Minggu, 05 Juli 2015

SEJARAH BANGSA MELAYU SEBELUM KEDATANGAN ISLAM / Mairita fitri / makalah



BANGSA MELAYU SEBELUM KEDATANGAN ISLAM

A.  Pendahuluan
Kehidupan manusia bersifat kemasyarakatan, artinya bahwa secara fitrahnya ia bersifat kemasyarakatan. Hakikatnya, sifat kemsyarakatan itu wujud selama ada pembahagian kerja, pembahagian keuntungan dalam suatu peringkat tertentu tradisi dan sistem. Selain itu terdapat juga gagasan-gagasan, ideal-ideal, perangai-perangai serta kebiasaan-kebiasaan khas menguasai manusia umumnya. Dengan kata lain, masyarakat merupakan kelompok manusia yang di bawah seperingkat kepercayaan, ideal dan tujuan, tersatu dan bergabung dalam satu rangkaian kesatuan hidup bersama.
Anutan tertua masyarakat Melayu ialah Animisme. Animisme ialah kepercayaan kepada makhluk-makhluk, objek-objek ataupun roh (spiritual beings). Kepercayaan ini berkait rapat dengan suasana kehidupan masyarakat yang bergantung kepada alam sekitar, muka bumi dan sebagainya untuk menggerakkan aktivitas pertanian yang menjadi sumber ekonomi mereka. Ia telah melahirkan satu bentuk hubungan yang erat antara manusia dan persekitarannya. Keakraban ini mewujudkan satu bentuk kepercayaan bahawa setiap yang ada di sekeliling mereka juga ‘hidup’ dan mempunyai ‘roh’, ‘semangat’ dan keperibadian tersendiri.
Di Nusantara kepercayaan animisme ini juga wujud dalam bentuk kepercayaan kepada ‘penunggu’ atau ‘puaka’ yang menghuni sesuatu tempat. Mereka turut meyakini makhluk-makhluk ini boleh mendatangkan kesan baik ataupun kesan buruk kepada mereka. Kepercayaan kepada animisme juga telah membawa kepada amalan beragama yaitu pemujaan dan perhambaan diri kepada sesuatu yang dipercayai mempunya kuasa untuk mendatangkan kesan-kesan tertentu kepada si pemuja. Contohnya, masih ramai orang-orang Melayu memuja kampung mereka, ini bertujuan supaya kampung mereka berada dalam keselamatan dan kesejahteraan tanpa diganggu gugat oleh jin, jembalang afrit, hantu raya, dan sebagainya. Mereka juga percaya jika tidak dilakukan tiap-tiap tahun atau tiga tahun sekali, ia akan membawa malapetaka atau orang-orang kampung akan digodai oleh jin iblis, dan sebagainya.[1]

B.  Pengertian Agama dan Kepercayaan Menurut Masyarakat Melayu
Pada masyarakat melayu, mereka membedakan antara agama dan kepercayaan. Menurut masyarakat melayu, Agama yang dianggap oleh mereka adalah agama-agama besar yang diakui oleh pemerintah. Seperti Islam, Kristen, Khatolik, Hindu dan Budha. Sementara keyakinan-keyakinan seperti penyembahan pada dewa-dewa dan kepercayaan akan kekuatan yang dimiliki makhluk halus (jin, hantu, jembalang, sikodi dan lainnya) hanya dianggap sebagai suatu kepercayaan saja. Seperti yang terdapat pada suku terasing – Suku Talang Mamak, Suku Akit, Suku Laut, dan lainnya. Maupun kepercayaan yang juga mencangkup masalah upacara-upacara yang lahir dari kebiasaan-kebiasaan lama orang Melayu, seperti tepung tawar, mati tanah dan lainnya.
Namun sebenarnya yang dikatakan kepercayaan dalam masyarakat Melayu itu bukan hanya dalam kepercayan lama saja yang menjadi peninggalan masa lampau seperti animisme, tapi juga kepercayaan yang datang setelahnya, seperti kepercayaan agama Hindu, Budha dan Islam sendiri. Dimana Islam yang datang terakhir mengakomodir semua unsur kebudayaan tersebut secara perlahan, serta melakukan penelusuran terhadap hal-hal yang bertentangan dengan Islam.[2]

C.  Agama dan Kepercayaan Orang Melayu Pelalawan Pra-Islam
1.    Animisme
Jauh sebelum kehadiran Islam di Pelalawan, orang-orang Melayu Pelalawan berkepercayaan animisme dan dinamisme yang telah bercampur dengan ajaran Hinduisme dan Budhisme. Menurut Koentjaraningrat, animisme adalah:
Kepercayaan bahwa dunia ini dipenuhi oleh ruh-ruh atau jiwa-jiwa, berupa makhluk halus yang tidak tertangkap oleh indera dan bertempat di dekat tempat tinggal manusia. Ia dapat berbuat apa saja yang tidak dapat diperbuat oleh manusia. Ruh-ruh itu mendapat tempat yang penting dalam hidup manusia dan menjadi objek penghormatan dan penyembahan, yang disertai dengan berbagai upacara berupa doa (mantera), sajian atau kurban.

Dalam Dictionary of Philosophy dinyatakan bahwa istilah animisme dari segi antropologi mengandung arti: (a). The view that souls are attached to all things as their inner principles of spontaneity or activity, or as their dwelters. (b). The doctrin that nature is inhabited by various of spirits (spiritism).
Ruh-ruh halus seperti yang disebutkan oleh Koentjaraningrat dan oleh Dictionary of Philosophy di atas, dalam bahasa Indonesia, kata A.G. Horning, disebut denga “nyawa, kehendak atau semangat, yaitu daya kekuatan hidup yang dapat berada dalam diri manusia, pada hewan, tumbuh-tumbuhan atau pada segala sesuatu yang ada.”
A.B. Taylor dalam bukunya Primitive Culture, sebagaimana dikutip oleh Koentjaraningrat, mengatakan bahwa: “Awal mula keyakinan agama dimulai dari animisme, yaitu kepercayaan berupa keyakinan kepada ruh-ruh yang mendiami alam semesta tempat sekeliling tempat tinggal manusia dan yang menyebabkan terjadinya berbagai gejala atau peristiwa alam.” Ruh-ruh itu, menurut kepercayaan orang-orang primitif, dapat memasuki tubuh manusia serta menguasainya. Ia dapat pula merasuk ke tubuh hewan dan tumbuh-tumbuhan atau pepohonan.
Kepercayaan animisme dapat mengambil bentuk yang brmacam-macam. Ia dapat berbentuk pemujaan terhadap ruh manusia atau jiwa hewan (necrolarty), terutama kepada ruh manusia yang sudah meninggal dunia. Pemujaan terhadap makhluk spiritul yang tidak dihubungkan dengan suatu cara yang mapan dengan jasad-jasad tertentu dan objek-objek tertentu (spiritisme), dan dalam bentuk pemujaan terhadap makhluk spiritual yang berkaitan dengan fenomena alam yang disebut kepercayaan naturisme.
Orang-orang Melayu Pelalawan yang masih primitif percaya bahwa arwah nenek moyang yang telah meninggal dunia masih selalu ada di tengah-tengah mereka, dan percya bahwa di sekeliling mereka banyak makhluk halus (gaib) yang dapat berbuat apa saja. Agar tidak mengganggu, makhluk halus itu mereka hormati dan dijadikan sesembahan dengan melakukan berbagai ritus, seperti ritus kelahiran, perkawinan, pengobatan berbagai penyakit, kematian dan sebagainya. Dalam ritus itu mereka menggunakan tepung tawar, beras kunyit, mantera, pengorbanan atau melepas hewan di tempat-tempat tertentu yang mereka sebut buang sial pada tempat yang mereka anggap angker, sebagai sesaji bagi makhluk-makhluk halus tersebut.
Orang-orang Melayu Pelalawan pra-Islam percaya bahwa ruh yang telah terpisah dapat memasuki tubuh manusia lain, atau berinkarnasi ke dalam tubuh hewan, seperti kepercayaan mereka tentang cinaku (harimau jadi-jadian, siluman harimau) dan gunjo, yaitu kepercayaan bahwa orang yang telah mati dapat hidup kembali dengan meminjam tubuh orang lain sebagai akuan untuk membalas dendam kepada musuh-musuhnya. Sisa-sisa kepercayaan lycantropie ini masih ada sampai sekarang, terutama pada orang-orang Melayu Pelalawan yang masih primitif dan tinggal di pedalaman.
Kepercayaan animisme, selain melahirkan pemujaan terhadap makhluk-makhluk gaib, juga melahirkan institusi sosial, berupa bomo, pawang, dukun, dan sebagainya. Bomo, pawang, dan dukun dipercaya sebagai orang yang memiliki kemampuan untuk menghubungkan manusia yang masih hidup dengan makhluk gaib dan dengan arwah nenek moyang, bahkan bomo sangat disegani dan ditakuti. Bomo diyakini mempunyai kekuatan supernatural untuk menguasai makhluk gaib malalui jampi-jampi (mantera) dan mampu menyembuhkan seseorang dari berbagai macam penyakit.
Sebagian orang Melayu Pelalawan percaya, bomo adalah orang yang sangat berperan menghubungkan manusia yang masih hidup dengan makhluk halus untuk mencapai suatu tujuan, menentukan mana yang tabu, yang boleh dilakukan, yang sakral, yang profan, menguasai pengetahuan untuk menentukan saat yang baik dan yang tidak baik, atau saat untuk menguasai kekuatan gaib. Bomo dianggap serba mengetahui, sehingga ia mendapat posisi yang tinggi dalam masyarakat. Kepadanyalah masyarakat meminta pertolongan dan meletakkan harapan dengan meminta jimat (azimat) atau tangkal, yaitu benda-benda yang telah dimanterai oleh bomo untuk mengatasi berbagai masalah yang mereka hadapi dalam kehidupan.
Bomo dianggap mempunyai kekuatan gaib dan berwenang untuk menentukan bentuk-bentuk ritual yang harus dilaksanakan, sehingga lahirlah upacara pemujaan dan bentuk tari-tarian magik, seperti tarian belian, mayang embut dan tarian lukah untuk pengobatan, berbentuk nyanyian, misalnya manumbai (upacara mengambil madu lebah), dan berbentuk semah seperti pada upacara mendirikan rumah dan sebagainya. Tarian, nyanyian dan mantera atau jampi-jampian magis tersebut hingga sekarang masih terpelihara dan dipraktikkan dalam kehidupan orang-orang Melayu primitif Pelalawan terutama yang tinggal di pedalaman.[3]

2.    Dinamisme
Orang-orang Melayu Pelalawan yang hidup pada masa nenek moyang masih primitif, yang oleh orang melayu pelalawan menyebutnya dengan “zaman nenek moyang masih makan keluang,” selain menganut kepercayaan animisme, seperti dikemukakan di atas, mereka juga berkepercayaan dinamisme, yaitu suatu kepercayaan yang mengarah kepada pemujaan benda-benda, hewan dan lain-lain, karena benda-benda itu dianggap mempunyai kekuatan gaib. Karena orang primitif dan yang tingkat kebudayaannya masih rendah sekali di berbagai tempat di dunia, menurut Harun Nasution mempercayai bahwa “tiap-tiap benda yangberada disekelilingnya bisa mempunyai kekuatan batin yang misterius.”
Kepercayaan terhadap kekuatan misterius pada benda-benda, menurut Codrington, sebagaimana dikutip oleh Koentjaraningrat: “Muncul dari kekaguman manusia terhadap berbagai gejala alam yang luar biasa dan dianggap sebagai asal dari kekuatan super natural. Suatu kekuatan yang tidak dapat diterangkan oleh akal manusia dan yang mengatasi kekuatan-kekuatan alamiah, yang disebut dengan kekuatan gaib atau kekuatan sakti.”
Orang-orang Melayu Pelalawan yang masih primitif percaya bahwa benda-benda alam mempunyai kekuatan yang memancar dari ruh-ruh, yang disebut dengan mana, dan mereka percaya bahwa kekuatan itu dapat dimiliki oleh manusia. Orang yang memiliki mana adalah orang yang selalu berhasil dalam pekerjaannya, orang-orang yang berkuasa, atau orang yang mampu memimpin orang lain, seperti raja, pembesar, dukun, bomo dan sebagainya.
Benda- benda tertentu yang dipercaya mempunyai mana, selain ditakuti juga tidak boleh dipermainkan atau dilanggar dan dianggap tabu. Bagi yang melanggar harus bertanggung jawab dan memikul akibatnya. Benda-benda yang mempunyai mana tersebut juga dipercaya bahwa benda-benda tersebut dapat memberi pengaruh baik bagi kehidupan manusia yang disebut dengan fetish, seperti memberi perlindungan, menolak bencana, menyembuhkan berbagai penyakit, memberi kesuburan dan sebagainya. Kepercayaan dinamisme inilah yang mendorong orang-orang Melayu Pelalawan yang masih primitif berusaha menguasai mana yang terdapat pada batu cincin akik, keris, dan sebagainya.
     Orang Melayu Pelalawan percaya bahwa keris mempunyai kekuatan yang dapat melindungi si pemilik dari berbagai bencana, juga dapat menimbulkan bahaya bagi yang batinnya tidak kuat, karena dianggap tidak serasi. Orang Melayu Pelalawan juga percaya bahwa tangkal mempunyai kekuatan gaib dan dapat melindungi pemakainya dari suatu penyakit atau dari perbuatan sihir. Kepercayaan inilah yang menyababkan orang-orang Melayu Pelalawan yang masih primitif dan yang kurang terpelajar masih memakai tangkal, diikatkan pada lengan atau pinggang, dan membuatkan tangkal bagi anak-anak yang masih bayi dan diletakkan dibawah tempat tidurnya.
Orang-orang Melayu Pelalawan pada masa dahulu percaya bahwa para raja, pembesar dan ulama mempunyai kekuatan sakti. Kesaktian raja disebut daulat, kesaktian pembesar disebut berisi dan kesaktian ulama disebut keramat (karamah. Kesaktian raja dan pembesar menimbulkan penggering (sesuatu yang menimbulkan rasa takut seperti rasa takutnya seseorang pada harimau), dan keramat ulama menimbulkan kewibawaan. Bukan hanya raja, pembesar dan ulama yang dianggap mempunyai kesaktian, benda-benda peninggalan para raja, pembesar dan ulama pun dipandang sebagai bagian dari pemiliknya. Ia juga mempunyai kesaktian, karena kesaktian itu dianggap melekat pada diri raja, pembesar atau ulama, dan pada peninggalan mereka, seperti kursi raja, tongkat, dan keris pembesar, tasbih, dan jubah ulama.
Para raja yang dipercaya sebagai memiliki kesaktian, menjadi berwibawa dan segala titahnya dipatuhi. Para pembesar yang berisi ditakuti, dan pera ulama yang keramat disegani dan fatwanya ditaati. Apabila raja berdaulat,  pembesar yang berisi atau ulama yang keramat meninggal dunia, kesaktiannya dibawa bersama ke dalam makamnya. Penghormatan yang diberikan kepada mereka oleh masyarakat sewaktu mereka masih hidup, diteruskan pula ke makamnya. Kepercayaan inilah yang melatarbelakangi terjadinya pemujaan dan pengeramatan terhadap makam-makam raja, pembesar dan ulama. Makam-makam itu dianggap sakti dan emnjadi tempat untuk meminta segala macam. Apabila permintaannya terwujud, merekapun membayar niat atau nazar sesuai dengan niat waktu meminta, sehinnga kepercayaan mereka tentang kekeramatan makam-makam itupun semakin menguat.[4]

3.    Agama Hindu
Pengaruh agama Hindu tersebar sejak abad ke 6 lagi yang dibawa oleh pedagang India. Penyebaran agama ini berkembang pesat ketika kedatangan golongan Brahmana dan penerimaan agama ini oleh golongan pemerintah.
Ajaran ini diterima oleh pemerintah kerana agama ini berpegang teguh kepada konsep Dewaraja yaitu raja adalah tuhan dibumi yang sekaligus memperkukuhkan kedudukan raja sebagai pemerintah. Sebagai contoh, terdapat dua buah kerajaan Hindu di Tanah Melayu yaitu kerajaan Langkasuka dan kerjaaan Kedah Tua. Disamping itu terdapatnya penyembahan Dewa Siva dan Vishnu, yang dapat dilihat daripada pembinaan Candi Bukit Batu Pahat dan Candi Bukit Pendiat di Lembah Bujang, Kedah.
Dikarenakan prinsip kedatangan agama hindu yang diarahkan pada kaum bangsawan, banyak pihak yang mengatakan bahwa sebenarnya hanya golongan bangsawanlah yang menganut agama ini dengan sungguh-sungguh. Meskipun mereka sendiri tidak benar-benar paham dengan ajaran filsafat hindu yang asli.
Mereka hanya mementingkan perkara yang berkaitan dengan tata upacara serta ajaran-ajaran yang membesarkan keagungan dewa bagi kepentingan mereka sendiri, sehingga secara tidak langsung dengan menjadi penganut agama hindu mereka memperkukuh kedudukan mereka didalam struktur lapisan didalam puncak masyarakat.
Adapun dalam masyarakat melayu mereka lebih cenderung bersifat seni dibanding harus memahami kehalusan metafisik hindu yang bersifat filsafat. Beberapa kesusasteraan agama asli hindu-india yang diadopsi kedalam bahasa hindu-melayu telah ada pada mahabrata dan baghavad gita yang menggambarkan kehidupan arjuna dan bharatayuddha yang kesemuanya tidak menampakkan filsafat hindu asli.[5]
Agama Hindu ini sudah tersebar di daerah Pelalawan pada masa kekuasaan Majapahit, serta agama Budha pula diperkirakan telah masuk ke Pelalawan sejak daerah ini berada dalam kekuasaan Kerajaan Sriwijaya. Hal ini berdasarkan pada catatan sejarah, sebagaimana hasil penelitian Mukhtar Lutfhi bahwa daerah-daerah yang berada di pinggir sungai besar dan muara sungai di pantai timur Sumatera serta di laut sekitar Selat Malaka, yang sebagiannya berada dalam wilayah Provinsi Riau sekarang, sejak abad pertama Masehi telah menjadi tempat lalu lintas pelayaran internasional yang cukup ramai, dan telah berhubungan dengan pedagang-pedagang yang datang dari Cina, India, Persia, dan Arab. 
Muara Mahat, bandar pelabuhan yang letaknya dekat dengan pusat kerajaan Katangka yang menguasai pelayaran di Selat Malaka dan daerah pesisir Pantai timur Sumatera, menjadi pusat perdagang dan menampung armada niaga dari dalam dan luar negeri. Di Muara Mahat inilah pedagang-pedagang dari daerah penghasil lada, logam berharga, hasil-gasil hutan, dan hasil bumi lainnya, seperti dari Kampar Kanan, Kampar Kiri, Kuantan (sekarang merupakan daerah perbatasan antara Kabupaten Pelalawan dengan Kabupaten Kampar dan Kabupaten Kuantan Singingi), dan dari Rokan, berkumpul, bertemu dan bertransaksi sesama pedagang lokal dan dengan pedagang-pedagang yang datang dari Persia, Cina, India, dan Arab.[6]

4.    Agama Budha
Adapun bukti yang menunjukkan bahwa agama Budha telah tersebar di daerah Pelalawan, seperti disebutkan dalam sejarah, adalah diterimanya kedatangan Maharaja Indera, Orang Besar Kerajaan Temasik yang melarikan diri setelah Temasik dikalahkan Kerajaan Majapahit, yang mendirikan kerajaan Pekantua, di Pematang Tua, dekat Muara Tolam, yang menjadi cikal bakat Kerajaan Pelalawan. Maharaja Indera adalah seorang penganut Budha, ini terbukti bahwa beliau selain mendirikan istana juga membangun candi yang diberi nama Candi Hyang di dekat istananya. Bahan bangunan candi ini yang terbuat dari batu bata sama dengan bahan bangunan candi Muara Takus, yang sebagian ahli menganggap Muara Takus adalah salah satu pusat kerajaan Sriwijaya, sementara raja Kerajaan Sriwijaya itu sendiri adalah penganut Budha. Candi Hyang dibangun oleh Maharaja Indera sebagai tanda syukur atas selamatnya beliau melarikan diri dan berhasil membangun sebuah kerajaan. Kedudukan Maharaja Indera sebagai raja dan dibangunnya Candi Hyang bagaimanapun akan membawa pengaruh kepada rakyatnya.
Mengenai awal mula kedatangan dan penyebaran agama Budha di Pelalawan, juga dapat ditelusuri dari keberadaan kekuasaan Sriwijaya di daerah ini. Sebagaimana disebutkan dalam sejarah, Kerajaan Sriwijaya adalah sebuah kerajaan maritim di Asia Tenggara yang mempunyai kekuasaan besar atas darat dan laut Indonesia bagian barat, Semenanjung Tanah Melayu dan Laut Cina Selatan. Kerajaan ini tumbuh, berkembang dan mencapai kejayaan selama beberapa abad. Mulai dari abad VII sampai akhir abad XIII Masehi. Pada masa itu Sriwijaya menguasai sepenuhnya Selat Malaka, sebuah jalur perdagangan utama yang sangat ramai dilayari, dilalui dan disinggahi armada-armada, pedagang-pedagang Arab, Persia, India, dan Cina. Penguasaan Sriwijaya terhadap posisi geografis yang strategis merupakan salah satu faktor yang menyebabkan Sriwijaya bisa kuat dan berkembang.
Potensi lain yang dimiliki sriwijaya adalah, kemampuannya memproduksi sendiri bahan dagang utama pada itu,  seperti lada dan timah yang banyak dihasilkan dari daerah sepanjang sungai Kampar Kanan dan Kampar Kiri. Timah dari tapung di hulu Sungai Siak dan emas dari Sungai Kuantan. Hasil-hasil penting ini dan hasil-hasil hutan lainnya merupakan daya tarik tersendiri bagi para pedagnag, sehingga para pedagang dari Barat dan Timur berlomba-lomba mencari dagangan ke daerah ini. Muara Mahat adalah bandar pelabuhan, letaknya dekat Muara Takus merupakan pusat perdagangan yang menampung armada niaga dari dalam dan luar negeri. Di Muara Mahat inilah pedagang-pedagang India, Arab, Persia, dan Cina berkumpul, bertemu dan bertransaksi dengan penduduk tempatan.
Melihat kenyataan sejarah seperti di atas, besar kemungkinann Agama Budha telah tersebar di daerah ini dan telah menjadi kepercayaan sebagian penduduknya, meskipun mungkin belum menjadi agama resmi kerajaan, dan hal itu sangat mungkin terjadi, mengingat Kerajaan Pelalawan yang dahulunya bernama Pakan Tua terletak di hilir muara sungai Kampar Kanan dan kampar Kiri. Suatu wilayah yang menjadi pusat perdagangan yang cukup ramai. Bercampurnya ajaran Hindu dan Budha dengan kepercayaan animisme dan dinamisme orang-orang Melayu Pelalawan pada masa dahulu adalah sangat mungkin terjadi. Kepercayaan Hindu yang berpusat pada penyembahan dewa-dewa, kekuatan alam, pemujaan pada benda-benda dan hewan, dan ajaran Budha yang lebih berorientasi pada kehidupan spiritual dan etis, boleh dikatakan tidak ada perbedaan mendasar dengan kepercayaan animisme dan dinamisme sebagai kepercayaan tradisional nenek moyang orang-orang Melayu Pelalawan. Perbedaan yang ada hanyalah terletak pada implementasi kepercayaan atau agama tersebut dalam kehidupan sehari-hari. Kehadiran Agama hindu tidak menghilangkan kepercayaan tradisional orang-orang Melayu, bahkan besar kemungkinan terjadi percampuran anatara kepercayaan animisme dan dinamisme dengan ajaran Hindu tersebut sehingga sulit untuk dibedakan.
Adanya pengaruh Hinduisme pada kepercayaan tradisional orang-orang Melayu Pelalawan, terlihat masih adanya sisa-sisa kepercayaan tersebut pada tradisi adat penduduk hingga sekarang, terutama pada penduduk yang tinggal di pedesaan, seperti terlihat pada pemakaian pedupaan pada upacara-upacara tradisinal, misalnya pada upacara kelahiran, perkawinan, kematian dan sebagainya, pemujaan terhadap dewa-dewa, peri, pemberian sesaji, penyembahan rumah dan ladang, pengeramatan makam-makam para raja, tepung tawar dan sebagainya.
Kehadiran Budhisme ke dalam kehidupan orang-orang Melayu Pelalawan tidak membawa perubahan pada kebudayaan tradisional mereka yang berasaskan pada kepercayaan animisme dan dinamisme, karena Budhisme tidak membawa konsep yang jelas tentang ketuhanan, dan cenderung pada ajaran moral, sehingga Budhisme lebih bersifat etika daripada agama.[7]

D.  Kesimpulan
Orang-orang Melayu kebanyakannya mempercayai sesuatu yang ganjil itu sebagai keramat, yang terdiri daripada golongan manusia, binatang, pokok-pokok kayu, dan sebagainya. Mereka mempercayai bahwa keramat itu ada kuasa yang dapat memberi kesenangan dan kesusahan kepada manusia. Kepercayaan ini diwarisi dari semenjak orang-orang Melayu belum lagi memeluk agama Islam. Mereka juga percaya bahawa keramat itu mengharapkan balasan daripada segala kepenatan yang dilakukannya, oleh itu mereka menghantar pulut kuning, nasi kunyit, pisang dan sebagiannya ke kubur keramat.


















DAFTAR KEPUSTAKAAN

Hidayat. 2009. Akulturasi Islam dan Budya Melayu. Jakarta. Badan Litbang dan diklat Departemen Agama RI.
http://AsalUsulOrangMelayu.com
http://KepercayaanMasyarakatMelayuSesudahdanSebelumKedatanganIslam.com




[1] http://KepercayaanMasyarakatMelayuSesudahdanSebelumKedatanganIslam.com
[2] http://AsalUsulOrangMelayu.com
[3] Hidayat, Akulturasi Islam dan Budya Melayu, (Jakarta: Badan Litbang dan diklat Departemen Agama RI, 2009), Cet. 1, h. 99-102.
[4] Ibid, h. 102-104.
[5] http://AsalUsulOrangMelayu.com
[6] Ibid, h. 104-105.
[7] Ibid, h. 105-108.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar