THAHARAH
Makalah Ini Dibuat Untuk
Memenuhi Tugas Mandiri Mata Kuliah
Pendalaman Mata Kuliah
Pendidikan Agama Islam
Diserahkan, Rabu, 26 Juni 2014
Oleh:
MAIRITA FITRI
11111201102
FAKULTAS
TARBIYAH DAN KEGURUAN
JURUSAN
PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
UNIVERSITAS
ISLAM NEGERI (UIN)
SULTAN SYARIF
KASIM
RIAU
2014
THAHARAH
A.
Pendahuluan
Islam
menganjurkan untuk selalu menjaga kebersihan badani selain rohani. Kebersihan
badani tercermin dengan bagaimana umat muslim selalu bersuci sebelum mereka
melakukan ibadah menghadap Allah SWT. Pada hakikatnya tujuan bersuci adalah
agar umat muslim terhindari dari kotoran atau debu yang menempel di badan
sehingga secara sadar atau tidak sengaja membatalkan rangkaian ibadah kita
kepada Allah SWT.
Namun, yang terjadi sekarang adalah,
banyak umat muslim hanya tahu saja bahwa bersuci itu sebatas membasuh badan
dengan air tanpa mengamalkan rukun-rukun bersuci lainnya sesuai syariat Islam. Bersuci atau istilah dalam istilah Islam yaitu “Thaharah” mempunyai makna yang luas tidak hanya berwudhu saja.
Pengertian
thaharah adalah mensucikan diri, pakaian, dan tempat sholat dari hadas dan
najis menurut syariat islam. Bersuci dari hadas dan najis adalah syarat syahnya
seorang muslim dalam mengerjakan ibadah tertentu. Berdasarkan pengertian
tersebut sebenarnya banyak sekali manfaat yang bisa kita ambil dari fungsi
thaharah. Taharah sebagai bukti bahwa Islam amat mementingkan kebersihan dan
kesucian
Berdasarkan latar belakang masalah
diatas, maka penulis bermaksud untuk memaparkan penjelasan lebih rinci tentang
thaharah, menjelaskan bagaimana fungsi thaharah dalam menjalan ibadah kepada
Allah, serta menjelaskan manfaat thaharah yang dapat umat muslim peroleh. Dengan demikian umat muslim akan lebih tahu makna bersuci dan mulai
mengamalkannya untuk peningkatan kualitas ibadah yang lebih baik.
B.
Thaharah
1.
Pengertian Thaharah
Thaharah menurut bahasa artinya “bersih” Sedangkan
menurut istilah syara’ thaharah adalah bersih dari hadas dan najis.
Selain itu thaharah dapat juga diartikan mengerjakan pekerjaan yang membolehkan
shalat, berupa wudhu, mandi, tayamum dan menghilangkan najis.[1]
Taharah merupakan anak kunci dan syarat sah salat. Dalam kesempatan lain Nabi SAW juga
bersabda:
قال عليه
الصلاة والسلام: مِفْتَاحُ الصَّلَاةِ أَلطََّهَارَةُ، وَتَحْرِيْمُهَا
التَّكْبِيْرُ، وَتَحْلِيْلُهَا التَّسْلِيْمُ
Artinya: “Nabi
Bersabda: Kuncinya shalat adalah suci, penghormatannya adalah takbir dan
perhiasannya adalah salam.”
Hukum taharah
ialah WAJIB di atas tiap-tiap mukallaf lelaki dan perempuan. Dalam hal
ini banyak ayat Al qur`an dan hadist Nabi Muhammad saw, menganjurkan agar kita
senantiasa menjaga kebersihan lahir dan batin.
Firman Allah Swt :
وَيَسْأَلُونَكَ عَنِ الْمَحِيضِ قُلْ هُوَ أَذًى فَاعْتَزِلُوا النِّسَاءَ
فِي الْمَحِيضِ وَلا تَقْرَبُوهُنَّ حَتَّى يَطْهُرْنَ فَإِذَا تَطَهَّرْنَ
فَأْتُوهُنَّ مِنْ حَيْثُ أَمَرَكُمُ اللَّهُ إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ
التَّوَّابِينَ وَيُحِبُّ الْمُتَطَهِّرِينَ (٢٢٢)
Artinya: “Sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang bertobat dan
mencintai orang-orang yang suci lagi bersih”. (QS Al Baqarh:222)
Selain ayat al qur`an tersebut, Nabi Muhammad SAW bersabda.
النظافة من الايمان (رواه مسلم)
Artinya : “Kebersihan
itu adalah sebagian dari iman.”(HR.Muslim)[2]
2.
Syarat Wajib Thaharah
Setiap
mukmin mempunyai syarat wajib untuk melakukan thaharah. Ada hal-hal yang harus
diperhatikan sebagai syarat sah-nya berthaharah sebelum melakukan perintah
Allah SWT. Syarat wajib tersebut ialah :
1.
Islam
2.
Berakal
3.
Baligh
4.
Masuk waktu
( Untuk mendirikan solat fardhu ).
5.
Tidak lupa
6.
Tidak
dipaksa
7.
Berhenti
darah haid dan nifas
8.
Ada air atau
debu tanah yang suci.
9.
Berdaya
melakukannya mengikut kemampuan.
3.
Bentuk Thaharah
Taharah
terbagi menjadi dua bagian yaitu lahir dan batin. Taharah lahir adalah
taharah/suci dari najis dan hadas yang dapat hilang dicuci dengan air mutlak
(suci menyucikan) dengan wudu, mandi, dan tayamun. Taharah batin adalah
membersihkan jiwa dari pengaruh-pengaruh dosa dan maksiat, seperti dengki, iri,
penipu, sombong, ujub, dan ria.
Sedangkan berdasarkan cara melakukan thaharah, ada beberapa macam bentuk
yaitu : wudhu, tayamum, mandi wajib dan istinjak.
1)
Wudhu
Wudu menurut bahasa berarti bersih.
Menurut istilah syara’ berarti membasuh anggota badan tertentu dengan air suci
yang menyucikan (air mutlak) dengan tujuan menghilangkan hadas kecil sesuai
syarat dan rukunnya. Firman Allah SWT dalam surat Al Maidah ayat 6.
Artinya : “Hai orang-orang yang
beriman, apabila kamu hendak mengerjakan solat, maka basuhlah mukamu, kedua
tanganmu sampai siku, dan sapulah kepalamu dan basuhlah kakimu sampai mata
kaki.”(QS Al maidah :6)
Syarat Wudu :
Wudu seseorang dianggap sah apabila memenuhi syarat
sebagai berikut.
a.
Beragama
Islam
b. Sudah
mumayiz
c.
Tidak
berhadas besar dan kecil
d. memakai air
suci lagi mensucikan
e.
Tidak ada
sesuatu yang menghalangi samp[ainya air ke anggota wudu, seperti cat, getah
dsb.
Rukun Wudu:
Hal-hal yang
wajib dikerjakan dalam wudu adalah sebagai berikut.
a.
Niat berwudu di dalam hati bersamaan
ketika membasuh muka.
b.
Membasuh seluruh muka
c.
Membasuh kedua tangan sampai siku
d.
Mengusap atau menyapu sebagian
kepala.
e.
Membasuh kedua kaki sampai mata
kaki, dan
f.
Tertib (berurutan dari pertama
sampai terakhir
Sunah Wudu:
Untuk
menambah pahala dan menyempurnakan wudu, perlu diperhatikan hal-hal yang
disunahkan dalam melakukan wudu, antara lain sebagai berikut.
a. Membaca dua
kalimah syahadat ketika hendak berwudu
b. Membaca
ta’awuz dan basmalah
c. Berkumur-kumur
bagi seseorang yang sedang tidak berpuasa
d. Membasuh dan
membersihkan lubang hidung
e. Menyapu
seluruh kepala
f. Membasuh
sela-sela jari tangan dan kaki
g. Mendhulukan
anggota wudu yang kanan dari yang kiri.
h. Membasuh
anggota wudu tiga kali.
i. Mengusap
kedua telinga bagian luar dan dalam
j. Membaca do’a
sesudah wudu.
Do’a sesudah
wudu.
Hal yang membatalkan wudu:
§ Wudu
seseorang dikatakan batal apabila yang bersangkutan telah melakukan hal-hal
seperti berikut.
§ Keluar
sesuatu dari kubul (kemaluan tempat keluarnya air seni) atau dubur(anus), baik
berupa angin maupun cairan(kentut,kencing, tinja, darah, nanah, mazi, mani dan
sebagainya)
§ Bersentuhaan
kulit laki-laki dan perempuan tanpa pembatas.
§ Menyentuh
kubul atau dubur dengan tapak tangan tanpa pembatas.
§ Tidur dengan
nyenyak
§ Hilang akal
2) Tayamum
Tayamum secara bahasa adalah berwudu
dengan debu,(pasir, tanah) yang suci karena tidak ada air atau adanya halangan
memakai air. Tayamum menurut istilah adalah menyapakan tanah atau debu yang
suci ke muka dan kedua tangan sampai siku dengan memenuhi syarat da rukunnya
sebagai pengganti dari wudu atau mandi wajib karena tidak adanya air atau
dilarang menggunakan air disebabkan sakit.
Firman Allah SWT dalam surat An Nisa
ayat 43.
Artinya : “Dan jika kamu sakit
atau sedang dalam musafir atau datang dari tempat buang air atau kamu telah
menyentuh perempuan, kemudian kamu tidak mendapat air, maka bertayammumlah kamu
dengan tanah yang baik (suci), sapulah mukamu dan tanganmu sesungguhnya Allah Maha
Pemaaf lagi Maha Pengampun.” (QS An Nisa:43)
Tayammum merupakan pengganti dari
berwudu. Apabila seseorang telah melaksanakan salat dengan tayamum kemudian dia
menemukan air, maka tidak wajib mengulang sekalipun waktu salat masih ada.
Adapun syarat dan rukun, sunah serta
hal-hal yang terkait dengan tayamum adalah sebagai berikut.
Syarat Tayamum:
Syarat tayamum adalah sebagai berikut :
a.
Ada sebab
yang membolehkan mengganti wudu atau mandi wajib dengan tayamum.
b. Sudah masuk
waktu salat
c.
Sudah
berusaha mencari air tetapi tidak menemukan
d. Menghilangkan
najis yang melekat di tubuh
e.
Menggunakan
tanah atau debu yang suci.
Rukun Tayamum:
-
Niat
-
Mengusap debu ke muka
-
Mengusap debu ke dua tangan sampai
siku
-
Tertib
Sunah Tayamum:
Dalam melaksanakan tayamum, seseorang hendaknya
memperhatikan sunah-sunah tayamum sebagai berikut.
a.
Membaca dua
kalimah syahadat ketika hendak bertayamum
b. Membaca
ta’awuz dan basmalah
c.
Menepiskan
debu yang ada di telapak tangan
d. Merenggangkan
jari-jari tangan
e.
Menghadap
kiblat
f.
Mendahulukan
anggota tubuh yang kanan dari yang kiri
g. Membaca do’a
(seperti do’a sesudah wudu)
Hal yang membatalkan Tayamum:
Tayamum seseorang menjadi batal karena sebab berikut :
o Semua yang
membatalkan wudu juga membatalkan tayamum
o Keadaan
seseorang melihat air yang suci yang mensucikan (sebelum
salat)
o Murtad
(keluar dari agama Islam)[3]
3)
Mandi Wajib
Mandi wajib disebut juga mandi
besar, mandi junub, atau mandi janabat. Mandi wajib adalah menyiram air ke
seluruh tubuh mulai dari ujung rambut sampai ujung kaki dengan disertai niat
mandi wajib di dalam hati.
Firman Allah Swt :
وَإِنْ
كُنْتُمْ جُنُبًا فَاطَّهَّرُوا (٦)
Artinya : “.......dan jika kamu
junub maka mandilah.” (QS Al Maidah)
Adapun lafal niatnya adalah sebagai berikut :
نويت غسل الجنابة لرفع الحدث الكبر فرضا لله تعا لى
Artinya : “Aku niat mandi wajib untuk menghilangkan
hadast besar karena Allah Ta’ala.’
Rukun mandi wajib:
Ada beberapa hal yang menjadi rukun dalam melaksanakan
mandi wajib, diantaranya sebagai berikut :
·
Niat mandi wajib
·
Menyiramkan air keseluruh tubuh
dengan merata.
·
Membersihkan kotoran yang melekat
atau mengganggu sampainya air ke badan.
Sunah Mandi Wajib:
Pada waktu mandi wajib disunahkan melakukan beberapa
hal, antara lain :
¶
Menghadap kiblat
¶
Membaca basmalah
¶
Berwudu sebelum mandi
¶
Mendahulukan anggota badan yang
kanan dari yang kiri, dan
¶
Menggosok badan dengan tangan.
Beberapa Penyebab Diwajibkan Mandi Wajib
Berikut ini adalah hal-hal yang menjadi penyebab
diwajibkannya mandi wajib:





4)
Istinja’
Pengertian istinja’ Menurut bahasa, istinja’ berarti
terlepas atau bebas. Sedangkan menurut istilah, ialah membersihkan kedua pintu
alat kelamin manusia yaitu dubur dan qubul(anus dan penis) dari kotoran dan
cairan (selain mani) yang keluar dari keduanya. Istinja’ hukumnya wajib.
Hal-hal yang
dilarang ketika buang air:
o Dilarang menjawab suara adzan
o Dilarang menjawab salam
o Bila bersin hendaknya memuji
Allah dalam hati saja, tidak boleh menjawab dengan suara keras
o Dilarang mengucapkan
kalimat-kalimat dzikir
o Dilarang sambil makan, minum
dan sebagainya
Alat-alat yang digunakan untuk
istinja’:
¶
Air
¶
Batu (jika tidak ada air)
¶
Kertas atau tissue (jika tidak ada air)
¶
Daun-daunan yang tidak biasa dimakan (jika tidak ada air)
Tata cara istinja’:
§ Ada air dapat dibersihkan
dengan batu atau kertas sampai bersih. Membasuh tempat keluarnya najis dengan
air hingga bersih
§
Jika tidak Sekurang-kurangnya dengan 3 buah batu atau 3 sisi sebuah batu.
Jika tidak ada batu dapat digunakan benda-benda lain asal keset atau keras.
4.
Fungsi Thaharah
Dalam
kehidupan sehari-hari, thaharah memiliki
fungsi yaitu :
a)
Membiasakan hidup bersih dan sehat
b)
Membiasakan hidup yang selektif
c)
Sebagai sarana untuk berkomunikasi
dengan Allah SWT melalui sholat
d)
Sebagai sarana untuk menuju surga
e)
Menjadikan kita dicintai oleh Allah
SWT[4]
5.
Manfaat Thaharah
Untuk membersihkan badan, pakaian, dan tempat dari hadas dan najis ketika
hendak melaksanakan suatu ibadah.
a.
Dengan bersih badan dan pakaiannya,
seseorang tampak cerah dan enak dilihat oleh orang lain karena Allah Swt, juga
mencintai kesucian dan kebersihan.
b.
Menunjukan seseorang memiliki iman
yang tercermin dalam kehidupan sehari-hari-harinya karena kebersihan adalah
sebagian dari iman.
c.
Seseorang yang menjaga kebersihan,
baik badan, pakaian, ataupun tempat tidak mudah terjangkit penyakit.
d.
Seseorang yang selalu menjaga
kebersihan baik dirinya, rumahnya, maupun lingkungannya, maka ia menunjukan
cara hidup sehat dan disiplin.[5]
Para ulama
telah membagi air ini menjadi beberapa keadaan, terkait dengan hukumnya untuk
digunakan untuk bersuci. Kebanyakan yang kita dapat di dalam kitab fiqh, mereka membaginya menjadi 4 macam, yaitu :
Air mutlaq adalah keadaan air
yang belum mengalami proses apapun. Air itu masih asli, dalam arti belum
digunakan untuk bersuci, tidak tercampur benda suci atau pun benda najis. Air mutlaq ini hukumnya suci dan sah untuk
digunakan bersuci, yaitu untuk berwudhu’ dan mandi janabah. Air yang
suci itu banyak sekali, namun tidak semua air yang suci itu bisa digunakan
untuk mensucikan. Diantara air-air yang termasuk dalam kelompok suci dan
mensucikan ini antara lain adalah :
·
Air Hujan
·
Salju
·
Embun
·
Air Laut
·
Air Zam-zam
·
Air Sumur atau Mata Air
·
Air Sungai
Jenis yang kedua dari
pembagian air adalah air yang telah digunakan untuk bersuci. Baik air yang
menetes dari sisa bekas wudhu’ di tubuh seseorang, atau sisa juga air bekas
mandi janabah. Air bekas dipakai bersuci bisa saja kemudian masuk lagi ke dalam
penampungan. Para ulama seringkali menyebut air jenis ini air musta'mal.
Kata musta'mal berasal dari
dasar ista'mala - yasta'milu (استعمل - يستعمل) yang bermakna menggunakan. Maka air musta'mal
maksudnya adalah air yang sudah digunakan untuk melakukan thaharah, yaitu
berwudhu atau mandi janabah.
Air musta’mal berbeda
dengan air bekas mencuci tangan, atau membasuh muka atau bekas digunakan untuk
keperluan lain, selain untuk wudhu’ atau mandi janabah. Air sisa bekas cuci tangan, cuci muka, cuci kaki atau sisa mandi biasa yang
bukan mandi janabah, statusnya tetap air mutlak yang bersifat suci dan
mensucikan. Air itu tidak disebut sebagai air musta’mal, karena bukan
digunakan untuk wudhu atau mandi janabah. Perbedaan pendapat itu dipicu dari perbedaan nash dari Rasulullah SAW yang
kita terima dari Rasulullah SAW. Beberapa nash hadits itu antara lain :
Artinya: Dari Abi Hurairah ra berkata bahwa Rasulullah SAW
bersabda,”Janganlah sekali-kali seorang kamu mandi di air yang diam dalam
keadaan junub. (HR. Muslim)
”Janganlah
sekali-kali seorang kamu kencing di air yang diam tidak mengalir, kemudian dia
mandi di dalam air itu”. Riwayat Muslim,”Mandi dari air itu”. Dalam riwayat Abu
Daud,”Janganlah mandi janabah di dalam air itu. (HR.
Muslim)
Dari
seseorang yang menjadi shahabat nabi SAW berkata,”Rasululllah SAW melarang
seorang wanita mandi janabah dengan air bekar mandi janabah laki-laki. Dan
melarang laki-laki mandi janabah dengan air bekas mandi janabah perempuan.
Hendaklah mereka masing-masing menciduk air. (HR. Abu Daud dan An-Nasa’i)
Dari Ibnu
Abbas ra bahwa Nabi SAW pernah mandi dengan air bekas Maimunah ra. (HR. Muslim)
Riwayat
Ashhabussunan: ”Bahwasanya salah satu isteri Nabi telah mandi dalam satu ember
kemudian datang Nabi dan mandi dari padanya lalu berkata isterinya, ”saya tadi
mandi janabat, maka jawab Nabi SAW.: ”Sesungguhnya air tidak ikut berjanabat”.
Jenis air yang ketiga adalah
air yang tercampur dengan barang suci atau barang yang bukan najis.
Hukumnya tetap suci. Seperti air yang tercampur dengan sabun, kapur barus,
tepung dan lainnya. Selama nama air itu masih melekat padanya. Namun bila air
telah keluar dari karakternya sebagai air mutlak atau murni, air itu hukumnya
suci namun tidak mensucikan. Misalnya air dicampur dengan susu, meski air itu
suci dan susu juga benda suci, tetapi campuran antara air dan susu sudah
menghilangkan sifat utama air murni menjadi larutan susu. Air yang seperti ini
tidak lagi bisa dikatakan air mutlak, sehingga secara hukum tidak sah kalau
digunakan untuk berwudhu' atau mandi janabah. Meski pun masih tetap suci.
Air mutanajjis artinya adalah air yang tercampur dengan barang atau
benda yang najis. Air yang tercampur dengan benda najis itu bisa memiliki dua
kemungkinan hukum, bisa ikut menjadi najis juga atau bisa juga sebaliknya yaitu ikut tidak menjadi najis. Keduanya
tergantung dari apakah air itu mengalami perubahan atau tidak, setelah tercampur benda yang najis. Dan perubahan itu sangat erat kaitannya dengan
perbandingan jumlah air dan besarnya noda najis.
Pada air yang volumenya sedikit seperti air di dalam kolam kamar mandi,
secara logika bila kemasukan ke dalamnya bangkai anjing, kita akan mengatakan
bahwa air itu menjadi mutanajjis atau ikut menjadi najis juga. Karena
air itu sudah tercemar dengan perbandingan benda najis yang besar dan jumlah
volume air yang kecil.
Agar kita bisa menilai apakah air yang ke dalamnya kemasukan benda najis
itu ikut berubah menjadi najis atau tidak, maka para ulama membuat indikator,
yaitu rasa, warna atau aromanya.
დ
Berubah Rasa, Warna atau Aroma
Bila berubah
rasa, warna atau aromanya ketika sejumlah air terkena atau kemasukan barang
najis, maka hukum air itu iut menjadi najis juga. Hal ini disebutkan oleh Ibnul
Munzir dan Ibnul Mulaqqin.
დ
Tidak Berubah Rasa, Warna atau Aroma
Sebaliknya
bila ketiga krieteria di atas tidak berubah, maka hukum air itu suci dan
mensucikan. Baik air itu sedikit atau pun banyak.[6]
7.
Pengertian hadas dan najis
a. Hadas
Pengertian
Hadas:
Hadas menurut bahasa artinya berlaku atau terjadi. Menurut istilah, hadas
adalah sesuatu yang terjadi atau berlaku yang mengharuskan bersuci atau
membersihkan diri sehingga sah untuk melaksanakan ibadah.
Bermacam
hadas dan cara mensucikannya:
Menurut fiqih, hadas dibagi menjadi dua yaitu :
1)
Hadas kecil
Hadas kecil adalah adanya sesuatu yag terjadi dan mengharuskan seseorang
berwudu apabila hendak melaksanakan salat. Contoh hadas kecil adalah sebagai
berikut :
o Keluarnya
sesuatu dari kubul atau dubur.
o Tidur nyenyak
dalam kondisi tidak duduk.
o Menyentuh
kubul atau dubur dengan telapak tangan tanpa pembatas.
o Hilang akal
karena sakit atau mabuk.
2)
Hadas besar
Hadas besar adalah sesuatu yang keluar atau terjadi sehingga mewajibkan
mandi besar atau junub. Contoh-contoh terjadinya hadas besar adalah sebagai
berikut :
o Bersetubuh
(hubungan suami istri)
o Keluar mani,
baik karena mimpi maupun hal lain
o Keluar darah
haid
o Nifas
o Meninggal
dunia
2. Najis
Pengertian Najis:
Najis menurut bahasa adalah sesuatu yang kotor. Sedangkan menurut istilah
adalah sesuatu yang dipandang kotor atau menjijikkan yang harus disucikan,
karena menjadikan tidak sahnya melaksanakan suatu Macam-macam Najis dan Cara
Mensucikannya:
Berdasarkan berat dan ringannya, najis dibagi menjadi tiga macam. Najis
tersebut adalah Mukhafafah, Najis Mutawasitah, dan Najis Muqalazah.
-
Najis Mukhafafah
Najis mukhafafah adalah najis ringan. Yang tergolong
najis mukhafafah yaitu air kencing bayi laki-laki yang berumur tidak lebih dua
tahun dan belum makan apa-apa kecuali air susu ibunya. Cara mensucikan najis
mukhafafah cukup dengan mnegusapkan/ memercikkan air pada benda yang terkena
najis.
-
Najis Mutawasitah
Najis mutawasitah adalah najis sedang. Termasuk najis
mutawasitah antara lain air kencing, darah, nanah, tina dan kotoran hewan.
Najis mutawasitah terbagi menjadi dua bagian, yaitu :
დ
Najis hukmiah adalah najis yang
diyakini adanya, tetapi, zat, bau, warna dan rasanya tidak nyata. Misalnya air
kencing yang telah mengering. Cara mensucikannya cukup dengan mengalirkan air
pada benda yang terkena najis tersebut.
დ
Najis ainiyah adalah najis yang
nyata zat, warna, rasa dan baunya. Cara mensucikannya dengan menyirkan air
hingga hilang zat, warna, rasa dan baunya.
-
Najis Mugalazah
Najis mugalazah adalah najis berat, seperti najisnya
anjing dan babi. Adapun cara mensucikannya ialah dengan menyiramkan air suci
yang mensucikan air suci yang mensucikan (air mutlak) atau membasuh benda atau
tempat yang terkena najis sampai tujuh kali. Kali yang pertama dicampur dengan
tanah atau debu sehingga hilang zat, warna, rasa, dan baunya.
C.
Kesimpulan
Thaharah
memiliki pengertian secara umum yaitu mengangkat penghalang (kotoran) yang
timbul dari hadas dan najis yang meliputi badan, pakaian, tempat, dan benda-benda
yang terbawa di badan. Taharah merupakan anak kunci dan syarat sah salat. Hukum taharah ialah WAJIB di atas
tiap-tiap mukallaf lelaki dan perempuan.
Syarat wajib
melakukan thaharah yang paling utama
adalah beragama Islam dan sudah akil baligh. Sarana yang digunakan untuk
melakukan thaharah adalah air suci, tanah, debu serta benda-benda lain yang
diperbolehkan. Air digunakan untuk mandi dan berwudhu, debu dan tanah digunakan
untuk bertayamum jika tidak ditemukan air, sedangkan benda lain seperti batu,
kertas, tisur dapat digunakan untuk melakukan istinja’.
Thaharah
memiliki fungsi utama yaitu membiasakan hidup bersih dan sehat sebagaimana yang
diperintahkan agama. Thaharah juga merupakan sarana untuk berkomunikasi dengan
Allah Swt. Manfaat thaharah dalam kehidupan sehari-hari yaitu
membersihkan badan, pakaian, dan tempat dari hadas dan najis ketika hendak
melaksanakan suatu ibadah.
DAFTAR PUSTAKA
H. Moch. Anwar, Fiqih Islam Tarjamah Matan Taqrib, Bandung: PT
Alma’arif, 1987.
Syaikh Muhammad Nawawi al-Jawi, Fiqih Islam dan Tasawuf, Surabaya:
Mutiara Ilmu, 2013.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar