Minggu, 05 Juli 2015

KESULTHANAN-KESULTHANAN ISLAM MELAYU DI WILAYAH BARAT / Mairita fitri / makalah



KESULTHANAN-KESULTHANAN ISLAM MELAYU  DI WILAYAH BARAT

PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Kesultanan yang ada di wilayah barat meliputi kesultanan sambas, pontianak, kesutanan sulu, dan kesultanan ternate. Kesultanan sambas adalah kesultanan yang ada di wilayah pesisir utara Provinsi Kalimantan Barat atau wilayah barat laut Pulau Kalimantan dengan pusat pemerintahannya adalah di Kota Sambas sekarang. Kesultanan Sambas adalah penerus pemerintahan dari kerajaan-kerajaan Sambas sebelumnya. Dan Kesultanan Kadriyah Pontianak adalah sebuah kesultanan Melayu yang didirikan pada tahun 1771 oleh Sultan Syarif Abdurrahman Alkadrie, keturunan Rasulullah dari Imam Ali ar-Ridha[1] di daerah muara Sungai Kapuas. Ia melakukan dua pernikahan politik di Kalimantan, pertama dengan putri dari Kerajaan Mempawah dan kedua dengan putri dari Kesultanan Banjar (Ratu Syarif Abdul Rahman, putri dari Sultan Tamjidillah I). Setelah mereka mendapatkan tempat di Pontianak, kemudian mendirikan Istana Kadriyah dan mendapatkan pengesahan sebagai Sultan Pontianak dari Belanda pada tahun 1779. Begitu juga dengan Kesultanan Ternate atau juga dikenal dengan Kerajaan Gapi adalah salah satu dari 4 kerajaan Islam di Kepulauan Maluku dan merupakan salah satu kerajaan Islam tertua di Nusantara. Didirikan oleh Baab Mashur Malamo pada tahun 1257. Kesultanan Ternate memiliki peran penting di kawasan timur Nusantara antara abad ke-13 hingga abad ke-17. Kesultanan Ternate menikmati kegemilangan di paruh abad ke -16 berkat perdagangan rempah-rempah dan kekuatan militernya. Di masa jaya kekuasaannya membentang mencakup wilayah Maluku, Sulawesi bagian utara, timur dan tengah, bagian selatan kepulauan Filipina hingga sejauh Kepulauan Marshall di Pasifik.







PEMBAHASAN
Kesulthanan-Kesulthanan Islam Melayu di Wilayah Barat
1.      Kesulthanan Kadriyah Pontianak
Kesultanan Kadriyah Pontianak adalah sebuah kesultanan Melayu yang didirikan pada tahun 1771 oleh Sultan Syarif Abdurrahman Alkadrie. Seorang putra ulama keturunan Arab Hadramaut dari Kerajaan Mempawah, pada hari Rabu, 23 Oktober 1771 (14 Rajab 1185 H) yang ditandai dengan membuka hutan di persimpangan Sungai Landak, Sungai Kapuas Kecil, dan Sungai Kapuas Besar untuk mendirikan balai dan rumah sebagai tempat tinggal. Pada tahun 1778 (1192 H), Syarif Abdurrahman dikukuhkan menjadi Sultan Pontianak. Letak pusat pemerintahan ditandai dengan berdirinya Masjid Jami Pontianak (kini bernama Masjid Sultan Syarif Abdurrahman) dan Istana Kadariyah yang sekarang terletak di Kelurahan Dalam Bugis, Kecamatan Pontianak Timur, Kota Pontianak.
Pada tahun 1778, kolonialis Belanda dari Batavia memasuki Pontianak dengan dipimpin oleh Willem Ardinpalm. Belanda saat itu menempati daerah di seberang istana kesultanan yang kini dikenal dengan daerah Tanah Seribu atau Verkendepaal. Palm kemudian digantikan oleh Wolter Markus Stuart yang bertindak sebagai Resident van Borneo’s Wester Afdeling I (1779-1784) dengan kedudukan di Pontianak. Semula, Sultan Syarif Abdurrahman Alkadrie menolak tawaran kerjasama dengan negeri asing dari Eropa itu. Namun setelah utusan itu datang untuk kedua kalinya, Syarif menerima Belanda sebagai rekan persemakmuran dengan tangan terbuka.
Pada tahun 1808, Sultan Syarif Abdurrahman wafat. Dia dimakamkan di Batu Layang, Pontianak. Selanjutnya, Syarif Kasim Alkadrie (1808-1819) naik tahta menjadi Sultan Pontianak menggantikan ayahnya. Di bawah kekuasaan Sultan Syarif Kasim, Kesultanan Pontianak semakin mempererat kerjasama dengan Kerajaan Belanda dan kemudian Kerajaan Inggris sejak tahun 1811. Setelah Sultan Syarif Kasim wafat pada 25 Februari 1819, Syarif Usman Alkadrie (1819-1855) naik tahta sebagai Sultan Pontianak. Pada masa kekuasaan Sultan Syarif Usman, banyak kebijakan bermanfaat yang dikeluarkan olehnya, termasuk dengan meneruskan proyek pembangunan Masjid Jami’ pada 1821 dan perluasan Istana Kadriyah pada tahun 1855. Pada April 1855, Sultan Syarif Usman meletakkan jabatannya sebagai sultan dan kemudian wafat pada 1860.
Anak tertua Sultan Syarif Usman, Syarif Hamid Alkadrie (1855-1872), kemudian dinobatkan sebagai Sultan Pontianak pada 12 April 1855. Dan ketika Sultan Syarif Hamid wafat pada 1872, putra tertuanya, Syarif Yusuf Alkadrie (1872-1895) naik tahta sebagai beberapa bulan setelah ayahanya wafat. Sultan Syarif Yusuf dikenal sebagai satu-satunya sultan yang paling sedikit mencampuri urusan pemerintahan. Dia lebih aktif dalam bidang keagamaan, sekaligus merangkap sebagai penyebar agama Islam. Pemerintahan Sultan Syarif Yusuf berakhir pada 15 Maret 1895. Dia digantikan oleh putranya, Syarif Muhammad Alkadrie (1895-1944) yang dinobatkan sebagai Sultan Pontianak pada 6 Agustus 1895. Pada masa ini, hubungan kerjasama Kesultanan Pontianak dengan Belanda semakin erat dan kuat. Masa pemerintahan Sultan Syarif Muhammad merupakan masa pemerintahan terpanjang dalam sejarah Kesultanan Pontianak. Ia sangat berperan dalam mendorong terjadinya pembaruan dan moderenisasi di Pontianak. Dalam bidang sosial dan kebudayaan, dia adalah sultan Melayu di Kalimantan Barat yang pertama kali berpakaian kebesaran Eropa di samping pakaian Melayu, Teluk Belanga, sebagai pakaian resmi. Dia juga orang yang menyokong majunya bidang pendidikan serta kesehatan. Selain itu, ia juga mendorong masuknya modal swasta Eropa dan Cina, serta mendukung bangsa Melayu dan Cina mengembangkan perkebunan karet, kelapa, dan kopra serta industri minyak kelapa di Pontianak. Sementara dalam aspek politik, Sultan memfasilitasi berdiri dan berkembangnya organisasi-organisasi politik, baik yang dilakukan oleh kerabat kesultanan maupun tokoh-tokoh masyarakat.
2.      Kesulthanan Sambas
Kesultanan Sambas adalah kesultanan yang terletak di wilayah pesisir utara Provinsi Kalimantan Barat atau wilayah barat laut Pulau Kalimantan. Kesultanan Sambas adalah penerus pemerintahan dari kerajaan-kerajaan Sambas sebelumnya. Kerajaan yang bernama "Sambas" di wilayah ini paling tidak telah berdiri dan berkembang sebelum abad ke-14 M sebagaimana yang tercantum dalam Kitab Negarakertagama karya Mpu Prapanca.
Penduduk Sambas pada waktu itu mempunyai kepercayaan Hindu. Hindu sudah berkembang di Nusantara sejak berdirinya Kerajaan Kutai (era pemerintahan Mulawarman) sampai kepada Kesultanan Kutai Kartanegara. Wajar kalau pengaruhnya sampai ke wilatah Sambas. Jadi pada waktu itu belum ada istilah “Melayu atau Dayak”. Istilah atau penyebutan itu ada setelah masuknya Islam. Penduduk yang kemudian masuk Islam dinamakan "Melayu" dan penduduk yang masih menganut Hindu (Kaharingan) dinamakan "Dayak" (Dayak artinya "orang hulu", yakni orang yang tinggal di hulu sungai atau pedalaman). Disebut orang pedalaman atau hulu bukan karena mereka terdesak oleh masuknya Islam tapi karena memang mereka belum tersentuh oleh syiar Islam, disebabkan mereka tinggal jauh di pedalaman. Pada waktu itu Islam umumnya memang disyiarkan oleh pedagang-pedagan dari Gujarat, Hadramaut, dan dari Tiongkok. Pedagang-pedagang dan penjelajah lautan ini hanya singgah dan berdagang di daerah pesisir.
Selama masa berdirinya Pemerintahan Kesultanan Sambas dari tahun 1671 M hingga tahun 1950 M, selama masa itu Kepala Pemerintahan Kesultanan Sambas terdiri dari 15 orang Sultan dan 2 orang Ketua Majelis Kesultanan (Plt Sultan).
Kesultanan Sambas selama 100 tahun yaitu dari paruh pertama abad ke-18 hingga paruh pertama abad ke-19 M merupakan Kerajaan Terbesar di wilayah pesisir barat Pulau Kalimantan (Kalimantan Barat) hingga kemudian Hindia Belanda masuk pada awal abad ke-19 M. Pihak Hindia Belanda ini yang membuat besar Kesultanan Pontianak sehingga kemudian Kesultanan Pontianak menggantikan posisi Kesultanan Sambas sebagai kerajaan terbesar di wilayah ini.
3.      Kesulthanan Sulu
Kesultanan Sulu adalah sebuah kerajaan Muslim yang suatu masa dahulu pernah menguasai Laut Sulu di Filipina Selatan. Kerajaan ini didirikan pada tahun 1450. Ketika zaman kegemilangannya, negeri ini telah meluaskan sempadannya dari Mindanao sehingga ke bahagian timur Sabah. Pada tahun 1380, seorang ulama keturunan Arab, Karim ul-Makdum memperkenalkan Islam di Kepulauan Sulu. Kemudian pada tahun 1390, Raja Bagindo yang berasal dari Minangkabau meneruskan penyebaran Islam di wilayah ini. Hingga akhir hayatnya Raja Bagindo telah mengislamkan masyarakat Sulu sehingga ke Pulau Sibutu.
Sekitar tahun 1450, seorang Arab dari Johor yaitu Shari'ful Hashem Syed Abu Bakr tiba di Sulu. Beliau kemudian bernikah dengan Paramisuli, puteri Raja Bagindo. Setelah kematian Raja Bagindo, Abu Bakr melanjutkan pengislaman di wilayah ini. Pada tahun 1457, ia menubuhkan Kesultanan Sulu dan memakai gelaran "Paduka Maulana Mahasari Sharif Sultan Hashem Abu Bakr". Gelaran "Paduka" adalah gelaran tempatan yang bermaksud tuan manakala "Mahasari" bermaksud Yang Dipertuan.
Pada tahun 1703, Kesultanan Brunei memberikan Timur Sabah kepada Kesultanan Sulu atas bantuan mereka menumpaskan pemberontakkan di Brunei. Pada tahun yang sama, Kesultanan Sulu menganugerahkan Pulau Palawan kepada Sultan Qudarat dari Kesultanan Maguindanao sebagai hadiah perkahwinan Sultan Qudarat dengan puteri Sulu dan juga sebagai hadiah persekutuan Maguindanao dengan Sulu. Sultan Qudarat kemudiannya menyerahkan Palawan kepada Sepanyol.
4.      Kesulthanan Sintang
Pada saat itu kerajaan Sintang di pimpin oleh Sultan Abdurrahman Muhammad Jalaluddin biasa disebut Sultan Aman, beliau memerintah tahun 1150 sampai 1200 H. Raja ini sangat fanatik terhadap Islam. Pada masa Sultan Aman ini Kerajaan Sintang didatangi dua orang ulama dari Aceh bernama Penghulu Abbas dan Raja Dangki dari Negeri Pagaruyung. Penghulu Abbas kemudian diangkat menjadi Penghulu Muda kerajaan dan Raja Dangki diangkat menjadi panglima perang karena keahliannya dibidang pencak silat dan ilmu nujum. Karena semangatnya mendakwah Islam, Sultan Aman mengirim utusan untuk menyebarkan Islam di hulu Sungai Kapuas. Seperti yang telah dijelaskan diatas bahwa Sultan Aman juga memerangi orang-orang yang tidak mau masuk agama Islam.
5.      Kesultanan Ternate
Imperium nusantara timur yang dipimpin Ternate memang telah runtuh sejak pertengahan abad ke-17 namun pengaruh Ternate sebagai kerajaan dengan sejarah yang panjang masih terus terasa hingga berabad kemudian. Ternate memiliki andil yang sangat besar dalam kebudayaan nusantara bagian timur khususnya Sulawesi (utara dan pesisir timur) dan Maluku. Pengaruh itu mencakup agama, adat-istiadat dan bahasa.
Sebagai kerajaan pertama yang memeluk Islam, Ternate memiliki peran yang besar dalam upaya pengislaman dan pengenalan syariat-syariat Islam di wilayah timur nusantara dan bagian selatan Filipina. Bentuk organisasi kesultanan serta penerapan syariat Islam yang diperkenalkan pertama kali oleh Sultan Zainal Abidin menjadi standar yang diikuti semua kerajaan di Maluku hampir tanpa perubahan yang berarti.
Keberhasilan rakyat Ternate di bawah Sultan Baabullah dalam mengusir Portugal pada tahun 1575 merupakan kemenangan pertama pribumi nusantara atas kekuatan barat, oleh karenanya Buya Hamka bahkan memuji kemenangan rakyat Ternate ini telah menunda penjajahan barat atas bumi nusantara selama 100 tahun sekaligus memperkokoh kedudukan Islam, dan sekiranya rakyat Ternate gagal niscaya wilayah timur Indonesia akan menjadi pusat kristen seperti halnya Filipina.
Kedudukan Ternate sebagai kerajaan yang berpengaruh turut pula mengangkat derajat bahasa Ternate sebagai bahasa pergaulan di berbagai wilayah yang berada dibawah pengaruhnya. Prof E.K.W. Masinambow dalam tulisannya, "Bahasa Ternate dalam konteks bahasa-bahasa Austronesia dan Non Austronesia" mengemukakan bahwa bahasa Ternate memiliki dampak terbesar terhadap bahasa Melayu yang digunakan masyarakat timur Indonesia. Sebanyak 46% kosakata bahasa Melayu di Manado diambil dari bahasa Ternate. Bahasa Melayu Ternate ini kini digunakan luas di Indonesia Timur terutama Sulawesi Utara, pesisir timur Sulawesi Tengah dan Selatan, Maluku dan Papua dengan dialek yang berbeda–beda.
Dua naskah surat sultan Ternate, dari Sultan Abu Hayat II kepada Raja Portugal tanggal 27 April dan 8 November 1521 diakui sebagai naskah Melayu tertua di dunia setelah naskah Melayu Tanjung Tanah. Kedua surat Sultan Abu Hayat tersebut saat ini masih tersimpan di Museum Lisabon, Portugal
Tak ada sumber yang jelas mengenai kapan awal kedatangan Islam di Maluku Utara khususnya Ternate. Namun diperkirakan sejak awal berdirinya kerajaan Ternate masyarakat Ternate telah mengenal Islam mengingat banyaknya pedagang Arab yang telah bermukim di Ternate kala itu. Beberapa raja awal Ternate sudah menggunakan nama bernuansa Islam namun kepastian mereka maupun keluarga kerajaan memeluk Islam masih diperdebatkan. Hanya dapat dipastikan bahwa keluarga kerajaan Ternate resmi memeluk Islam pertengahan abad ke-15.
Kolano Marhum (1465-1486), penguasa Ternate ke-18 adalah raja pertama yang diketahui memeluk Islam bersama seluruh kerabat dan pejabat istana. Pengganti Kolano Marhum adalah puteranya, Zainal Abidin (1486-1500). Beberapa langkah yang diambil Sultan Zainal Abidin adalah meninggalkan gelar kolano dan menggantinya dengan sultan, Islam diakui sebagai agama resmi kerajaan, syariat Islam diberlakukan, dan membentuk lembaga kerajaan sesuai hukum Islam dengan melibatkan para ulama. Langkah-langkahnya ini kemudian diikuti kerajaan lain di Maluku secara total, hampir tanpa perubahan. Ia juga mendirikan madrasah yang pertama di Ternate. Sultan Zainal Abidin pernah memperdalam ajaran Islam dengan berguru pada Sunan Giri di pulau Jawa. Di sana beliau dikenal sebagai Sultan Bualawa (Sultan Cengkih).





PENUTUP

A.    Kesimpulan
Sejarah masuknya Islam di Kalimantan barat menurut pendapat yang dikemukakan oleh Sendam, “Islam Masuk di Kalimantan Barat yaitu sekitar abad ke 15 M, melalui perdagangan dan tidak melalui organisasi misi, tetapi merupakan kegiatan perorangan”. Ada dua proses berlangsungnya penyebaran Islam. Pertama penduduk pribumi berhubungan dengan agama Islam, kemudian menganutnya. Kedua, orang-orang asing Asia (Arab,India, Cina dan lain-lain) yang telah memeluk agama Islam dan bertempat tinggal secara permanen di suatu wilayah kemudian melakukan perkawinan campuran dan menjadi anggota masyarakat lainnya. Seperti pada kerajaan Tanjungpura, Sambas, Mempawah, Kubu, Pontianak dan lain sebagainya.











DAFTAR PUSTAKA

http://novalbunglon.blogspot.com/2013/12/makalah-perkembangan-islam-di-pulau.html

Tidak ada komentar:

Posting Komentar