BANGSA MELAYU SEBELUM KEDATANGAN ISLAM
A. Pendahuluan
Kehidupan manusia bersifat
kemasyarakatan, artinya bahwa secara fitrahnya ia bersifat kemasyarakatan. Hakikatnya,
sifat kemsyarakatan itu wujud selama ada pembahagian kerja, pembahagian
keuntungan dalam suatu peringkat tertentu tradisi dan sistem. Selain itu
terdapat juga gagasan-gagasan, ideal-ideal, perangai-perangai serta
kebiasaan-kebiasaan khas menguasai manusia umumnya. Dengan kata lain,
masyarakat merupakan kelompok manusia yang di bawah
seperingkat kepercayaan, ideal dan tujuan, tersatu dan bergabung dalam satu
rangkaian kesatuan hidup bersama.
Anutan tertua masyarakat Melayu
ialah Animisme. Animisme ialah kepercayaan kepada makhluk-makhluk, objek-objek
ataupun roh (spiritual beings). Kepercayaan
ini berkait rapat dengan suasana kehidupan masyarakat yang bergantung kepada
alam sekitar, muka bumi dan sebagainya untuk menggerakkan aktivitas
pertanian yang menjadi sumber ekonomi mereka. Ia telah melahirkan satu bentuk
hubungan yang erat antara manusia dan persekitarannya. Keakraban ini mewujudkan
satu bentuk kepercayaan bahawa setiap yang ada di sekeliling mereka juga
‘hidup’ dan mempunyai ‘roh’, ‘semangat’ dan keperibadian
tersendiri.
Di Nusantara kepercayaan animisme
ini juga wujud dalam bentuk kepercayaan kepada ‘penunggu’ atau ‘puaka’ yang
menghuni sesuatu tempat. Mereka turut meyakini makhluk-makhluk ini boleh
mendatangkan kesan baik ataupun kesan buruk kepada mereka. Kepercayaan kepada
animisme juga telah membawa kepada amalan beragama yaitu
pemujaan dan perhambaan diri kepada sesuatu yang dipercayai mempunya kuasa
untuk mendatangkan kesan-kesan tertentu kepada si pemuja. Contohnya, masih
ramai orang-orang Melayu memuja kampung mereka, ini bertujuan supaya kampung
mereka berada dalam keselamatan dan kesejahteraan tanpa diganggu gugat
oleh jin, jembalang afrit, hantu raya, dan sebagainya. Mereka juga percaya jika
tidak dilakukan tiap-tiap tahun atau tiga tahun sekali, ia akan membawa
malapetaka atau orang-orang kampung akan digodai oleh jin iblis, dan
sebagainya.[1]
B. Pengertian
Agama dan Kepercayaan Menurut Masyarakat Melayu
Pada
masyarakat melayu, mereka membedakan antara agama dan kepercayaan. Menurut
masyarakat melayu, Agama yang dianggap oleh mereka adalah agama-agama besar
yang diakui oleh pemerintah. Seperti Islam, Kristen, Khatolik, Hindu dan Budha.
Sementara keyakinan-keyakinan seperti penyembahan pada “dewa-dewa” dan kepercayaan akan kekuatan yang dimiliki makhluk halus (jin,
hantu, jembalang, sikodi dan lainnya) hanya dianggap sebagai suatu kepercayaan
saja. Seperti yang terdapat pada suku “terasing” – Suku
Talang Mamak, Suku Akit, Suku Laut,
dan lainnya. Maupun kepercayaan yang juga mencangkup masalah upacara-upacara
yang lahir dari kebiasaan-kebiasaan lama orang Melayu, seperti tepung tawar, mati tanah dan lainnya.
Namun
sebenarnya yang dikatakan kepercayaan dalam masyarakat Melayu itu bukan hanya dalam kepercayan
lama saja yang menjadi peninggalan masa lampau seperti animisme, tapi juga
kepercayaan yang datang setelahnya, seperti kepercayaan agama Hindu, Budha dan Islam sendiri. Dimana Islam yang datang terakhir
mengakomodir semua unsur kebudayaan tersebut secara perlahan, serta melakukan
penelusuran terhadap hal-hal yang bertentangan dengan Islam.[2]
C. Agama dan Kepercayaan Orang Melayu Pelalawan
Pra-Islam
1. Animisme
Jauh sebelum kehadiran Islam di Pelalawan, orang-orang Melayu Pelalawan
berkepercayaan animisme dan dinamisme yang telah bercampur dengan ajaran
Hinduisme dan Budhisme. Menurut Koentjaraningrat, animisme adalah:
Kepercayaan bahwa dunia ini dipenuhi oleh ruh-ruh atau jiwa-jiwa, berupa
makhluk halus yang tidak tertangkap oleh indera dan bertempat di dekat tempat
tinggal manusia. Ia dapat berbuat apa saja yang tidak dapat diperbuat oleh
manusia. Ruh-ruh itu mendapat tempat yang penting dalam hidup manusia dan
menjadi objek penghormatan dan penyembahan, yang disertai dengan berbagai
upacara berupa doa (mantera), sajian atau kurban.
Dalam Dictionary of Philosophy dinyatakan
bahwa istilah animisme dari segi antropologi mengandung arti: (a). The view
that souls are attached to all things as their inner principles of spontaneity
or activity, or as their dwelters. (b). The doctrin that nature is
inhabited by various of spirits (spiritism).
Ruh-ruh halus seperti yang disebutkan oleh
Koentjaraningrat dan oleh Dictionary of Philosophy di atas, dalam bahasa
Indonesia, kata A.G. Horning, disebut denga “nyawa, kehendak atau semangat, yaitu
daya kekuatan hidup yang dapat berada dalam diri manusia, pada hewan,
tumbuh-tumbuhan atau pada segala sesuatu yang ada.”
A.B. Taylor dalam bukunya Primitive Culture, sebagaimana dikutip oleh
Koentjaraningrat, mengatakan bahwa: “Awal mula keyakinan agama dimulai dari
animisme, yaitu kepercayaan berupa keyakinan kepada ruh-ruh yang mendiami alam
semesta tempat sekeliling tempat tinggal manusia dan yang menyebabkan
terjadinya berbagai gejala atau peristiwa alam.” Ruh-ruh itu, menurut
kepercayaan orang-orang primitif, dapat memasuki tubuh manusia serta
menguasainya. Ia dapat pula merasuk ke tubuh hewan dan tumbuh-tumbuhan atau
pepohonan.
Kepercayaan animisme dapat mengambil bentuk yang brmacam-macam. Ia dapat
berbentuk pemujaan terhadap ruh manusia atau jiwa hewan (necrolarty), terutama
kepada ruh manusia yang sudah meninggal dunia. Pemujaan terhadap makhluk
spiritul yang tidak dihubungkan dengan suatu cara yang mapan dengan jasad-jasad
tertentu dan objek-objek tertentu (spiritisme), dan dalam bentuk pemujaan
terhadap makhluk spiritual yang berkaitan dengan fenomena alam yang disebut
kepercayaan naturisme.
Orang-orang Melayu Pelalawan yang masih
primitif percaya bahwa arwah nenek moyang yang telah meninggal dunia masih
selalu ada di tengah-tengah mereka, dan percya bahwa di sekeliling mereka
banyak makhluk halus (gaib) yang dapat berbuat apa saja. Agar tidak mengganggu,
makhluk halus itu mereka hormati dan dijadikan sesembahan dengan melakukan
berbagai ritus, seperti ritus kelahiran, perkawinan, pengobatan berbagai
penyakit, kematian dan sebagainya. Dalam ritus itu mereka menggunakan tepung
tawar, beras kunyit, mantera, pengorbanan atau melepas hewan di tempat-tempat
tertentu yang mereka sebut buang sial pada tempat yang mereka anggap
angker, sebagai sesaji bagi makhluk-makhluk halus tersebut.
Orang-orang Melayu Pelalawan pra-Islam percaya
bahwa ruh yang telah terpisah dapat memasuki tubuh manusia lain, atau
berinkarnasi ke dalam tubuh hewan, seperti kepercayaan mereka tentang cinaku
(harimau jadi-jadian, siluman harimau) dan gunjo, yaitu kepercayaan
bahwa orang yang telah mati dapat hidup kembali dengan meminjam tubuh orang
lain sebagai akuan untuk membalas dendam kepada musuh-musuhnya.
Sisa-sisa kepercayaan lycantropie ini masih ada sampai sekarang,
terutama pada orang-orang Melayu Pelalawan yang masih primitif dan tinggal di
pedalaman.
Kepercayaan animisme, selain melahirkan pemujaan terhadap makhluk-makhluk
gaib, juga melahirkan institusi sosial, berupa bomo, pawang, dukun, dan
sebagainya. Bomo, pawang, dan dukun dipercaya sebagai orang yang
memiliki kemampuan untuk menghubungkan manusia yang masih hidup dengan makhluk
gaib dan dengan arwah nenek moyang, bahkan bomo sangat disegani dan
ditakuti. Bomo diyakini mempunyai kekuatan supernatural untuk menguasai
makhluk gaib malalui jampi-jampi (mantera) dan mampu menyembuhkan
seseorang dari berbagai macam penyakit.
Sebagian orang Melayu Pelalawan percaya, bomo adalah orang yang
sangat berperan menghubungkan manusia yang masih hidup dengan makhluk halus
untuk mencapai suatu tujuan, menentukan mana yang tabu, yang boleh
dilakukan, yang sakral, yang profan, menguasai pengetahuan untuk menentukan saat
yang baik dan yang tidak baik, atau saat untuk menguasai kekuatan gaib. Bomo
dianggap serba mengetahui, sehingga ia mendapat posisi yang tinggi dalam
masyarakat. Kepadanyalah masyarakat meminta pertolongan dan meletakkan harapan
dengan meminta jimat (azimat) atau tangkal, yaitu benda-benda
yang telah dimanterai oleh bomo untuk mengatasi berbagai masalah yang
mereka hadapi dalam kehidupan.
Bomo dianggap mempunyai kekuatan gaib dan berwenang untuk menentukan
bentuk-bentuk ritual yang harus dilaksanakan, sehingga lahirlah upacara
pemujaan dan bentuk tari-tarian magik, seperti tarian belian, mayang
embut dan tarian lukah untuk pengobatan, berbentuk nyanyian,
misalnya manumbai (upacara mengambil madu lebah), dan berbentuk semah
seperti pada upacara mendirikan rumah dan sebagainya. Tarian, nyanyian dan
mantera atau jampi-jampian magis tersebut hingga sekarang masih terpelihara dan
dipraktikkan dalam kehidupan orang-orang Melayu primitif Pelalawan terutama
yang tinggal di pedalaman.[3]
2. Dinamisme
Orang-orang Melayu Pelalawan yang hidup pada masa nenek moyang masih
primitif, yang oleh orang melayu pelalawan menyebutnya dengan “zaman nenek
moyang masih makan keluang,” selain menganut kepercayaan animisme, seperti
dikemukakan di atas, mereka juga berkepercayaan dinamisme, yaitu suatu
kepercayaan yang mengarah kepada pemujaan benda-benda, hewan dan lain-lain,
karena benda-benda itu dianggap mempunyai kekuatan gaib. Karena orang primitif
dan yang tingkat kebudayaannya masih rendah sekali di berbagai tempat di dunia,
menurut Harun Nasution mempercayai bahwa “tiap-tiap benda yangberada
disekelilingnya bisa mempunyai kekuatan batin yang misterius.”
Kepercayaan terhadap kekuatan misterius pada benda-benda, menurut
Codrington, sebagaimana dikutip oleh Koentjaraningrat: “Muncul dari kekaguman
manusia terhadap berbagai gejala alam yang luar biasa dan dianggap sebagai asal
dari kekuatan super natural. Suatu kekuatan yang tidak dapat diterangkan oleh
akal manusia dan yang mengatasi kekuatan-kekuatan alamiah, yang disebut dengan
kekuatan gaib atau kekuatan sakti.”
Orang-orang Melayu Pelalawan yang masih primitif percaya bahwa benda-benda
alam mempunyai kekuatan yang memancar dari ruh-ruh, yang disebut dengan mana,
dan mereka percaya bahwa kekuatan itu dapat dimiliki oleh manusia. Orang
yang memiliki mana adalah orang yang selalu berhasil dalam pekerjaannya,
orang-orang yang berkuasa, atau orang yang mampu memimpin orang lain, seperti
raja, pembesar, dukun, bomo dan sebagainya.
Benda- benda tertentu yang dipercaya mempunyai mana, selain ditakuti
juga tidak boleh dipermainkan atau dilanggar dan dianggap tabu. Bagi
yang melanggar harus bertanggung jawab dan memikul akibatnya. Benda-benda yang
mempunyai mana tersebut juga dipercaya bahwa benda-benda tersebut dapat
memberi pengaruh baik bagi kehidupan manusia yang disebut dengan fetish, seperti
memberi perlindungan, menolak bencana, menyembuhkan berbagai penyakit, memberi
kesuburan dan sebagainya. Kepercayaan dinamisme inilah yang mendorong
orang-orang Melayu Pelalawan yang masih primitif berusaha menguasai mana yang
terdapat pada batu cincin akik, keris, dan sebagainya.
Orang Melayu Pelalawan percaya
bahwa keris mempunyai kekuatan yang dapat melindungi si pemilik dari berbagai
bencana, juga dapat menimbulkan bahaya bagi yang batinnya tidak kuat, karena
dianggap tidak serasi. Orang Melayu Pelalawan juga percaya bahwa tangkal
mempunyai kekuatan gaib dan dapat melindungi pemakainya dari suatu penyakit
atau dari perbuatan sihir. Kepercayaan inilah yang menyababkan orang-orang
Melayu Pelalawan yang masih primitif dan yang kurang terpelajar masih memakai
tangkal, diikatkan pada lengan atau pinggang, dan membuatkan tangkal bagi
anak-anak yang masih bayi dan diletakkan dibawah tempat tidurnya.
Orang-orang Melayu Pelalawan pada masa dahulu percaya bahwa para raja,
pembesar dan ulama mempunyai kekuatan sakti. Kesaktian raja disebut daulat,
kesaktian pembesar disebut berisi dan kesaktian ulama disebut keramat
(karamah. Kesaktian raja dan pembesar menimbulkan penggering (sesuatu
yang menimbulkan rasa takut seperti rasa takutnya seseorang pada harimau), dan keramat
ulama menimbulkan kewibawaan. Bukan hanya raja, pembesar dan ulama yang
dianggap mempunyai kesaktian, benda-benda peninggalan para raja, pembesar dan
ulama pun dipandang sebagai bagian dari pemiliknya. Ia juga mempunyai
kesaktian, karena kesaktian itu dianggap melekat pada diri raja, pembesar atau
ulama, dan pada peninggalan mereka, seperti kursi raja, tongkat, dan keris pembesar,
tasbih, dan jubah ulama.
Para raja yang dipercaya sebagai memiliki kesaktian, menjadi berwibawa dan
segala titahnya dipatuhi. Para pembesar yang berisi ditakuti, dan pera
ulama yang keramat disegani dan fatwanya ditaati. Apabila raja berdaulat, pembesar yang berisi atau ulama
yang keramat meninggal dunia, kesaktiannya dibawa bersama ke dalam
makamnya. Penghormatan yang diberikan kepada mereka oleh masyarakat sewaktu
mereka masih hidup, diteruskan pula ke makamnya. Kepercayaan inilah yang
melatarbelakangi terjadinya pemujaan dan pengeramatan terhadap makam-makam raja,
pembesar dan ulama. Makam-makam itu dianggap sakti dan emnjadi tempat
untuk meminta segala macam. Apabila permintaannya terwujud, merekapun membayar niat
atau nazar sesuai dengan niat waktu meminta, sehinnga kepercayaan
mereka tentang kekeramatan makam-makam itupun semakin menguat.[4]
3. Agama Hindu
Pengaruh
agama Hindu tersebar sejak abad ke 6 lagi yang dibawa oleh pedagang India.
Penyebaran agama ini berkembang pesat ketika kedatangan golongan Brahmana dan
penerimaan agama ini oleh golongan pemerintah.
Ajaran
ini diterima oleh pemerintah kerana agama ini berpegang teguh kepada konsep
Dewaraja yaitu raja adalah tuhan dibumi yang sekaligus memperkukuhkan kedudukan
raja sebagai pemerintah. Sebagai contoh, terdapat dua buah kerajaan Hindu di
Tanah Melayu yaitu kerajaan Langkasuka dan kerjaaan Kedah Tua. Disamping itu
terdapatnya penyembahan Dewa Siva dan Vishnu, yang dapat dilihat daripada
pembinaan Candi Bukit Batu Pahat dan Candi Bukit Pendiat di Lembah Bujang,
Kedah.
Dikarenakan
prinsip kedatangan agama hindu yang diarahkan pada kaum bangsawan, banyak pihak
yang mengatakan bahwa sebenarnya hanya golongan bangsawanlah yang menganut
agama ini dengan sungguh-sungguh. Meskipun mereka sendiri tidak benar-benar
paham dengan ajaran filsafat hindu yang asli.
Mereka hanya mementingkan perkara yang berkaitan dengan tata upacara serta ajaran-ajaran yang membesarkan keagungan dewa bagi kepentingan mereka sendiri, sehingga secara tidak langsung dengan menjadi penganut agama hindu mereka memperkukuh kedudukan mereka didalam struktur lapisan didalam puncak masyarakat.
Mereka hanya mementingkan perkara yang berkaitan dengan tata upacara serta ajaran-ajaran yang membesarkan keagungan dewa bagi kepentingan mereka sendiri, sehingga secara tidak langsung dengan menjadi penganut agama hindu mereka memperkukuh kedudukan mereka didalam struktur lapisan didalam puncak masyarakat.
Adapun
dalam masyarakat melayu mereka lebih cenderung bersifat seni dibanding harus
memahami kehalusan metafisik hindu yang bersifat filsafat. Beberapa
kesusasteraan agama asli hindu-india yang diadopsi kedalam bahasa hindu-melayu
telah ada pada mahabrata dan baghavad gita yang menggambarkan kehidupan arjuna
dan bharatayuddha yang kesemuanya tidak menampakkan filsafat hindu asli.[5]
Agama Hindu ini sudah tersebar di daerah Pelalawan pada masa kekuasaan Majapahit,
serta agama Budha pula diperkirakan telah masuk ke Pelalawan sejak daerah ini
berada dalam kekuasaan Kerajaan Sriwijaya. Hal ini berdasarkan pada catatan
sejarah, sebagaimana hasil penelitian Mukhtar Lutfhi bahwa daerah-daerah yang
berada di pinggir sungai besar dan muara sungai di pantai timur Sumatera serta
di laut sekitar Selat Malaka, yang sebagiannya berada dalam wilayah Provinsi
Riau sekarang, sejak abad pertama Masehi telah menjadi tempat lalu lintas
pelayaran internasional yang cukup ramai, dan telah berhubungan dengan pedagang-pedagang
yang datang dari Cina, India, Persia, dan Arab.
Muara Mahat, bandar pelabuhan yang letaknya dekat dengan pusat kerajaan
Katangka yang menguasai pelayaran di Selat Malaka dan daerah pesisir Pantai timur
Sumatera, menjadi pusat perdagang dan menampung armada niaga dari dalam dan
luar negeri. Di Muara Mahat inilah pedagang-pedagang dari daerah penghasil
lada, logam berharga, hasil-gasil hutan, dan hasil bumi lainnya, seperti dari
Kampar Kanan, Kampar Kiri, Kuantan (sekarang merupakan daerah perbatasan antara
Kabupaten Pelalawan dengan Kabupaten Kampar dan Kabupaten Kuantan Singingi),
dan dari Rokan, berkumpul, bertemu dan bertransaksi sesama pedagang lokal dan
dengan pedagang-pedagang yang datang dari Persia, Cina, India, dan Arab.[6]
4. Agama Budha
Adapun bukti yang menunjukkan bahwa agama Budha telah tersebar di daerah
Pelalawan, seperti disebutkan dalam sejarah, adalah diterimanya kedatangan
Maharaja Indera, Orang Besar Kerajaan Temasik yang melarikan diri setelah
Temasik dikalahkan Kerajaan Majapahit, yang mendirikan kerajaan Pekantua, di Pematang
Tua, dekat Muara Tolam, yang menjadi cikal bakat Kerajaan Pelalawan. Maharaja
Indera adalah seorang penganut Budha, ini terbukti bahwa beliau selain
mendirikan istana juga membangun candi yang diberi nama Candi Hyang di dekat
istananya. Bahan bangunan candi ini yang terbuat dari batu bata sama dengan
bahan bangunan candi Muara Takus, yang sebagian ahli menganggap Muara Takus
adalah salah satu pusat kerajaan Sriwijaya, sementara raja Kerajaan Sriwijaya
itu sendiri adalah penganut Budha. Candi Hyang dibangun oleh Maharaja Indera
sebagai tanda syukur atas selamatnya beliau melarikan diri dan berhasil
membangun sebuah kerajaan. Kedudukan Maharaja Indera sebagai raja dan
dibangunnya Candi Hyang bagaimanapun akan membawa pengaruh kepada rakyatnya.
Mengenai awal mula kedatangan dan penyebaran agama Budha di Pelalawan, juga
dapat ditelusuri dari keberadaan kekuasaan Sriwijaya di daerah ini. Sebagaimana
disebutkan dalam sejarah, Kerajaan Sriwijaya adalah sebuah kerajaan maritim di
Asia Tenggara yang mempunyai kekuasaan besar atas darat dan laut Indonesia
bagian barat, Semenanjung Tanah Melayu dan Laut Cina Selatan. Kerajaan ini
tumbuh, berkembang dan mencapai kejayaan selama beberapa abad. Mulai dari abad
VII sampai akhir abad XIII Masehi. Pada masa itu Sriwijaya menguasai sepenuhnya
Selat Malaka, sebuah jalur perdagangan utama yang sangat ramai dilayari,
dilalui dan disinggahi armada-armada, pedagang-pedagang Arab, Persia, India,
dan Cina. Penguasaan Sriwijaya terhadap posisi geografis yang strategis
merupakan salah satu faktor yang menyebabkan Sriwijaya bisa kuat dan
berkembang.
Potensi lain yang dimiliki sriwijaya adalah, kemampuannya
memproduksi sendiri bahan dagang utama pada itu, seperti lada dan timah yang banyak dihasilkan
dari daerah sepanjang sungai Kampar Kanan dan Kampar Kiri. Timah dari tapung di
hulu Sungai Siak dan emas dari Sungai Kuantan. Hasil-hasil penting ini dan
hasil-hasil hutan lainnya merupakan daya tarik tersendiri bagi para pedagnag,
sehingga para pedagang dari Barat dan Timur berlomba-lomba mencari dagangan ke
daerah ini. Muara Mahat adalah bandar pelabuhan, letaknya dekat Muara Takus
merupakan pusat perdagangan yang menampung armada niaga dari dalam dan luar
negeri. Di Muara Mahat inilah pedagang-pedagang India, Arab, Persia, dan Cina
berkumpul, bertemu dan bertransaksi dengan penduduk tempatan.
Melihat kenyataan sejarah seperti di atas, besar kemungkinann Agama Budha
telah tersebar di daerah ini dan telah menjadi kepercayaan sebagian penduduknya,
meskipun mungkin belum menjadi agama resmi kerajaan, dan hal itu sangat mungkin
terjadi, mengingat Kerajaan Pelalawan yang dahulunya bernama Pakan Tua terletak
di hilir muara sungai Kampar Kanan dan kampar Kiri. Suatu wilayah yang menjadi
pusat perdagangan yang cukup ramai. Bercampurnya ajaran Hindu dan Budha dengan
kepercayaan animisme dan dinamisme orang-orang Melayu Pelalawan pada masa
dahulu adalah sangat mungkin terjadi. Kepercayaan Hindu yang berpusat pada
penyembahan dewa-dewa, kekuatan alam, pemujaan pada benda-benda dan hewan, dan
ajaran Budha yang lebih berorientasi pada kehidupan spiritual dan etis, boleh
dikatakan tidak ada perbedaan mendasar dengan kepercayaan animisme dan
dinamisme sebagai kepercayaan tradisional nenek moyang orang-orang Melayu
Pelalawan. Perbedaan yang ada hanyalah terletak pada implementasi kepercayaan
atau agama tersebut dalam kehidupan sehari-hari. Kehadiran Agama hindu tidak
menghilangkan kepercayaan tradisional orang-orang Melayu, bahkan besar
kemungkinan terjadi percampuran anatara kepercayaan animisme dan dinamisme
dengan ajaran Hindu tersebut sehingga sulit untuk dibedakan.
Adanya pengaruh Hinduisme pada kepercayaan tradisional orang-orang Melayu
Pelalawan, terlihat masih adanya sisa-sisa kepercayaan tersebut pada tradisi
adat penduduk hingga sekarang, terutama pada penduduk yang tinggal di pedesaan,
seperti terlihat pada pemakaian pedupaan pada upacara-upacara tradisinal,
misalnya pada upacara kelahiran, perkawinan, kematian dan sebagainya, pemujaan
terhadap dewa-dewa, peri, pemberian sesaji, penyembahan rumah dan ladang,
pengeramatan makam-makam para raja, tepung tawar dan sebagainya.
Kehadiran Budhisme ke dalam kehidupan orang-orang Melayu Pelalawan tidak
membawa perubahan pada kebudayaan tradisional mereka yang berasaskan pada
kepercayaan animisme dan dinamisme, karena Budhisme tidak membawa konsep yang
jelas tentang ketuhanan, dan cenderung pada ajaran moral, sehingga Budhisme
lebih bersifat etika daripada agama.[7]
D. Kesimpulan
Orang-orang Melayu kebanyakannya mempercayai sesuatu yang
ganjil itu sebagai keramat, yang terdiri daripada golongan manusia, binatang,
pokok-pokok kayu, dan sebagainya. Mereka
mempercayai bahwa keramat itu ada kuasa yang dapat memberi kesenangan dan
kesusahan kepada manusia. Kepercayaan ini diwarisi dari semenjak orang-orang
Melayu belum lagi memeluk agama Islam. Mereka juga percaya bahawa keramat itu
mengharapkan balasan daripada segala kepenatan yang dilakukannya, oleh itu
mereka menghantar pulut kuning, nasi kunyit, pisang dan sebagiannya
ke kubur keramat.
DAFTAR KEPUSTAKAAN
Hidayat. 2009. Akulturasi Islam dan Budya Melayu. Jakarta. Badan
Litbang dan diklat Departemen Agama RI.
http://AsalUsulOrangMelayu.com
http://KepercayaanMasyarakatMelayuSesudahdanSebelumKedatanganIslam.com
[3] Hidayat, Akulturasi Islam dan Budya Melayu, (Jakarta: Badan Litbang
dan diklat Departemen Agama RI, 2009), Cet. 1, h. 99-102.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar