Minggu, 05 Juli 2015

SISTEM TULISAN DAN ILMU PENGETAHUAN MELAYU / Mairita fitri / makalah



SISTEM TULISAN DAN ILMU PENGETAHUAN MELAYU


A.  Pendahuluan
Disamping bahasa, Tulisan merupakan sebuah alat komunikasi manusia dari zaman dahulu sampai sekarang ini. Setiap kelompok manusia pada umumnya memeliki aksara sendiri. Tulisan yang ada pada zaman sekarang ini berasal dari rumpun tulisan.
Keberadaan tulisan dalam masyarakat sangat berperan penting. Dengan tulisan ini, manusia mampu berkomunikasi meski memakan jarak yang cukup jauh. Di nusantara tulisan yang berkembang ialah tulisan arabmelayu. Tulisan arab melayu adalah tulisan Arab yang diadaptasikan oleh bahasa Melayu untuk pengejaannya seperti yang kita pahami sekarang ini. Artinya huruf yang dipakai adalah huruf-huruf Arab dengan bahasa Melayu, atau dengan ejaan Melayu. Di tempat lain tulisan Melayu ini disebut dengan Arab Jawi atau sejenisnya.
Indonesia memiliki beraneka ragam bahasa daerah, masing-masing memiliki aturan penulisan sendiri menggunakan aksara tradisionalnya yang khas. Apresiasi terhadap berbagai aksara tradisional ini masih tampak misalnya dari mata pelajaran bahasa daerah di tiap daerah. Penggunaan aksara-aksara tradisional ini di berbagai sudut kota juga merupakan bukti bahwa, walaupun aksara ini telah hampir sepenuhnya tergantikan oleh aksara latin, sebenarnya bangsa kita masih cinta dan bangga atas kekayaan negeri kita yang satu ini.
B.  Awal Keberadaan Tulisan Arab Melayu
Tulisan Jawi telah lama ada dalam khasanah kebudayaan melayu yang diperkirakan sekitar abad ke 10 Masehi atau 3 Hijrah hingga kemasa kini dan ia berasal daripada tulisan Arab. Tulisan inilah yang membangun kebudayaan melayu dan tulisan ini jugalah yang kemudian mengantarkan menuju bahasa Melayu yang kemudian berkembang menjadi Bahasa Indonesia setelah dikokohkan oleh para pemuda Indonesia dalam sumpah pemuda. Keberadaan tulisan arab melayu di Nusantara identik dengan penyebaran islam ke daerah melayu.[1]
Masa sejak awal abad ke-13 M sampai penghujung abad ke-15 M dalam khazanah kesusastraan melayu disebut masa peralihan,yaitu masa peralihan dari peradaban Hindu ke peradaban Islam. Dengan masuknya peradaban Islam,orang melayu mulai mengenal tradisi tulis. Sebelumnya, mereka hanya memiliki tradisi lisan. Aksara Jawi sudah wujud dan digunakan di wilayah Sumatra dan Semenanjung Malaya jauh sebelum orang atau pulau Jawa memeluk agama Islam (883 H/1468 M).
Bukti historis bahwa adanya tulisan jawi dalam kebudayaan Melayu lama dapat dilihat pada bahan-bahan bertulis seperti : batu bersurat, manuskrip lama, kertas lama, majalah, batu nisan, bahan-bahan yang dibuat daripada logam, kulit, alat senjata, batu lontar, tembikar dan sejenisnya, ukiran-ukiran pada masjid, rumah, dan istana, azimat, rajah atau penangkal.
Penemuan pertama batu nisan yang tertulis dalam bahasa Arab di Sumatera bertarikh 55 Hijrah atau setara dengan 674 M. Selain itu juga ditemukan di Kedah bertarikh 290 Hijrah. Kedua hal ini jelas telah menunjukkan bahwa tulisan Jawi berasal dari orang Arab yang kemudian telah disesuaikan dengan menambahkan beberapa huruf tambahan kepada huruf Arab untuk menyesuaikannya dengan gaya bahasa orang Melayu. Penambahan ini lebih kepada melengkapi ejaan yang tidak ada dalam bahasa Arab tetapi ditemui dalam bahasa Melayu.
Manuskrip Islam tertua di kepulauan Nusantara ditemukan di Terengganu, Malaysia. Manuskrip ini bernama Batu Bersurat yang dibuat tahun 1303 (abad 14). Tulisan ini menyatakan tentang penyebaran dan para pemeluk Islam pada saat itu. Manuskrip ini sudah diteliti oleh oleh ahli-ahli Sejarah dan Arkeolog Islam di Malaysia seperti Prof Naquib Alatas dan lainnya, semua menyimpulkan manuskrip ini sebagai yang tertua di Asia Tenggara. Yang kedua, masih di abad 14, pada tahun 1310, ditemukan syair tentang keislaman yang ditulis dalam bahasa Melayu dengan huruf Jawi di Minya’ Tujoh, Aceh. Karenanya para pakar sepakat bahwa perkembangan karya ulama yang ditulis dengan huruf Jawi sudah berkembang pada Abad 14 pada massa Kekhalifahan Samudra Pasai dan Kekhalifahan Islam lain di Semenanjung Malaka.[2]
C.  Keberadaan Tulisan Arab Melayu pada Abad Pertengahan
Tulisan arab melayu pada abad pertengahan merupakan tulisan pemerintahan atau tulisan resmi bagi raja-raja keturunan melayu yang berada di daerah nusantara. Contohnya Sultan pertama Sulu (Paduka Mahasari Maulana al-Sultan Sharif ul-Hashim) yang memerintah tahun 1450 – 1480 adalah berasal dari Sumatra. Sultan ini menikah dengan putri Rajah Baguinda yang berasal dari Minangkabau ('Menangkabaw' dalam istilah di Mindanao). Dalam acara pelamarannya Paduka Mahasari Maulana al-Sultan Sharif ul-Hashim membuat lamaran dengan tulisan arab melayu untuk di sampaikan kepada Rajah Baguinda.
Aksara yang digunakan di Mindanao dan Sulu sebelum datangnya pengaruh kolonial Spanyol adalah dalam huruf Yawi (Arab Melayu). Buku-buku agama ketika itu adalah dalam huruf Yawi, sama halnya dengan tradisi penulisan di Thailand Selatan (Patani) dan juga di kesultanan-kesultanan Islam di Indonesia masa silam.
Pada usai yang lebih muda pada abad 16–17, di daerah lain juga ditemukan mansukrip seperti, Hikayat Raja-Raja Pasai, Hikayat Melayu, Hikayat Aceh, Hikayat Hasanuddin, Babat Tana Jawi, Babad Cirebon, Babat Banten, Carita Purwaka Caruban Nagari. Di Nusa Tenggara ditemukan Syair Kerajaan Bima, Bo’Sangaji Kai Catatan Kerajaan Bima. Dari Maluku ada Hikayat Hitu. Di Sulawesi ada Hikayat Goa, Hikayat Wajo dan lainnya.
Di Aceh, pada abad 16–17 terdapat cukup banyak penulis manuskrip. Misalnya, Hamzah Fansuri, yang dikenal sebagai tokoh sufi ternama pada masanya. Kemudian ada Syekh Nuruddin ar-Raniri alias Syeikh Nuruddin Muhammad ibnu 'Ali ibnu Hasanji ibnu Muhammad Hamid ar-Raniri al-Quraisyi. Ia dikenal sebagai ulama yang juga bertugas menjadi Qadhi al-Malik al-Adil dan Mufti Muaddam di Kesultanan Aceh pada kepemimpinan Sultan Iskandar Tsani abad 16. Salah satu karyanya yang terkenal berjudul ”Bustanul Salatin.” Syeikh Abdul Rauf al-Singkili yang juga ditetapkan sebagai Mufti dan Qadhi Malik al-Adil di Kesultanan Aceh selama periode empat orang ratu, juga banyak menulis naskah-naskah keislaman.
Pada tahun 1812 (sekitar 100 tahun sebelum kajian Shellabear), Marsden telah memperkatakan keberadaan aksara Arab Melayu dalam bukunya A Grammar of the Malayan Language. R.O. Winstedt (1913) juga mengulas tentang system ejaan Arab Melayu dalam bukunya Malay Grammar. Sedangkan di kalangan orang Melayu, Raja Ali Haji diakui sebagai tokoh yang mula-mula sekali memperkatakan system ejaan Arab Melayu seperti yang tercatat dalam bukunya Bustan al-Katibin, diteruskan oleh Muhammad Ibrahim (anak Abdullah Munsyi).
Kontinuitas kultural Jawa tertanam sebagai dasar legitimasi Keraton Palembang. Budayawan Palembang Djohan Hanafiah mencatat, keterkaitan politik ini berakhir setelah Sultan Abdurrahman (1659-1706) memproklamasikan Kesultanan Palembang Darussalam pada tahun 1675.
Jeroen Peeters dalam Kaum Tuo Kaum Mudo, Perubahan Religius di Palembang 1821 -1942 (1997) memaparkan, di kalangan keraton, bahasa Jawa kromo (bahasa Jawa halus) menjadi bahasa resmi. Akan tetapi, pemakaian bahasa ini tidak tersebar luas di luar lingkungan Keraton Palembang.
Merujuk pada sejumlah naskah berbahasa Jawa yang tersimpan di Royal Asiatic Society, London, Peeters meyakini, naskah-naskah tersebut juga hanya beredar di lingkungan keraton. Beberapa koleksi naskah berbahasa Jawa ini antara lain teks Panji (1801) yang ditulis atas perintah Sultan Ahmad Najamuddin.
Selain didampingi ulama, sultan juga memiliki juru tulis khusus untuk penulisan bahasa Arab. Bahasa dan tulisan Arab digunakan dalam kitab-kitab utama pengajaran Islam di Palembang, termasuk naskah yang berkaitan dengan tasawuf dan tafsir.
Sebagian naskah-naskah keagamaan yang ditemukan, merupakan kitab yang langsung dibawa dari Arab. Sebagian lainnya disalin ulang dengan ketelitian yang tinggi di Palembang.
Akan tetapi, seperti bahasa Jawa kromo yang hanya dikuasai oleh kalangan bangsawan, bahasa Arab juga lebih dikuasai para guru atau kalangan ulama. Sejumlah naskah keagamaan menggunakan bahasa Arab dilengkapi terjemahan bahasa Melayu, walaupun tetap ditulis dengan huruf Arab.
Naskah-naskah sastra, antara lain hikayat yang berbentuk prosa maupun syair, serta berbagai kisah dalam naskah-naskah pada masa kesultanan lebih banyak ditulis dengan tulisan Arab dalam bahasa Melayu (Arab Melayu). Kegiatan surat- menyurat, antara lain dari sultan kepada Gubernur Batavia juga ditemukan dalam basa Arab Melayu.[3]
D.  Keberadaan Tulisan Arab Melayu pada zaman Modern
Di perpustakaan Bodleian Oxford, British Museum, British Library, dan perpustakaan University of London.Menurut Rusdi, Ketua Yayasan Ikatan Guru Pengajian Al-Qur’an (IGPA) Kalbar, tulisan armel mulai menghilang sejak masuknya pengaruh Partai Komunis Indonesia (Penggunaan tulisan Arab Melayu (Armel) atau Tulisan Jawi (Tulwi)di Indonesia sekarang bisa dikatakan sudah hampir punah. Kalau pun dipelajari pada Pondok Pesantren, lebih mengutamakan tulisan Arab gondol/Kitab Kuning. Demikian kondisinya juga pada sekolah-sekolah umum, tidak pernah lagi diajarkan kepada murid.
Seiring dengan perkembangan zaman, lambat-laun tulisan ini ditinggalkan masyarakat. Bukan berarti model tulisan ini tidak bisa mengikuti perkembangan zaman, tidak sama sekali, namun yang menyebabkan Ia ditinggalkan karena kebijakan dari pemerintah kita sendiri.
Salah satu contohnya, pada tahun 70-an hingga 80-an pemerintah menggalakkan program penuntasan buta aksara. Seluruh masyarakat diajarkan membaca latin. Jika saja ada yang tidak bisa membaca tulisan latin, maka mereka dicap sebagai buta aksara, sekalipun Ia mampu dan lancar menulis dan membaca Arab Melayu. Artinya pada masa itu pemerintah tidak mengakui Arab Melayu yang telah melekat di tengah masyarakat kita.
Sementara itu, penulisan armel di negara tetangga seperti Malaysia dan Brunei Darussalam telah mengakar kuat di masyarakatnya. Penulisan Armel dan cara membacanya, menjadi mata pelajaran wajib bagi siswa di bangku sekolah di kedua negara tersebut.
Berdasarkan catatan Prof. Dr Kang Kyoung Seok, Peneliti tulisan Armel/Tulwi asal Busan, Korea, universitas-universitas di luar masyarakat Melayu juga mengajarkan tulisan Armel kepada mahasiswanya. Seperti yang diajarkan di Hankook University of Foreign Studies Korea, mereka bahkan mendatangkan tenaga pengajar khusus dari Malaysia untuk memberikan mata kuliah tulisan armel.
Amerika Serikat (Cornell Unversity), Jepang (Tokyo University of Foreign Studies), Inggris (University of London), Belanda (University of Leiden), Jerman (University of Hamburg), hingga Rusia (University of Leningrad), merupakan negara-negara lainnya di luar masyarakat Melayu, yang pernah dan masih mengajarkan tulisan armel kepada mahasiswanya. Bahkan, manuskrip-manuskrip Armel/Tulwi banyak disimpan di negara Inggris, antara lain tahun 1964/1965 ). Sejak itu pula, pelajaran armel di sekolah-sekolah ditiadakan. Kecuali di Sumatra.
E.  Sistem Tulisan dan Ejaan Bahasa Melayu Kuno
1.    Tulisan Palava
Keempat-empat buah batu bersurat pada abad ketujuh menggunakan tulisan Palava ( sejenis tulisan India Selatan Purba bagi penyebaran agama Hindu )
a)      Batu Bersurat Kedukan Bukit (Palembang), bertarikh 605 Tahun Saka, bersamaan dengan 683 M (Masihi).
b)      Batu Bersurat Talang Tuwo (Palembang), bertarikh 606 Tahun Saka, bersamaan dengan 684 M.
c)      Batu Bersurat Kota Kapur (Pulau Bangka), bertarikh 608 Tahun Saka, bersamaan dengan 686 M.
d)     Batu Bersurat Karang Brahi (Hulu Jambi), bertarikh 614 Tahun Saka, bersamaan dengan 692 M.
2.    Tulisan Kawi
Tulisan Kawi ini digunakan pada batu bersurat di Joreng (1179M) dan Padang Lawas (1213M) yang terletak di Tapanuli, Sumatera Utara. Kawi berasal dari pada perkataan Sanskrit kavi =penyair. Tulisan ini berbentuk kursif pada peringkat awalnya ditulis pada daun lontar.
Petikan teks Batu Bersurat Kedukan Bukit
Swasti sri
sakawarsatita 605 ekadasi su
klapaksa wulan waisakha daputa
hyang nayik di samwau mangalap
siddhayatra
di saptami suklapaksa
wulan jyestha dapunta hyang marlapas
dari minanga Tamwan
mamawa yang wala dualaksa
ko dua ratus cara di samwau
dangan jalan sariwu tluratus sapuluh dua wanakna
datang di mataa jap sukhacitta
di pancami suklapaksa wula[n] asada
laghu mudita datang
marwuat vanua ... sriwijaya
jaya siddhayatra subhika ...
Transliterasi BM Kuno-BM Moden
wulan = bulan
nayik = naik
samwau = sampau = sampan (maksudnya perahu yang besar)
mangalap = mengambil (maksudnya mencari)
marlapas = berlepas
mamawa = membawa
wala = bala = balatentera
laksa = (menyatakan jumlah yang tidak terkira banyaknya)
dangan = dengan
sariwu = seribu
tlu = telu = tiga
sapuluh dua = sepuluh dua = dua belas
wanakna = banyaknya
sukhacitta = sukacita
marwuat = berbuat
wanua = benua = negeri
ko = ke
F.   Sikap Kebudayaan Melayu Terhadap Perkembangan Ilmu Pengetahuan
Budaya Melayu umumnya, khasnya Melayu Riau, adalah budaya yang terbuka. Keterbukaan itulah yang menyebabkan kebudayaan Melayu menjadi majemuk dengan masyarakatnya yang majemuk pula. Kemajemukan inilah sebagai salah satu khasanah budaya Melayu yang tangguh, serta sarat dengan keberagaman. Karenanya, orang mengatakan bahwa budaya Melayu bagaikan pelangi atau taman bunga yang penuh warna warni, indah dan memukau. Salah satu khasanah budaya Melayu yang paling sarat dengan nilai-nilai utama sebagai “jatidiri” kemelayuan itu adalah adat istiadatnya atau dikatakan “adat resam”.
Melalui proses keterbukaan itu pula adat resam Melayu menjadi kaya dengan variasi, sarat dengan simbol (lambang) dan falsafah. Kekayaan khasanah nilai itu dapat disimak antara lain dari keberagaman alat dan kelengkapan upacara adat, dari alat dan kelengkapan pakaian pakaian adat, dari bentuk dan ragam hias rumah, dari alat dan kelengkapan ruamh tangga, dari upacara-upacara adat dan tradisi, dari ungkapan-ungkapan adat (pepatah petitih, bidal, ibarat, perumpamaan, pantun, gurindam, seloka, syair dll), yang mereka warisi turun temurun. Karenanya, tidaklah berlebihan bila ada yang berpendapat, bahwa khasana budaya Melayu merupakan “ samudera budaya dunia”, sebab di dalam budaya Melayu memang terdapat berbagai unsur budaya dunia. Dengan sifat keterbukaan itu pula budaya Melayu mampu menyerap beragam unsur budaya luar, sehingga memperkaya khasanah budaya Melayu itu sendiri.
Dari sisi lain, keterbukaan budaya Melayu tidaklah bermakna “terdedah tanpa penapis”, sebab adat istiadat Melayu menjadi salah satu penapis utama dari masuknya unsur-unsur negatif budaya luar. Nilai-nilai adat yang Islami itulah yang senantiasa menyaring dan memilah setiap unsur budaya luar yang masuk. Unsur yang baik mereka serap dengan kearifan yang tinggi, sedangkan yang buruk merka buang dan jauhkan.[4]
G. Kesimpulan
Sejarah tidak terpisah dari budaya atau kebudayaan (cultural historiography). Kebudayaan diartikan sebagai hasil karya dan karsa manusia, baik dalam bentuk materil, buah pikiran maupun corak hidup manusia. Menurut EB. Taylor kebudayaan meencakup aspek yang amat luas, yakni pengetahuan, kepercayaan, kesenian, moral, dan adat istiadat dan bahkan segala kebiasaan yang dilakukan dan dimiliki oleh manusia sebagai anggota masyarakat. Sedangkan melayu Ada pendapat yang mengatakan kata melayu berasal dari kata “ MALA” yang berarti mula dan “YU” yang berarti negeri.



















DAFTAR PUSTAKA
http://www.academia.edu/4349559/Sumbangan_Ulama_Melayu_Klasik_Dalam_Pendemokrasian_Ilmu_Di_Alam_Melayu
http://mbsskl.edu.my/panitia_bm/files/2009/02/bm-kuno1.pdf
http://mirzaindie.blogspot.com/2009/03/-sejarah-perkembangan-tulisan.html
file:///F:/kebudayaan-melayu-dalam-perkembangan.html



[1]http://www.academia.edu/4349559/Sumbangan_Ulama_Melayu_Klasik_Dalam_Pendemokrasian_Ilmu_Di_Alam_Melayu
[2]http://mbsskl.edu.my/panitia_bm/files/2009/02/bm-kuno1.pdf
[3]http://mirzaindie.blogspot.com/2009/03/-sejarah-perkembangan-tulisan.html
[4]file:///F:/kebudayaan-melayu-dalam-perkembangan.html

Tidak ada komentar:

Posting Komentar