SISTEM TULISAN
DAN ILMU PENGETAHUAN MELAYU
A.
Pendahuluan
Disamping
bahasa, Tulisan merupakan sebuah alat komunikasi manusia dari zaman dahulu sampai sekarang ini.
Setiap kelompok manusia pada umumnya memeliki aksara sendiri. Tulisan yang ada
pada zaman sekarang ini berasal dari rumpun tulisan.
Keberadaan
tulisan dalam masyarakat sangat berperan penting. Dengan tulisan ini, manusia
mampu berkomunikasi meski memakan jarak yang cukup jauh. Di nusantara tulisan
yang berkembang ialah tulisan arabmelayu. Tulisan arab melayu adalah tulisan Arab yang
diadaptasikan oleh bahasa Melayu untuk
pengejaannya seperti yang kita pahami sekarang ini. Artinya huruf yang dipakai
adalah huruf-huruf Arab dengan bahasa Melayu, atau dengan ejaan Melayu. Di tempat lain tulisan Melayu ini disebut dengan Arab Jawi atau
sejenisnya.
Indonesia memiliki beraneka ragam bahasa daerah, masing-masing memiliki
aturan penulisan sendiri menggunakan aksara tradisionalnya yang khas. Apresiasi
terhadap berbagai aksara tradisional ini masih tampak misalnya dari mata
pelajaran bahasa daerah di tiap daerah. Penggunaan aksara-aksara tradisional
ini di berbagai sudut kota juga merupakan bukti bahwa, walaupun aksara ini
telah hampir sepenuhnya tergantikan oleh aksara latin, sebenarnya bangsa kita
masih cinta dan bangga atas kekayaan negeri kita yang satu ini.
B.
Awal Keberadaan Tulisan Arab Melayu
Tulisan Jawi telah lama ada dalam khasanah
kebudayaan melayu yang diperkirakan sekitar abad ke 10 Masehi atau 3 Hijrah
hingga kemasa kini dan ia berasal daripada tulisan Arab.
Tulisan inilah yang membangun kebudayaan melayu dan tulisan ini jugalah yang
kemudian mengantarkan menuju bahasa Melayu yang kemudian berkembang menjadi
Bahasa Indonesia setelah dikokohkan oleh para pemuda Indonesia dalam sumpah
pemuda. Keberadaan tulisan arab melayu di Nusantara identik dengan
penyebaran islam ke daerah melayu.[1]
Masa sejak awal abad ke-13 M sampai
penghujung abad ke-15 M dalam khazanah kesusastraan melayu disebut masa
peralihan,yaitu masa peralihan dari peradaban Hindu ke peradaban Islam. Dengan
masuknya peradaban Islam,orang melayu mulai mengenal tradisi tulis. Sebelumnya,
mereka hanya memiliki tradisi lisan. Aksara Jawi sudah wujud dan digunakan di
wilayah Sumatra dan Semenanjung Malaya jauh
sebelum orang atau pulau Jawa memeluk agama Islam (883 H/1468 M).
Bukti historis bahwa adanya tulisan jawi dalam kebudayaan Melayu lama dapat
dilihat pada bahan-bahan bertulis seperti : batu bersurat, manuskrip lama,
kertas lama, majalah, batu nisan, bahan-bahan yang dibuat daripada logam,
kulit, alat senjata, batu lontar, tembikar dan sejenisnya, ukiran-ukiran pada
masjid, rumah, dan istana, azimat, rajah atau penangkal.
Penemuan pertama batu nisan yang tertulis dalam bahasa Arab di Sumatera
bertarikh 55 Hijrah atau setara dengan 674 M. Selain itu juga ditemukan di
Kedah bertarikh 290 Hijrah. Kedua hal ini jelas telah menunjukkan bahwa tulisan
Jawi berasal dari orang Arab yang kemudian telah disesuaikan dengan menambahkan
beberapa huruf tambahan kepada huruf Arab untuk menyesuaikannya dengan gaya
bahasa orang Melayu. Penambahan ini lebih kepada melengkapi ejaan yang tidak
ada dalam bahasa Arab tetapi ditemui dalam bahasa Melayu.
Manuskrip Islam tertua di kepulauan
Nusantara ditemukan di Terengganu, Malaysia.
Manuskrip ini bernama Batu Bersurat yang dibuat tahun 1303 (abad 14). Tulisan
ini menyatakan tentang penyebaran dan para pemeluk Islam pada saat itu.
Manuskrip ini sudah diteliti oleh oleh ahli-ahli Sejarah dan Arkeolog Islam di
Malaysia seperti Prof Naquib Alatas dan lainnya, semua menyimpulkan manuskrip
ini sebagai yang tertua di Asia Tenggara. Yang kedua,
masih di abad 14, pada tahun 1310, ditemukan syair tentang keislaman yang
ditulis dalam bahasa Melayu dengan huruf Jawi di Minya’ Tujoh, Aceh. Karenanya
para pakar sepakat bahwa perkembangan karya ulama yang ditulis dengan huruf
Jawi sudah berkembang pada Abad 14 pada massa Kekhalifahan Samudra Pasai dan
Kekhalifahan Islam lain di Semenanjung Malaka.[2]
C.
Keberadaan Tulisan Arab Melayu pada Abad Pertengahan
Tulisan arab melayu pada abad
pertengahan merupakan tulisan pemerintahan atau tulisan resmi bagi raja-raja
keturunan melayu yang berada di daerah nusantara. Contohnya Sultan pertama Sulu
(Paduka Mahasari Maulana al-Sultan Sharif
ul-Hashim) yang memerintah tahun 1450 – 1480 adalah berasal dari Sumatra.
Sultan ini menikah dengan putri Rajah Baguinda yang berasal dari Minangkabau
('Menangkabaw' dalam istilah di Mindanao). Dalam acara pelamarannya Paduka
Mahasari Maulana al-Sultan Sharif ul-Hashim membuat lamaran dengan tulisan arab
melayu untuk di sampaikan kepada Rajah Baguinda.
Aksara yang digunakan di Mindanao
dan Sulu sebelum datangnya pengaruh kolonial Spanyol adalah dalam huruf Yawi
(Arab Melayu). Buku-buku agama ketika itu adalah dalam huruf Yawi, sama halnya
dengan tradisi penulisan di Thailand Selatan
(Patani) dan juga di kesultanan-kesultanan Islam di Indonesia masa silam.
Pada usai yang lebih muda pada abad
16–17, di daerah lain juga ditemukan mansukrip seperti, Hikayat Raja-Raja
Pasai, Hikayat Melayu, Hikayat Aceh, Hikayat Hasanuddin, Babat Tana Jawi, Babad
Cirebon, Babat Banten, Carita Purwaka Caruban Nagari.
Di Nusa Tenggara ditemukan Syair Kerajaan Bima,
Bo’Sangaji Kai Catatan Kerajaan Bima. Dari Maluku ada Hikayat Hitu. Di Sulawesi
ada Hikayat Goa, Hikayat Wajo dan lainnya.
Di Aceh, pada abad 16–17 terdapat
cukup banyak penulis manuskrip. Misalnya, Hamzah Fansuri, yang dikenal sebagai
tokoh sufi ternama pada masanya. Kemudian ada Syekh Nuruddin ar-Raniri alias Syeikh Nuruddin Muhammad ibnu 'Ali ibnu Hasanji ibnu
Muhammad Hamid ar-Raniri al-Quraisyi. Ia dikenal sebagai ulama yang juga
bertugas menjadi Qadhi al-Malik al-Adil dan Mufti Muaddam di Kesultanan Aceh
pada kepemimpinan Sultan Iskandar Tsani abad 16. Salah satu karyanya yang
terkenal berjudul ”Bustanul Salatin.” Syeikh Abdul Rauf
al-Singkili yang juga ditetapkan sebagai Mufti dan Qadhi Malik al-Adil di
Kesultanan Aceh selama periode empat orang ratu, juga banyak menulis
naskah-naskah keislaman.
Pada tahun 1812 (sekitar 100 tahun
sebelum kajian Shellabear), Marsden telah
memperkatakan keberadaan aksara Arab Melayu dalam bukunya A Grammar of the
Malayan Language. R.O. Winstedt (1913) juga
mengulas tentang system ejaan Arab Melayu dalam bukunya Malay Grammar.
Sedangkan di kalangan orang Melayu, Raja Ali Haji
diakui sebagai tokoh yang mula-mula sekali memperkatakan system ejaan Arab
Melayu seperti yang tercatat dalam bukunya Bustan al-Katibin, diteruskan oleh
Muhammad Ibrahim (anak Abdullah Munsyi).
Kontinuitas kultural Jawa tertanam
sebagai dasar legitimasi Keraton Palembang. Budayawan Palembang Djohan Hanafiah
mencatat, keterkaitan politik ini berakhir setelah Sultan Abdurrahman
(1659-1706) memproklamasikan Kesultanan Palembang Darussalam pada tahun 1675.
Jeroen Peeters dalam Kaum Tuo Kaum
Mudo, Perubahan Religius di Palembang 1821 -1942 (1997) memaparkan, di kalangan
keraton, bahasa Jawa kromo (bahasa Jawa halus) menjadi bahasa resmi. Akan
tetapi, pemakaian bahasa ini tidak tersebar luas di luar lingkungan Keraton
Palembang.
Merujuk pada sejumlah naskah
berbahasa Jawa yang tersimpan di Royal Asiatic Society, London, Peeters
meyakini, naskah-naskah tersebut juga hanya beredar di lingkungan keraton.
Beberapa koleksi naskah berbahasa Jawa ini antara lain teks Panji (1801) yang
ditulis atas perintah Sultan Ahmad Najamuddin.
Selain didampingi ulama, sultan juga
memiliki juru tulis khusus untuk penulisan bahasa Arab. Bahasa dan tulisan Arab
digunakan dalam kitab-kitab utama pengajaran Islam di Palembang, termasuk
naskah yang berkaitan dengan tasawuf dan tafsir.
Sebagian naskah-naskah keagamaan
yang ditemukan, merupakan kitab yang langsung dibawa dari Arab. Sebagian
lainnya disalin ulang dengan ketelitian yang tinggi di Palembang.
Akan tetapi, seperti bahasa Jawa
kromo yang hanya dikuasai oleh kalangan bangsawan, bahasa Arab juga lebih
dikuasai para guru atau kalangan ulama. Sejumlah naskah keagamaan menggunakan
bahasa Arab dilengkapi terjemahan bahasa Melayu, walaupun tetap ditulis dengan
huruf Arab.
Naskah-naskah sastra, antara lain
hikayat yang berbentuk prosa maupun syair, serta berbagai kisah dalam
naskah-naskah pada masa kesultanan lebih banyak ditulis dengan tulisan Arab
dalam bahasa Melayu (Arab Melayu). Kegiatan surat- menyurat, antara lain dari
sultan kepada Gubernur Batavia juga ditemukan dalam basa Arab Melayu.[3]
D.
Keberadaan Tulisan Arab Melayu pada zaman Modern
Di perpustakaan Bodleian Oxford,
British Museum, British Library, dan perpustakaan University of London.Menurut
Rusdi, Ketua Yayasan Ikatan Guru Pengajian Al-Qur’an (IGPA) Kalbar, tulisan
armel mulai menghilang sejak masuknya pengaruh Partai Komunis Indonesia
(Penggunaan tulisan Arab Melayu (Armel) atau Tulisan Jawi (Tulwi)di Indonesia
sekarang bisa dikatakan sudah hampir punah. Kalau pun dipelajari pada Pondok
Pesantren, lebih mengutamakan tulisan Arab gondol/Kitab Kuning. Demikian
kondisinya juga pada sekolah-sekolah umum, tidak pernah lagi diajarkan kepada
murid.
Seiring
dengan perkembangan zaman, lambat-laun tulisan ini ditinggalkan masyarakat.
Bukan berarti model tulisan ini tidak bisa mengikuti perkembangan zaman, tidak
sama sekali, namun yang menyebabkan Ia ditinggalkan karena kebijakan dari
pemerintah kita sendiri.
Salah satu contohnya, pada tahun
70-an hingga 80-an pemerintah menggalakkan program penuntasan buta aksara.
Seluruh masyarakat diajarkan membaca latin. Jika saja ada yang tidak bisa
membaca tulisan latin, maka mereka dicap sebagai buta aksara, sekalipun Ia
mampu dan lancar menulis dan membaca Arab Melayu. Artinya pada masa itu
pemerintah tidak mengakui Arab Melayu yang telah melekat di tengah masyarakat
kita.
Sementara itu, penulisan armel di negara
tetangga seperti Malaysia dan Brunei Darussalam telah mengakar kuat di
masyarakatnya. Penulisan Armel dan cara membacanya, menjadi mata pelajaran
wajib bagi siswa di bangku sekolah di kedua negara tersebut.
Berdasarkan catatan Prof. Dr Kang
Kyoung Seok, Peneliti tulisan Armel/Tulwi asal Busan, Korea,
universitas-universitas di luar masyarakat Melayu juga mengajarkan tulisan
Armel kepada mahasiswanya. Seperti yang diajarkan di Hankook University of
Foreign Studies Korea, mereka bahkan mendatangkan tenaga pengajar khusus dari
Malaysia untuk memberikan mata kuliah tulisan armel.
Amerika Serikat (Cornell Unversity),
Jepang (Tokyo University of Foreign Studies), Inggris (University of London),
Belanda (University of Leiden), Jerman (University of Hamburg), hingga Rusia
(University of Leningrad), merupakan negara-negara lainnya di luar masyarakat
Melayu, yang pernah dan masih mengajarkan tulisan armel kepada mahasiswanya.
Bahkan, manuskrip-manuskrip Armel/Tulwi banyak disimpan di negara Inggris,
antara lain tahun 1964/1965 ). Sejak itu pula, pelajaran armel di
sekolah-sekolah ditiadakan. Kecuali di Sumatra.
E.
Sistem Tulisan dan Ejaan Bahasa Melayu Kuno
1.
Tulisan Palava
Keempat-empat
buah batu bersurat pada abad ketujuh menggunakan tulisan Palava ( sejenis
tulisan India Selatan Purba bagi penyebaran agama Hindu )
a)
Batu Bersurat
Kedukan Bukit (Palembang), bertarikh 605 Tahun Saka, bersamaan dengan 683 M
(Masihi).
b)
Batu Bersurat
Talang Tuwo (Palembang), bertarikh 606 Tahun Saka, bersamaan dengan 684 M.
c)
Batu Bersurat
Kota Kapur (Pulau Bangka), bertarikh 608 Tahun Saka, bersamaan dengan 686 M.
d)
Batu Bersurat
Karang Brahi (Hulu Jambi), bertarikh 614 Tahun Saka, bersamaan dengan 692 M.
2.
Tulisan Kawi
Tulisan
Kawi ini digunakan pada batu bersurat di Joreng (1179M) dan Padang Lawas
(1213M) yang terletak di Tapanuli, Sumatera Utara. Kawi berasal dari pada
perkataan Sanskrit kavi =penyair. Tulisan ini berbentuk kursif pada
peringkat awalnya ditulis pada daun lontar.
Petikan teks Batu Bersurat Kedukan Bukit
Swasti sri
sakawarsatita
605 ekadasi su
klapaksa wulan
waisakha daputa
hyang nayik di
samwau mangalap
siddhayatra
di saptami
suklapaksa
wulan jyestha
dapunta hyang marlapas
dari minanga
Tamwan
mamawa yang
wala dualaksa
ko dua ratus
cara di samwau
dangan jalan
sariwu tluratus sapuluh dua wanakna
datang di mataa
jap sukhacitta
di pancami
suklapaksa wula[n] asada
laghu mudita
datang
marwuat vanua
... sriwijaya
jaya
siddhayatra subhika ...
Transliterasi BM Kuno-BM Moden
wulan = bulan
nayik = naik
samwau = sampau = sampan (maksudnya
perahu yang besar)
mangalap = mengambil (maksudnya
mencari)
marlapas = berlepas
mamawa = membawa
wala = bala = balatentera
laksa = (menyatakan jumlah yang
tidak terkira banyaknya)
dangan = dengan
sariwu = seribu
tlu = telu = tiga
sapuluh dua = sepuluh dua = dua
belas
wanakna = banyaknya
sukhacitta = sukacita
marwuat = berbuat
wanua = benua = negeri
ko = ke
F.
Sikap Kebudayaan
Melayu Terhadap Perkembangan Ilmu Pengetahuan
Budaya Melayu umumnya, khasnya Melayu Riau, adalah budaya
yang terbuka. Keterbukaan itulah yang menyebabkan kebudayaan Melayu menjadi
majemuk dengan masyarakatnya yang majemuk pula. Kemajemukan inilah sebagai
salah satu khasanah budaya Melayu yang tangguh, serta sarat dengan keberagaman.
Karenanya, orang mengatakan bahwa budaya Melayu bagaikan pelangi atau taman
bunga yang penuh warna warni, indah dan memukau. Salah satu khasanah budaya
Melayu yang paling sarat dengan nilai-nilai utama sebagai “jatidiri” kemelayuan
itu adalah adat istiadatnya atau dikatakan “adat resam”.
Melalui proses keterbukaan itu pula adat resam Melayu
menjadi kaya dengan variasi, sarat dengan simbol (lambang) dan falsafah.
Kekayaan khasanah nilai itu dapat disimak antara lain dari keberagaman alat dan
kelengkapan upacara adat, dari alat dan kelengkapan pakaian pakaian adat, dari
bentuk dan ragam hias rumah, dari alat dan kelengkapan ruamh tangga, dari
upacara-upacara adat dan tradisi, dari ungkapan-ungkapan adat (pepatah petitih,
bidal, ibarat, perumpamaan, pantun, gurindam, seloka, syair dll), yang mereka
warisi turun temurun. Karenanya, tidaklah berlebihan bila ada yang berpendapat,
bahwa khasana budaya Melayu merupakan “ samudera budaya dunia”, sebab di dalam
budaya Melayu memang terdapat berbagai unsur budaya dunia. Dengan sifat
keterbukaan itu pula budaya Melayu mampu menyerap beragam unsur budaya luar,
sehingga memperkaya khasanah budaya Melayu itu sendiri.
Dari sisi lain, keterbukaan budaya
Melayu tidaklah bermakna “terdedah tanpa penapis”, sebab adat istiadat Melayu
menjadi salah satu penapis utama dari masuknya unsur-unsur negatif budaya luar.
Nilai-nilai adat yang Islami itulah yang senantiasa menyaring dan memilah
setiap unsur budaya luar yang masuk. Unsur yang baik mereka serap dengan
kearifan yang tinggi, sedangkan yang buruk merka buang dan jauhkan.[4]
G. Kesimpulan
Sejarah tidak terpisah dari budaya atau kebudayaan (cultural
historiography). Kebudayaan diartikan sebagai hasil karya dan karsa
manusia, baik dalam bentuk materil, buah pikiran maupun corak hidup manusia.
Menurut EB. Taylor kebudayaan meencakup aspek yang amat luas, yakni
pengetahuan, kepercayaan, kesenian, moral, dan adat istiadat dan bahkan segala
kebiasaan yang dilakukan dan dimiliki oleh manusia sebagai anggota masyarakat.
Sedangkan melayu Ada pendapat yang mengatakan kata melayu berasal dari kata “
MALA” yang berarti mula dan “YU” yang berarti negeri.
DAFTAR PUSTAKA
http://www.academia.edu/4349559/Sumbangan_Ulama_Melayu_Klasik_Dalam_Pendemokrasian_Ilmu_Di_Alam_Melayu
http://mbsskl.edu.my/panitia_bm/files/2009/02/bm-kuno1.pdf
http://mirzaindie.blogspot.com/2009/03/-sejarah-perkembangan-tulisan.html
file:///F:/kebudayaan-melayu-dalam-perkembangan.html
[1]http://www.academia.edu/4349559/Sumbangan_Ulama_Melayu_Klasik_Dalam_Pendemokrasian_Ilmu_Di_Alam_Melayu
[2]http://mbsskl.edu.my/panitia_bm/files/2009/02/bm-kuno1.pdf
[3]http://mirzaindie.blogspot.com/2009/03/-sejarah-perkembangan-tulisan.html
[4]file:///F:/kebudayaan-melayu-dalam-perkembangan.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar