KESULTHANAN-KESULTHANAN ISLAM MELAYU DI WILAYAH BARAT
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Kesultanan yang ada di wilayah barat meliputi kesultanan
sambas, pontianak, kesutanan sulu, dan kesultanan ternate. Kesultanan sambas
adalah kesultanan yang ada di wilayah pesisir utara Provinsi Kalimantan Barat atau wilayah
barat laut Pulau Kalimantan dengan pusat pemerintahannya
adalah di Kota Sambas
sekarang. Kesultanan Sambas adalah penerus pemerintahan dari kerajaan-kerajaan
Sambas sebelumnya. Dan Kesultanan
Kadriyah Pontianak adalah sebuah kesultanan
Melayu
yang didirikan pada tahun 1771 oleh Sultan Syarif Abdurrahman Alkadrie,
keturunan Rasulullah
dari Imam Ali
ar-Ridha[1]
di daerah muara Sungai Kapuas. Ia melakukan dua pernikahan
politik di Kalimantan,
pertama dengan putri dari Kerajaan
Mempawah dan kedua dengan putri dari Kesultanan
Banjar (Ratu Syarif Abdul Rahman, putri dari Sultan Tamjidillah I). Setelah mereka
mendapatkan tempat di Pontianak, kemudian mendirikan Istana Kadriyah dan mendapatkan
pengesahan sebagai Sultan Pontianak dari Belanda
pada tahun 1779.
Begitu juga dengan Kesultanan
Ternate atau juga dikenal dengan Kerajaan
Gapi adalah salah satu dari 4 kerajaan Islam di Kepulauan
Maluku dan merupakan salah satu kerajaan Islam tertua di Nusantara.
Didirikan oleh Baab Mashur Malamo pada tahun 1257. Kesultanan Ternate memiliki
peran penting di kawasan timur Nusantara antara abad ke-13 hingga abad ke-17.
Kesultanan Ternate menikmati kegemilangan di paruh abad ke -16 berkat perdagangan
rempah-rempah
dan kekuatan militernya. Di masa jaya kekuasaannya membentang mencakup wilayah Maluku, Sulawesi
bagian utara, timur dan tengah, bagian selatan kepulauan Filipina
hingga sejauh Kepulauan Marshall di Pasifik.
PEMBAHASAN
Kesulthanan-Kesulthanan
Islam Melayu di Wilayah Barat
1.
Kesulthanan
Kadriyah Pontianak
Kesultanan
Kadriyah Pontianak adalah sebuah kesultanan
Melayu
yang didirikan pada tahun 1771
oleh Sultan Syarif Abdurrahman Alkadrie.
Seorang putra ulama keturunan Arab
Hadramaut dari Kerajaan Mempawah,
pada hari Rabu, 23 Oktober
1771
(14 Rajab 1185 H) yang ditandai dengan membuka hutan di persimpangan Sungai
Landak, Sungai Kapuas Kecil, dan Sungai Kapuas Besar untuk mendirikan balai dan
rumah sebagai tempat tinggal. Pada tahun 1778
(1192 H), Syarif Abdurrahman dikukuhkan menjadi Sultan Pontianak.
Letak pusat pemerintahan ditandai dengan berdirinya Masjid Jami Pontianak
(kini bernama Masjid Sultan Syarif Abdurrahman) dan Istana Kadariyah yang
sekarang terletak di Kelurahan Dalam
Bugis, Kecamatan Pontianak
Timur, Kota Pontianak.
Pada tahun 1778,
kolonialis Belanda
dari Batavia
memasuki Pontianak dengan dipimpin oleh
Willem Ardinpalm. Belanda
saat itu menempati daerah di seberang istana kesultanan yang kini dikenal
dengan daerah Tanah Seribu atau Verkendepaal. Palm kemudian digantikan
oleh Wolter Markus Stuart yang bertindak sebagai Resident van Borneo’s
Wester Afdeling I (1779-1784)
dengan kedudukan di Pontianak.
Semula, Sultan Syarif Abdurrahman Alkadrie
menolak tawaran kerjasama dengan negeri asing dari Eropa
itu. Namun setelah utusan itu datang untuk kedua kalinya, Syarif menerima Belanda
sebagai rekan persemakmuran dengan tangan terbuka.
Pada tahun 1808,
Sultan Syarif Abdurrahman wafat. Dia dimakamkan di Batu Layang, Pontianak.
Selanjutnya, Syarif Kasim Alkadrie (1808-1819)
naik tahta menjadi Sultan Pontianak
menggantikan ayahnya. Di bawah kekuasaan Sultan Syarif Kasim, Kesultanan
Pontianak semakin mempererat kerjasama dengan Kerajaan Belanda
dan kemudian Kerajaan Inggris
sejak tahun 1811.
Setelah Sultan Syarif Kasim wafat pada 25 Februari
1819,
Syarif Usman Alkadrie (1819-1855)
naik tahta sebagai Sultan Pontianak.
Pada masa kekuasaan Sultan Syarif Usman, banyak kebijakan bermanfaat yang
dikeluarkan olehnya, termasuk dengan meneruskan proyek pembangunan Masjid Jami’
pada 1821
dan perluasan Istana Kadriyah pada tahun 1855.
Pada April
1855,
Sultan Syarif Usman meletakkan jabatannya sebagai sultan dan kemudian wafat
pada 1860.
Anak tertua Sultan Syarif Usman,
Syarif Hamid Alkadrie (1855-1872),
kemudian dinobatkan sebagai Sultan Pontianak
pada 12 April 1855.
Dan ketika Sultan Syarif Hamid wafat pada 1872,
putra tertuanya, Syarif Yusuf Alkadrie (1872-1895)
naik tahta sebagai beberapa bulan setelah ayahanya wafat. Sultan Syarif Yusuf
dikenal sebagai satu-satunya sultan yang paling sedikit mencampuri urusan
pemerintahan. Dia lebih aktif dalam bidang keagamaan, sekaligus merangkap
sebagai penyebar agama Islam.
Pemerintahan Sultan Syarif Yusuf berakhir pada 15 Maret
1895.
Dia digantikan oleh putranya, Syarif Muhammad Alkadrie (1895-1944)
yang dinobatkan sebagai Sultan Pontianak
pada 6 Agustus 1895.
Pada masa ini, hubungan kerjasama Kesultanan Pontianak dengan Belanda
semakin erat dan kuat. Masa pemerintahan Sultan Syarif Muhammad merupakan masa
pemerintahan terpanjang dalam sejarah Kesultanan Pontianak. Ia sangat berperan
dalam mendorong terjadinya pembaruan dan moderenisasi di Pontianak.
Dalam bidang sosial
dan kebudayaan, dia adalah sultan Melayu
di Kalimantan Barat
yang pertama kali berpakaian kebesaran Eropa
di samping pakaian Melayu,
Teluk Belanga, sebagai pakaian resmi. Dia juga orang yang menyokong
majunya bidang pendidikan serta kesehatan. Selain itu, ia juga mendorong
masuknya modal swasta
Eropa
dan Cina,
serta mendukung bangsa Melayu
dan Cina
mengembangkan perkebunan karet, kelapa, dan kopra serta industri minyak kelapa
di Pontianak. Sementara dalam aspek
politik,
Sultan memfasilitasi berdiri dan berkembangnya organisasi-organisasi
politik,
baik yang dilakukan oleh kerabat kesultanan maupun tokoh-tokoh masyarakat.
2.
Kesulthanan
Sambas
Kesultanan Sambas adalah
kesultanan yang terletak di wilayah pesisir utara Provinsi Kalimantan Barat atau wilayah barat laut Pulau Kalimantan. Kesultanan Sambas adalah penerus pemerintahan dari
kerajaan-kerajaan Sambas sebelumnya. Kerajaan yang bernama "Sambas"
di wilayah ini paling tidak telah berdiri dan berkembang sebelum abad ke-14 M
sebagaimana yang tercantum dalam Kitab Negarakertagama karya Mpu
Prapanca.
Penduduk Sambas pada waktu itu
mempunyai kepercayaan Hindu.
Hindu sudah berkembang di Nusantara
sejak berdirinya Kerajaan Kutai
(era pemerintahan Mulawarman)
sampai kepada Kesultanan Kutai Kartanegara.
Wajar kalau pengaruhnya sampai ke wilatah Sambas. Jadi pada waktu itu belum ada
istilah “Melayu
atau Dayak”.
Istilah atau penyebutan itu ada setelah masuknya Islam.
Penduduk yang kemudian masuk Islam dinamakan "Melayu"
dan penduduk yang masih menganut Hindu
(Kaharingan) dinamakan "Dayak"
(Dayak artinya "orang hulu", yakni orang yang tinggal di hulu sungai
atau pedalaman). Disebut orang pedalaman atau hulu bukan karena mereka terdesak
oleh masuknya Islam tapi karena memang mereka belum tersentuh oleh syiar Islam,
disebabkan mereka tinggal jauh di pedalaman. Pada waktu itu Islam umumnya
memang disyiarkan oleh pedagang-pedagan dari Gujarat,
Hadramaut, dan dari Tiongkok.
Pedagang-pedagang dan penjelajah lautan ini hanya singgah dan berdagang di
daerah pesisir.
Selama masa berdirinya Pemerintahan
Kesultanan Sambas dari tahun 1671 M hingga tahun 1950 M, selama masa itu Kepala
Pemerintahan Kesultanan Sambas terdiri dari 15 orang Sultan dan 2 orang Ketua
Majelis Kesultanan (Plt Sultan).
Kesultanan Sambas selama 100 tahun
yaitu dari paruh pertama abad ke-18 hingga paruh pertama abad ke-19 M merupakan Kerajaan Terbesar di
wilayah pesisir barat Pulau Kalimantan (Kalimantan Barat)
hingga kemudian Hindia Belanda masuk
pada awal abad ke-19 M. Pihak Hindia Belanda ini yang membuat besar Kesultanan Pontianak sehingga
kemudian Kesultanan Pontianak menggantikan posisi Kesultanan Sambas sebagai
kerajaan terbesar di wilayah ini.
3.
Kesulthanan
Sulu
Kesultanan Sulu adalah
sebuah kerajaan Muslim yang suatu masa dahulu pernah menguasai Laut Sulu di Filipina Selatan. Kerajaan ini didirikan pada tahun 1450. Ketika zaman kegemilangannya, negeri ini telah meluaskan
sempadannya dari Mindanao sehingga ke bahagian timur Sabah.
Pada tahun 1380, seorang ulama keturunan Arab, Karim
ul-Makdum memperkenalkan Islam di Kepulauan Sulu. Kemudian pada tahun 1390,
Raja Bagindo yang berasal dari Minangkabau meneruskan
penyebaran Islam di wilayah ini. Hingga akhir hayatnya Raja Bagindo telah
mengislamkan masyarakat Sulu sehingga ke Pulau Sibutu.
Sekitar tahun 1450, seorang Arab
dari Johor yaitu
Shari'ful Hashem Syed Abu Bakr tiba di Sulu.
Beliau kemudian bernikah dengan Paramisuli, puteri Raja Bagindo. Setelah
kematian Raja Bagindo, Abu Bakr melanjutkan pengislaman di wilayah ini. Pada
tahun 1457, ia menubuhkan Kesultanan Sulu dan memakai gelaran "Paduka
Maulana Mahasari Sharif Sultan Hashem Abu Bakr". Gelaran
"Paduka" adalah gelaran tempatan yang bermaksud tuan manakala "Mahasari"
bermaksud Yang Dipertuan.
Pada tahun 1703, Kesultanan Brunei memberikan
Timur Sabah kepada Kesultanan Sulu atas bantuan mereka menumpaskan
pemberontakkan di Brunei. Pada tahun yang sama, Kesultanan Sulu menganugerahkan
Pulau Palawan kepada
Sultan Qudarat dari Kesultanan Maguindanao sebagai
hadiah perkahwinan Sultan Qudarat dengan puteri Sulu dan juga sebagai hadiah
persekutuan Maguindanao dengan Sulu. Sultan Qudarat kemudiannya menyerahkan
Palawan kepada Sepanyol.
4.
Kesulthanan Sintang
Pada saat itu
kerajaan Sintang di pimpin oleh Sultan Abdurrahman Muhammad Jalaluddin biasa
disebut Sultan Aman, beliau memerintah tahun 1150 sampai 1200 H. Raja ini
sangat fanatik terhadap Islam. Pada masa Sultan Aman ini Kerajaan Sintang
didatangi dua orang ulama dari Aceh bernama Penghulu Abbas dan Raja Dangki dari
Negeri Pagaruyung. Penghulu Abbas kemudian diangkat menjadi Penghulu Muda
kerajaan dan Raja Dangki diangkat menjadi panglima perang karena keahliannya
dibidang pencak silat dan ilmu nujum. Karena semangatnya mendakwah Islam,
Sultan Aman mengirim utusan untuk menyebarkan Islam di hulu Sungai Kapuas.
Seperti yang telah dijelaskan diatas bahwa Sultan Aman juga memerangi
orang-orang yang tidak mau masuk agama Islam.
5.
Kesultanan Ternate
Imperium nusantara timur yang dipimpin
Ternate memang telah runtuh sejak pertengahan abad ke-17 namun pengaruh Ternate
sebagai kerajaan dengan sejarah yang panjang masih terus terasa hingga berabad
kemudian. Ternate memiliki andil yang sangat besar dalam kebudayaan nusantara
bagian timur khususnya Sulawesi
(utara dan pesisir timur) dan Maluku. Pengaruh itu mencakup agama,
adat-istiadat dan bahasa.
Sebagai kerajaan pertama yang
memeluk Islam, Ternate memiliki peran yang besar dalam upaya pengislaman dan
pengenalan syariat-syariat Islam di wilayah timur nusantara dan bagian selatan
Filipina. Bentuk organisasi kesultanan serta penerapan syariat Islam yang
diperkenalkan pertama kali oleh Sultan Zainal Abidin menjadi standar yang
diikuti semua kerajaan di Maluku hampir tanpa perubahan yang berarti.
Keberhasilan rakyat Ternate di
bawah Sultan Baabullah dalam mengusir Portugal pada tahun 1575 merupakan
kemenangan pertama pribumi nusantara atas kekuatan barat, oleh karenanya Buya Hamka
bahkan memuji kemenangan rakyat Ternate ini telah menunda penjajahan barat atas
bumi nusantara selama 100 tahun sekaligus memperkokoh kedudukan Islam, dan
sekiranya rakyat Ternate gagal niscaya wilayah timur Indonesia akan menjadi
pusat kristen seperti halnya Filipina.
Kedudukan Ternate sebagai kerajaan
yang berpengaruh turut pula mengangkat derajat bahasa Ternate
sebagai bahasa pergaulan di berbagai wilayah yang berada dibawah pengaruhnya.
Prof E.K.W. Masinambow dalam tulisannya, "Bahasa Ternate dalam konteks
bahasa-bahasa Austronesia dan Non Austronesia" mengemukakan bahwa bahasa
Ternate memiliki dampak terbesar terhadap bahasa Melayu yang digunakan
masyarakat timur Indonesia. Sebanyak 46% kosakata bahasa Melayu di Manado
diambil dari bahasa Ternate. Bahasa Melayu Ternate
ini kini digunakan luas di Indonesia Timur terutama Sulawesi Utara, pesisir
timur Sulawesi Tengah dan Selatan, Maluku dan Papua dengan dialek yang
berbeda–beda.
Dua naskah surat sultan Ternate,
dari Sultan Abu Hayat II kepada Raja Portugal tanggal 27 April dan 8 November
1521 diakui sebagai naskah Melayu tertua di dunia setelah naskah Melayu Tanjung Tanah.
Kedua surat Sultan Abu Hayat tersebut saat ini masih tersimpan di Museum Lisabon,
Portugal
Tak ada sumber yang jelas mengenai
kapan awal kedatangan Islam di Maluku Utara
khususnya Ternate. Namun diperkirakan sejak awal berdirinya kerajaan Ternate
masyarakat Ternate telah mengenal Islam mengingat banyaknya pedagang Arab
yang telah bermukim di Ternate kala itu. Beberapa raja awal Ternate sudah
menggunakan nama bernuansa Islam namun kepastian mereka maupun keluarga
kerajaan memeluk Islam masih diperdebatkan. Hanya dapat dipastikan bahwa
keluarga kerajaan Ternate resmi memeluk Islam pertengahan abad ke-15.
Kolano Marhum
(1465-1486), penguasa Ternate ke-18 adalah raja pertama yang diketahui memeluk
Islam bersama seluruh kerabat dan pejabat istana. Pengganti Kolano Marhum
adalah puteranya, Zainal Abidin (1486-1500). Beberapa langkah yang diambil
Sultan Zainal Abidin adalah meninggalkan gelar kolano
dan menggantinya dengan sultan,
Islam diakui sebagai agama
resmi kerajaan, syariat Islam diberlakukan, dan membentuk lembaga kerajaan
sesuai hukum Islam dengan melibatkan para ulama. Langkah-langkahnya ini
kemudian diikuti kerajaan lain di Maluku secara total, hampir tanpa perubahan.
Ia juga mendirikan madrasah yang pertama di Ternate. Sultan Zainal Abidin
pernah memperdalam ajaran Islam dengan berguru pada Sunan Giri
di pulau Jawa.
Di sana beliau dikenal sebagai Sultan Bualawa (Sultan Cengkih).
PENUTUP
A. Kesimpulan
Sejarah masuknya Islam di Kalimantan barat menurut pendapat yang dikemukakan oleh Sendam, “Islam Masuk
di Kalimantan Barat yaitu sekitar abad ke 15 M, melalui perdagangan dan
tidak melalui organisasi misi, tetapi merupakan kegiatan perorangan”. Ada
dua proses berlangsungnya penyebaran Islam. Pertama penduduk pribumi
berhubungan dengan agama Islam, kemudian menganutnya. Kedua, orang-orang asing
Asia (Arab,India, Cina dan lain-lain) yang telah memeluk agama Islam dan
bertempat tinggal secara permanen di suatu wilayah kemudian melakukan
perkawinan campuran dan menjadi anggota masyarakat lainnya. Seperti pada
kerajaan Tanjungpura, Sambas, Mempawah, Kubu, Pontianak dan lain
sebagainya.
DAFTAR PUSTAKA
http://novalbunglon.blogspot.com/2013/12/makalah-perkembangan-islam-di-pulau.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar