslim khususnya ahli kitab, untuk jaminan perlindungan jiwa, properti, ibadah, bebas dari nilai-nilai, dan tidak wajib militer. Besarnya Jizyah satu Dinar pertahun unuk orang dewasa yan gmampu membayarnya. Tujuan utamanya adalah kebersamaan dalamm menanggung beban negara yang bertugas memberikan perlindungan, keamanan dan tempat tinggal bagi mereka dan juga sebagai dorongan kepada kaum kafir untuk masuk Islam. Jizyah merupakan hak Allah yang diberikan kepada kaum Muslimin dari orang-orang kafir sebagai tanda tunduknya mereka kepada Islam. Jizyah akan berhenti dipungut oleh negara jika orang kafir tersebut telah masuk Islam. Namun jizyah juga tidak wajib jika orang kafir yang bersangkutan tidak mempunyai kemampuan membayarnya karena kefakiran atau kemiskinan.
Adapun sumber lain berasal dari kharaj (pajak tanah) yang dipungut kepada nonmuslim ketika Khibar ditaklukan, jumlah kharaj dari tanah ini tetap yaitu setengan dari hasil produksi. Jadi, pengertian kharaj adalah kebijakan fiskal yang diwajibkan atas tanah pertanian di negara-negara Islam yang baru berdiri. Sedangkan Ushr adalah bea impor yang dikenakan kepada semua pedagang, dibayat hanya sekali dalam setahun dan hanya berlaku bagi barang yang nilainya lebih dari 200 Dirham. Jadi Ushr ini diwajibkan pada komoditas perdagangan yang diekspor maupun diimpor dalam sebuah Negara Islam. Zakat atau Ushr adalah pendapatan yang paling utama bagi negara pada masa Rasulullah hidup. Penetapan tingkat pembayaran zakat baru dilakukan pada abad ke-2 Hijriah oleh Rasulullah, sekaligus menjelaskan pula harta yang wajib dizakati, diantaranya yaitu emas dan perak, perniagaan, peternakan, tanaman dan barang-barang temuan atau harta karun atau rikas.
Sedangkan ketentuan mengeluarkan dana zakat tercantum dalam surah at-Taubah ayat : 60 yakni:
$yJ¯RÎ) àM»s%y¢Á9$# Ïä!#ts)àÿù=Ï9 ÈûüÅ3»|¡yJø9$#ur tû,Î#ÏJ»yèø9$#ur $pköŽn=tæ Ïpxÿ©9xsßJø9$#ur öNåkæ5qè=è% Îûur É>$s%Ìh9$# tûüÏB̍»tóø9$#ur Îûur È@Î6y «!$# Èûøó$#ur È@Î6¡¡9$# ( ZpŸÒƒÌsù šÆÏiB «!$# 3 ª!$#ur íOŠÎ=tæ ÒOÅ6ym ÇÏÉÈ  
Artinya: Sesungguhnya zakat-zakat itu, hanyalah untuk orang-orang fakir, orang-orang miskin, pengurus-pengurus zakat, para mu'allaf yang dibujuk hatinya, untuk (memerdekakan) budak, orang-orang yang berhutang, untuk jalan Allah dan untuk mereka yuang sedang dalam perjalanan, sebagai suatu ketetapan yang diwajibkan Allah, dan Allah Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana.
Selain itu masih ada lagi yang disebut dengan amwal fadhla, yaitu harta benda kaum muslimin yang meninggal tanpa ahli waris, atau berasal dari barang-barang seorang muslim yang meninggalkan negerinya. Instrumen lain adalah nawaib, pajak yang jumlahnya cukup besar yang dibebankan kepada kaum muslimin yang kaya dalam rangka menutupi pengeluaran negara selama masa darurat dan ini pernah terjadi pada masa perang Tabuk.
Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa sumber penerimaan pada masa Rasulullah dapat digolongkan menjadi tiga golongan bedar, yakni dari kaum muslim, dari nonmuslim, dan dari sumber lain. Untuk mengelola sumber penerimaan negara dan sumber pengeluaran negara maka Rasulullah menyerahkan kepada Baitulmal dengan menganut asas anggaran berimbang artinya semua penerimaan habis digunakan untuk pengeluaran negara.[15]
2.         Kebijakan Fiskal pada Masa Sahabat
a)        Khalifah Abu Bakar Ash-Shidiq (51 SH-13 H/573-634 M)
Langkah-langkah yang dilakukan Abu Bakar dalam menyempurnakan ekonomi islam antara lain:
-          Perhatian terhadap keakuratan perhitungan zakat
-          Pengembangan pembangunan baitulmal dan menanggung jawab baitulmal (Abu Ubaidah)
-          Menerapkan konsep balance budget policy pada baitulmal.
-          Melakukan penegakan hukum terhadap pihak yang tidak mau membayar zakat dan pajak
-          Secara individu Abu Bakar adalah seorang praktisi akad-perdagangan.
b)        Khalifah Umar Bin Khatab (40 SH-23 H/ 584-644 M)
Konstribusi yang diberikan Umar untuk mengembangkan ekonomi Islam antara lain:
      Reorganisasi baitulmal, dengan mendirikan Diwan Islam yang pertama yang disebut dengann al-Divan.
      Pemerintah bergtanggung jawab terhadap pemenuhan kebutuhan makanan dan pakaian kepada warga negara.
      Diversifikasi terhadap objek zakat, dan tarif zakat.
      Pengembangan Ushr (pajak), dan pertanian.
      Undang-undang perubahan pemilikan tanah
      Pengelompokan pendapatan negara daam 4 bagian.
c)        Khalifah Usman Bin Affan (47 Sh-35 H/ 577-656 M)
Pada awal pemerintahan Usman mencoba melanjutkan dan mengembangkan kebijaksanaan yang dijalankan khalifah Umar. Pada enam tahun kepemimpinannya hal-hal yang dilakukan:
§  Pembangunan pengairan
§  Pembentukan organisasi kepolisian untuk menjaga keamanan perdagangan
§  Pembangunan gedung pengadilan, guna menegakkan hukum.
d)        Khalifah Ali Bin Abi Talib (23 SH-40 H/ 600-661 M)
Beberapa perubahan kebijaksanaan yang dilakukan pada masa khalifah Ali antara lain:
         Pendistribusian seluruh pendapatan yang ada pada baitulmal berbeda dengan Umar yang menyisihkan untuk cadangan.
         Pengeluaran angkatan laut dihilangkan
         Adanya kebijakan pengetatan anggaran.[16]

F.      Formulasi Kebijakan Fiskal Islam di Era Modern
Setelah menurut sejarah kebijakan fiskal di masa awal islam dan didahului dengan objektif kebijaksanaan fiskal itu sendiri, maka selanjutnya kita akan berupaya untuk mereformulasi kebijaksanaan fiskal islami. Kebijaksanaan fiskal tidak hanya menaruh perhatian pada pendapatan dan pembelanjaan negara, tetapi juga pada pilihan berbagai instrumen kebijakan perpajakan dan pola pembelanjaan negara. Cara yang berbeda dalam menaikkan dan membelanjakan anggaran memiliki dampak ekonomi yang berbeda.
Al-qur’an dan As-sunnah memiliki panduan-panduan pokok dalam kebijaksanaan fiskal yaitu:
1.      Islam tidak menyukai pembelanjaan yang tidak terkendali dalam negara. Israf atau berlebih-lebihan dilarang secara keras baik dalam Al-quran maupun Sunnah. Larangan ini berlakubaik untuk individu maupun negara.
2.      Kebijaksanaan fiskal harus mampu memenuhi sasaran dasar sebuah tatanan sosioekonomi islami. Artinya kebijakan fiskal islami harus memiliki orientasi ideologis, yaitu terpenuhi kesejahteraan material dan spiritual.[17]
Islam telah menentukkan sektor-sektor penerimaan pemerintah, melalui zakat, ghanimah, fai, jizyah, kharaj, shadaqah, dan lain-lain. Khaf (1999) berpendapat sedikitnya ada tiga prosedur yang harus dilakukan pemerintah Islam modern dalam kebijakan pendapatan fiskalnya dengan asumsi bahwa pemerintah tersebut sepakat dengan adanya kebijakan pungutan pajak (terlepas dari ikhtilaf ulama mengenai pajak). Adapun prosedur tersebut antara lain:
1.      Kaidah syari’iyah yang berkaitan dengan kebijakan pungutan zakat
Ajaran Islam dengan rinci telah menentukan, syarat, kategori harta yang harus dikeluarkan zakatnya, lengkap dengan besaran (tarifnya). Maka dengan ketentuan yang jelas tersebut tidak ada hal bagi pemerintah untuk mengubah tarif yang telah ditentukan.
2.      Kaidah-kaidah syar’iyah yang berkaitan dengan hasil pendapatan yang berasal dari aset pemerintah
Menurut kaidah syar’iah pendapatan dari aset pemerintahan dapat dibagi dalam dua kategori: (a) pendapatan dari aset pemerintah yang umum, yaitu berupa investasi aset pemeerintah yang dikelola baik oleh pemerintah sendiri
atau masyarakat. (b) pendapatan dari aset yang masyarakat ikut maslaha dan keadilan.
3.      Kaidah syar’iyah yang berkaitan dengan kebijakan pajak
Prinsip ajaran Islam tidak memberikan arahan dibolehkannya pemerintah mengambil sebagian harta milik orang kaya secara paksa.[18]
Pada pemerintahan islam modern, terjadi perubahan, yaitu mulai memakai anggaran defisit, dan meninggalkan kebijaksanaan anggaran berimbang, yang dianggap tidak berorientasi kepada pertumbuhan. Mungkin tidak semua ulama setuju dengan kebbijakan ini. Berikut dikemukakan 3 ekonomi islam, yang sama-sama setuju dengan konsep anggaran defisit.
Menurut Mannan, sebuah negara islam modern harus menerima konsep anggaran modern (sistem anggaran defisit) dengan perbedaan pokok dalam hal penanganan defisit (kekurangan) anggaran itu.
Pemilihan konsep anggaran defisit ini tentunya akan memerlukan tambahan dengan cara meminjam. Untuk itu terdapat tiga sumber pinjaman tradisional bagi kebanyakan negeri islam, yaitu: bank sentral, bank umum, dan masyarakat. Namun, utang harus dibuat tanpa adanya tekanan dari pihak pemberi utang (kreditorr), yang akan dapat mengakibatkan hilangnya kebebasan, kehormatan, dan kedaulatan negara muslim. Kemudian, yang tak kalah pentingnya adalah utang itu harus tanpa bunga (riba), yang akan memberatkan pihak yang berutang (debitur).
Menurut Umer Chapra juga setuju dengan anggaran pembelanjaan defisit, namun dengan solusi yang berbeda dengan Mannan. Chapra berpendapat bahwa negara-negara muslim harus menutup defisit dengan pajak, yaitu mereformasi sistem perpajakan dan program pengeluaran negara, bukan dengan jalan pintas melalui ekspansi moneter dan meminjam.
Chapra lebih setuju dengan meningkatkan pajak, karena pinjaman akan membawa kepada riba. Karena pinjaman akan membawa kepada riba. Dan pinjaman itu juga meniadakan keharusan berkorban, namun hanya menangguhkan beban sementara waktu. Dan akan membebani generasi yang akan datang dengan beban berat yang tidak semestinya mereka pikul.
Untuk meutupi kekurangan (defisit) anggaran negara modern, para khalifah (kemungkinan) akan menempuh beberapa alternatif solusi, yaitu:
a.       Meminjam dari negara-negara asing maupun lembaga keuangan internasional.
b.      Penguasaan (pemagaran oleh negara) atas sebagian harta milik umum baik berupa minyak bumi, gas alam maupun barang tambang,
c.       Menetapkan pajak (dharibah) kepada umat.
Bahwa sistem anggaran modern adalah anggaran yang berorientasi pada pertumbuhan, yang konsekuensinya negara-negara muslim harus menganut prinsip anggaran defisit. Untuk menutup defisit itu ada tiga jalan, pertama, dengan pinjaman yang dilakukan secara islami, kedua, penguasaan sebagian milik umum, dan ketiga dengan menetapkan pajak.[19]



G.    Kesimpulan
Kebijakan fiskal telah dikenal dalam ekonomi Islam sejak zaman Rasulullah saw. Kebijakan fiskal adalah kebijakan yang meliputi kegiatan penerimaan dan pengeluaran negara yang digunakan pemerintah untuk menjaga stabilitas ekonomi serta mendorong pertumbuhan ekonomi. Tujuan yang ingin dicapai oleh kebijakan fiskal adalah kestabilan ekonomi yang lebih mantap. Mengenai pendapatan negara, Allah telah menggariskan secara tegas dalam al-Quran beberapa sumber yang boleh dipungut oleh Ulil Amri, misalnya: zakat, Jizyah, fay’i, ghanimah, kharaj, dan waqaf. Yang mana ada beberapa prinsip yang harus ditaati oleh ulil amri dalam melaksanakan pemungutan pendapatan negara, yaitu sebagai berikut:
      Nash yang memerintahkannya
      Harus ada pemisahan muslim dan non-muslim
      Hanya golongan kaya yang menanggung beban
      Adanya tuntutan kemaslahatan umum


DAFTAR PUSTAKA


Gusfahmi, Pajak, Menurut Syariah, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2007.
Nasution. Mustafa Edwin, Pengenalan Ekslusif: Ekonomi Islam, Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2010.
Nuruddin Mhd. Ali, Zakat Sebagai Instrumen Dalam Kebijakan Fiskal, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2006.



[1]Mustafa Edwin Nasution, Pengenalan Ekslusif: Ekonomi Islam, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2010), Cet-3, h. 203.
[2]Gusfahmi, Pajak, Menurut Syariah, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2007), h. 143.
[3]Nuruddin Mhd. Ali, Zakat Sebagai Instrumen Dalam Kebijakan Fiskal, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2006), h. 89-90.
[4]Gusfahmi, Op Cit., h. 146-150.
[5]Mustafa Edwin Nasution, Op Cit., h. 223-225.
[6]Ibid., h. 205-206.
[7]Ibid., h. 206-208.
[8]Ibid., h. 214-217.
[9]Ibid., h. 27-35.
[10]Nuruddin Mhd, Ali, Op Cit., h. 100-101.
[11]Yang Dimaksud Dengan Rampasan Perang (Ghanimah) Adalah Harta Yang Diperoleh Dari Orang-Orang Kafir Dengan Melalui Pertempuran, Sedang Yang Diperoleh Tidak Dengan Pertempuran Dinama Fa'i. Pembagian Dalam Ayat Ini Berhubungan Dengan Ghanimah Saja.
[12]Maksudnya: Seperlima Dari Ghanimah Itu Dibagikan Kepada: A. Allah Dan Rasulnya. B. Kerabat Rasul (Banu Hasyim Dan Muthalib). C. Anak Yatim. D. Fakir Miskin. E. Ibnussabil. Sedang Empat-Perlima Dari Ghanimah Itu Dibagikan Kepada Yang Ikut Bertempur.
[13]Yang Dimaksud Dengan Apa Ialah: Ayat-Ayat Al-Quran, Malaikat Dan Pertolongan.
[14]Furqaan Ialah: Pemisah Antara Yang Hak Dan Yang Batil. Yang Dimaksud Dengan Hari Al Furqaan Ialah Hari Jelasnya Kemenangan Orang Islam Dan Kekalahan Orang Kafir, Yaitu Hari Bertemunya Dua Pasukan Di Peprangan Badar, Pada Hari Jum'at 17 Ramadhan Tahun Ke 2 Hijriah. Sebagian Mufassirin Berpendapat Bahwa Ayat Ini Mengisyaratkan Kepada Hari Permulaan Turunnya Al Quranul Kariem Pada Malam 17 Ramadhan.
[15]Mustafa Edwin Nasution, Op Cit., h. 227-232.
[16]Ibid., h. 233-236.
[17]Ibid., h. 236-237.
[18] ibid.
[19]Gusfahmi, Ibid., h. 162-164.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar